Menyambut
Kehadiran UKP-PIP
Saurip Kadi ; Mayor Jenderal TNI (Purn); Mantan Aster KSAD
|
KOMPAS, 16 Juni 2017
Berangkat dari fakta sejarah, penjelasan bapak pendiri
bangsa kita tentang makna Pancasila dalam kedudukannya sebagai dasar negara
dan weltanschauung atau dasar
filsafat bangsa dari negara yang hendak didirikannya hanya dijumpai dalam
pidato Bung Karno, 1 Juni 1945, pada sidang PPKI.
Pidato tersebut juga berisi keinginan luhur tentang
peradaban yang hendak diwujudkannya. Dengan gamblang Bung Karno menjelaskan
satu per satu dari kelima sila dan hubungan antar-sila sekaligus pemberian
nama Pancasila itu sendiri. Tanpa penjelasan itu semua, Pancasila tak
lebih hanyalah sesanti atau ajimat, seperti halnya hasta brata, Bhinneka
Tunggal Ika, dan wejangan adiluhung lainnya.
Adapun redaksional dan susunan kelima sila Pancasila
tersebut kemudian disempurnakan dalam perumusan Piagam Jakarta, 22 Juni 1945,
dan terakhir oleh Tim 9 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang
juga dipimpin Bung Karno, sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Karena itu, sungguh tepat kalau Presiden Joko Widodo
menetapkan 1 Juni 1945 sebagai hari kelahiran Pancasila, sebagai pendidikan
tentang kejujuran sekaligus untuk memberi kepastian hukum bagi kita semua.
Makna strategis UKP-PIP
Belum dua minggu sejak penetapan 1 Juni sebagai Hari Lahir
Pancasila, Presiden Jokowi mengangkat sejumlah ”begawan” dan ”guru bangsa”
sebagai Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Ini
sebuah upaya serius untuk menjawab kekhawatiran publik terhadap pudarnya
Pancasila.
Kita juga tahu di masa Orde Baru ada lembaga Badan
Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(BP7) yang secara khusus menangani Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4). Namun, karena begitu menganganya jurang antara praktik
kenegaraan yang dijalankan dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam penataran
P4, ujungnya pemerintahan Orba berakhir tragis. Ibarat ”bangunan pasir”,
krisis moneter yang melanda negeri ini pada 1998 telah menyapu karya Orba.
Bangsa ini pun kemudian masuk ke dalam krisis multidimensional, yang
residunya hingga kini masih memberatkan kita semua.
Karena itu, kita harus jujur mengetahui apa kelemahan,
kekeliruan, dan kesalahan yang kita lakukan di masa lalu. Di bidang ekonomi
umpamanya, bukankah sejak Orba sumber daya nasional dan kekayaan alam
dibagikan (sedikit) untuk BUMN dan lainnya untuk kroni penguasa dalam dan
luar negeri. Kita tahu sejumlah perusahaan besar diberi hak atas tanah hingga
berjuta hektar, sementara prajurit TNI sekadar untuk memiliki tanah 36 meter
persegi buat rumah tipe sangat sederhana saja harus mencicil kredit pemilikan
rumah (KPR) selama 20 tahun.
Kroni-kroni penguasa kemudian diberi berbagai fasilitas
dan kemudahan, termasuk dalam urusan perbankan serta proteksi dan monopoli
bahkan dari hulu ke hilir. Dalam waktu singkat mereka kemudian menjadi
konglomerat. Sudah tentu, akibat konglomerasi dan monopoli, usaha menengah
dan kecil—termasuk warung serta pasar tradisional—jadi bangkrut dan atau
tersisihkan. Dan, semua itu diberi judul ekonomi Pancasila.
Pascareformasi keadaan jadi terbalik. Praktik oligarki dan
kartel terjadi pada bidang politik maupunekonomi. Demi uang komisi untuk dana
politik, hampir semua kebutuhan dasar rakyat dipenuhi dari impor. Otomatis,
sektor pertanian dan perikanan menjadi ”mati suri”.
Singkat cerita, di mana-mana kemudian muncul praktik
mafia, tak terkecuali di lembaga peradilan. Kriminalisasi dan apalagi korupsi
terjadi di seluruh birokrasi pemerintahan, pusat dan daerah, bahkan dengan
berjemaah. Dan, kembali lagi, penyelenggara negara bersikukuh bahwa yang
dikerjakan juga berdasarkan Pancasila.
Melalui UKP-PIP inilah kita berharap penampilan buruk
dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di masa lalu
bisa diakhiri. Lalu, digantikan dengan tata kelola baru yang
benar-benardidasarkan pada nilai-nilai luhur Pancasila.
Tak boleh absurd lagi
Para tokoh yang mengawaki UKP-PIP niscaya paham bahwa
Pancasila bukan ciptaan siapa pun. Bung Karno sendiri menegaskan bahwa ia
hanya menggalinya. Artinya, Bung Karno sekadar memotret apa yang ada dan
hidup beratus tahun di bumi Nusantara ini. Karena itu, persoalan Pancasila kekinian
dan ke depan bukanlah pada persoalan hafalan kelima sila Pancasila. Yang
utama adalah bagaimana sistem kenegaraan kita bisa menghasilkan output dan outcome sebagaimana
tuntunan Pancasila. Kita berharap, ke depan, Pancasila mewujud dalam tata kehidupan
di negeri ini bukan di negara lain.
Karena ketergesa-gesaan, bapak pendiri bangsa kita memang
belum sempat merumuskan nilai-nilai operasional Pancasila ke dalam
pasal-pasal UUD 1945. Karena itu, Bung Karno pada pidato pengesahan UUD
tanggal 18 Agustus 1945 menyebut UUD 1945 adalah UUD kilat. Dalam
kenyataannya memang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) dan juga PPKI belum sempat menjabarkan secara utuh sila-sila
Pancasila sebagai dasar negara ke dalam pasal-pasal UUD 1945.
Sangat disesalkan, dalam empat kali amendemen UUD 1945
tidak digunakan untuk menerjemahkan nilai-nilai Pancasila ke dalam batang
tubuh UUD. Yang dilakukan justru langsung menukik ke perubahan pasal-pasal.
Alhasil, sistem kenegaraan kita jadi semrawut. Desain demokrasi yang ada baru
sebatas pada demokrasi prosedur, yang ditandai dengan keberadaan pemilu, DPR,
dan kelembagaan demokrasi lainnya. Sama sekali belum menyentuh pada
substansi, apalagi hikmah dari demokrasi itu sendiri. Begitu juga tata kelola
di aspek kehidupan lainnya.
Kesemrawutan yang dimaksud bisa dibuktikan dengan menjawab
sejumlah pertanyaan, seperti: betulkah demokrasi Pancasila membenarkan
Presiden hasil pilihan langsung oleh rakyat menjadi tidak ”berdaya” untuk
membentuk kabinet zaken karena DPR menggunakan model
parlementer? Betulkah ekonomi Pancasila membenarkan model kartel dan semua
kebutuhan dasar rakyat diimpor, tak peduli beras, gula, cabai, dan garam
sekalipun? Betulkah sistem peradilan Pancasila mengenal hukum wani
piro? Masih sederet lagi pertanyaan yang bisa digunakan untuk menggugat
penggunaan label atau bungkus Pancasila, tak peduli isi bertentangan dengan
Pancasila sekalipun.
Berangkat dari kondisi nyata tersebut di atas dan agar
bangsa ini bisa segerasungguh-sungguh menerapkan Pancasila, maka tugas
UKP-PIP semestinya bukan hanya memberi pitutur atau wejangan kepada anak-anak
muda tentang tata nilai Pancasila yang menyatukan kita dalam wadah NKRI.
Lebih dari itu, UKP-PIP diharapkan bisa merumuskan masukan kepada pemerintah dan
lembaga negara terkait agar nilai- nilai Pancasila segera dijadikan hukum
positif yang dituangkan dalam pasal-pasal UUD melalui amendemen kelima UUD
1945.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar