Sesat
Pikir Lima Hari Sekolah
Akh Muzakki ; Ketua Dewan Pendidikan Jatim; Guru Besar UIN
Sunan Ampel Surabaya; Sekretaris PW NU Jatim
|
JAWA
POS, 16
Juni 2017
LIMA hari sekolah adalah nama lain dari full day school
(sekolah penuh hari).Secara mandiri, beberapa sekolah di sejumlah kota besar
sudah mempraktikkannya. Tapi, secara kebijakan yang bersifat menyeluruh, lima
hari sekolah dilontarkan Mendikbud Muhadjir Effendy sepekan seusai dilantik
menggantikan Anies Baswedan.
Persis dua bulan menjelang setahun masa jabatannya,
Mendikbud Muhadjir Effendy mengeluarkan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017
tentang Hari Sekolah. Isinya memberlakukan kebijakan lima hari sekolah itu
mulai jenjang pendidikan dasar hingga menengah atas sejak tahun ajaran baru
2017–2018.
Saat dilontarkan tahun lalu, pro dan kontra menyeruak.
Gagasan-gagasan dengan dasar argumentasi yang kuat dilontarkan masing-masing.
Namun, substansi argumentasi-argumentasi itu tak diserap dengan semestinya.
Proses deliberasi sosial pun tak pernah ditimbang. Lalu, kebijakan begitu
saja dikeluarkan.
Saya mencatat sejumlah poin sesat pikir dari kebijakan
lima hari sekolah di atas. Pertama, kebijakan itu dikaitkan dengan
kepentingan penguatan pendidikan karakter (PPK). Permendikbud Nomor 23 Tahun
2017 pada poin menimbang menyebutnya dengan istilah ”restorasi pendidikan
karakter di sekolah”.
Dalam kesempatan wawancara (14/6), Mendikbud menjelaskan,
”Kebijakan ini berupa program PPK pada semua jenjang persekolahan. Wujudnya
bukan berupa materi pelajaran yang diajarkan di depan kelas, melainkan dalam
bentuk kegiatan di bawah tanggung jawab guru dan sekolah. Untuk itu, jam
sekolah yang biasanya 5–6 jam per hari ditambah menjadi 8 jam.”
Pertimbangan kebijakan di atas cenderung tidak tepat
karena memandang model persekolahan adalah segalanya. Lebih-lebih untuk
kepentingan pendidikan karakter, ruang partisipasi dan peran orang tua serta
masyarakat seakan dianggap rendah. Karena itu, kepentingan penguatan
pendidikan karakter lalu dilakukan secara eksklusif melalui instrumen
sekolah.
Sementara itu, Kemendikbud tidak memiliki desain yang
jelas tentang pendidikan keayahbundaan (parenting education). Hingga saat
ini, tidak ada mekanisme dan skema yang jelas, terukur, dan terlembaga
tentang penguatan pilar orang tua sebagai medium penting nan strategis untuk
penguatan pendidikan karakter bangsa.
Belum lagi jika penguatan pendidikan karakter itu
dikaitkan dengan peran dan pengaruh masyarakat. Itu semua, lebih-lebih,
menjelaskan bahwa Kemendikbud tidak memiliki desain yang jelas mengenai
strategi kebudayaan pada bangsa ini. Kebudayaan lebih dilihat sebagai
komoditas pariwisata, bukan sebagai kekayaan nonmaterial bangsa yang harus
dilembagakan melalui instrumen-instrumen kewargaan.
Kedua, kebijakan lima hari sekolah dikaitkan dengan
kewajiban jam kerja guru. Penambahan jam sekolah yang diikuti dengan
perampingan hari kerja untuk guru dipandang harus dilakukan untuk memenuhi
kepentingan administratif kerja guru. Mendikbud dalam wawancaranya juga
menjelaskan pengaitan dimaksud sebagaimana berikut: ”Selama ini guru-guru
sering mengeluh tidak mampu memenuhi kewajiban mengajar (tatap muka) minimal
24 jam seminggu. Itu karena jam sekolah dan mata pelajaran terbatas.”
Kepentingan pemenuhan administrasi kewajiban jam kerja
guru lebih menguat daripada pengembangan karakter anak. Keduanya memang bisa
berkelindan, tapi kepentingan jam kerja guru tampak lebih kuat. Buktinya,
perampingan hari lebih dipilih daripada sekadar penambahan jam belajar untuk
6 hari sekolah. Pasal 2 ayat (1) Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017
melegalisasi dan mendasarinya.
Ketiga,kebijakan lima hari sekolah menggerus keragaman
sosiologis dan cenderung abai terhadap kondisi geografis masyarakat. Harus
diakui, lima hari sekolah memiliki nilai pragmatis bagi masyarakat urban yang
kedua orang tua cenderung bekerja di luar rumah. Pikiran orang tua urban
cenderung seperti ini: daripada anak sehabis jam sekolah di luar tidak bisa
dikontrol, lebih baik dimasukkan ke sekolah yang jam masuknya sehari penuh.
Namun, postur sosiologis masyarakat di negeri ini tidak
gemuk di perkotaan atau urban. Justru, mereka yang tinggal di dan dalam latar
sosiologis rural-perdesaan jauh lebih besar dan gemuk daripada di
urban-perkotaan. Mereka memiliki kekayaan sosio-kultural yang berbeda dengan
masyarakat urban-perkotaan.
Kalau isunya adalah kedekatan anak dan orang tua dalam
seminggu, justru di masyarakat perdesaan kedekatan itu bisa dijamin dengan
baik. Sebab, jenis pekerjaan yang dimiliki orang tua di masyarakat perdesaan
tidak mengharuskan mereka keluar rumah dalam waktu lama hingga meninggalkan
anak-anak mereka seharian penuh tanpa kehadiran mereka.
Justru, lima hari sekolahakan mengurangi intensitas
kebersamaan itu.
Atas dasar itu, lima hari sekolahbukan solusi tepat untuk
masyarakat perdesaan jika kepentingannya adalah penguatan intensitas
kebersamaan anak dan orang tua untuk kepentingan penguatan karakter.
Lebih dari itu, secara geografis, lokasi tempat tinggal
warga masyarakat dengan sekolah bisa mencapai puluhan kilometer. Aksesnya pun
tidak mudah. Perjalanan pun bisa ditempuh lebih dari dua jam. Maka, kebijakan
lima hari sekolahakan menyisakan persoalan besar bagi mereka di daerah
rural-perdesaan dengan kondisi geografis seperti itu. Negeri ini tidak
selayaknya dikelola dengan prinsip one size fits all.
Keempat,tanpa adanya desain operasional yang terukur,
kebijakan lima hari sekolahakan mematikan inisiatif-inisiatif lokal di bidang
pendidikan. Itu walaupun konsep sinergi sering didengungkan.
Inisiatif-inisiatif lokal yang lahir dari dan dikelola
oleh tangan-tangan kreatif anggota masyarakat tidak saja berorientasi pada
pendidikan formal, tapi juga nonformal. Mulai keterampilan teknis seperti
menjahit, musik, dan olahraga hingga penguatan kemampuan kognitif seperti
lembaga bimbingan belajar. Juga yang berorientasi pada penguatan karakter dan
kompetensi praktis keagamaan seperti taman pendidikan Alquran dan madrasah
diniyah.
Bahkan, jika inisiatif-inisiatif lokal di bidang
pendidikan nonformal bertemu pada satu titik dengan kebijakan afirmatif
pemerintah, hasilnya sangat dirasakan warga masyarakat sendiri. Pengalaman
Jawa Timur menjadi bukti. Sejak 2008 Pemprov Jawa Timur melahirkan kebijakan
pendidikan yang inovatif dalam menerjemahkan amanat Undang-Undang No 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bentuknya, tidak saja dengan mengakomodasi pendidikan
keagamaan secara signifikan melalui pengakuan madrasah diniyah (madin) dan
pesantren sebagai bentuk pendidikan keagamaan, melainkan juga dengan
menyediakan bantuan operasional daerah (bopda) madin. Inovasi dan kreasi
lokal atas pendidikan informal itu membuahkan pengakuan dan penghargaan Amal
Bhakti Bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan dari Pemerintah Pusat
Kementerian Agama RI pada 3 Januari 2011.
Karena itu, jika diberlakukan secara nasional dan secara
membabi buta dengan tidak mengakomodasi inisiatif-inisiatif lokal yang
menjadi kearifan kewargaan (civic
wisdom), rencana kebijakan lima hari sekolahakan segera memberangus
inisiatif dan praktik partisipatif pendidikan oleh masyarakat. Padahal,
keberadaan inisiatif dan praktik partisipatif pendidikan, termasuk nonformal,
itu tak kalah pentingnya untuk mempersiapkan anak bangsa ini memasuki
dunianya secara riil pada masa mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar