Ironi
Telur Ayam
Toto Subandriyo ; Kepala Dinas Kelautan
Perikanan dan Peternakan (DKPP) Kabupaten Tegal
|
KOMPAS, 15 Juni 2017
Kondisi ironis tengah dialami para peternak
ayam petelur dan pedaging di sejumlah daerah. Saat harga berbagai kebutuhan
pangan meroket menjelang Ramadhan dan Lebaran, harga telur ayam ras justru
sebaliknya.
Ketika harga bawang putih meningkat hingga
hampir 100 persen, ironisnya harga telur ayam ras di tingkat peternak justru
terpuruk di bawah harga pokok produksi (HPP) yang besarnya Rp 16.500-Rp
17.000 per kilogram.
Menjelang Ramadhan tahun ini harga telur
ayam ras sempat naik, tetapi pada pertengahan Ramadhan anjlok lagi di tingkat
peternak di sejumlah daerah. Harian Kompas,Rabu(7/6), melaporkan, harga
pembelian di tingkat peternak kini berkisar Rp 13.700-Rp 14.000 per kg.
Harga daging ayam ras beberapa bulan lalu
juga tak jauh berbeda. Harga ayam hidup di tingkat peternak hanya berkisar Rp
13.000-Rp 14.000 per kg. Idealnya harga minimal agar bisa menutup HPP sebesar Rp 17.500 per
kg. Jadi, sangat bisa dipahami jika para peternak ayam petelur dan pedaging
dari beberapa daerah merasa galau dan menuntut rasa keadilan ditegakkan.
Mereka sempat menggelar aksi keprihatinan
dan doa bersama di depan Pendopo Pemerintah Kabupaten Blitar, Jawa Timur.
Aksi itu mereka lanjutkan di depan Istana Negara, Jakarta, beberapa bulan
lalu karena pemerintah dirasa kurang serius menanggapi tuntutan mereka.
Kisaran harga telur ayam ras Rp 13.700-Rp
14.000 per kg tersebut berada jauh di bawah ketentuan Peraturan Menteri
Perdagangan (Permendag) Nomor 27 Tahun 2017 tentang Penetapan Harga Acuan
Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen.
Regulasi yang mulai berlaku sejak 16 Mei
2017 itu mengatur harga acuan beberapa komoditas pangan untuk pembelian di
tingkat petani/peternak serta harga acuan penjualan di konsumen.
Beberapa komoditas pangan yang ditetapkan
harga acuannya antara lain beras, jagung, kedelai, gula, minyak goreng,
bawang merah, daging beku, daging sapi segar, daging ayam ras, dan telur ayam
ras.
Harga acuan telur ayam ras ditetapkan Rp 18.000 per kg untuk pembelian di
peternak dan penjualan di konsumen Rp 22.000 per kg. Sementara harga acuan
untuk daging ayam ras, pembelian di peternak Rp 18.000 per kg, sedangkan
harga acuan penjualan di konsumen sebesar Rp 32.000 per kg.
Meskipun pembelian di tingkat peternak
rendah, ironisnya terdapat disparitas harga yang cukup tinggi jika
dibandingkan dengan pembelian oleh konsumen. Ketika harga pembelian telur di
tingkat peternak Rp 13.700 per kg, konsumen harus membayar antara Rp 18.000
dan Rp 20.000 per kg. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Permasalahan
sistemik
Semua itu berangkat dari permasalahan
sistemik yang melingkupi industri peternakan unggas rakyat. Semua berpangkal
dari melimpahnya produksi. Menurut hitung-hitungan matematis, kebutuhan
daging ayam nasional saat ini hanya sekitar 2,8 miliar ekor per tahun. Namun,
menurut data Gerakan Bela Peternak Ayam Pedaging dan Petelur (GBPA), pasokan
daging ayam saat ini melimpah hingga mencapai 3,5 miliar ekor per tahun.
Kondisi yang terjadi pada usaha peternakan
unggas rakyat ini mewakili potret buram kondisi usaha agribisnis negeri ini
secara umum, di mana peningkatan produktivitas agribisnis yang diupayakan
petani/peternak selalu menuai kondisi paradoks.
Bukan hanya pada telur dan daging ayam ras,
kondisi yang sama juga sering terjadi pada komoditas pangan lain, seperti
bawang merah, beras, gula, dan ikan.
Produktivitas fisik yang tinggi dari usaha
agribisnis tidak diimbangi nilai moneter
yang memadai. Dalam kondisi paradoks tersebut, petani hanya menerima
bagian kecil dari nilai tambah kenaikan produktivitas. Nilai tambah terbesar
banyak dinikmati pelaku non-usaha tani hanya karena ada perubahan bentuk
(form utility), tempat (place utility), dan waktu (time utility).
Penyebab duka para peternak unggas rakyat
bukan hanya itu. Disinyalir banyak telur ayam siap tetap produksi perusahaan
integrator yang sebenarnya hanya untuk memasok day old chicken (DOC), dijual
ke pasaran umum. Berdasarkan data Tim Analisis dan Tim Asistensi Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Maret 2017),
secara nasional potensi produksi DOC final stock (FS) broiler rata-rata 63
juta ekor per minggu.
Pembelian
pemerintah
Menurut penulis, selain berpotensi
menurunkan harga live bird broiler, jumlah itu juga sangat berpotensi dijual
ke pasaran umum dalam bentuk telur konsumsi. Untuk mengatasi permasalahan
ini, salah satu upaya yang harus ditempuh pemerintah adalah dengan mengurangi
produksi DOC FS broiler. Menurut perhitungan penulis, harus ada
pengurangan minimal 8-9 persen dari
total produksi nasional pembibit FS broiler.
Selain itu, agar terpenuhi rasa keadilan,
pemerintah harus segera mengeluarkan regulasi agar produksi telur konsumsi
diserahkan sepenuhnya kepada peternak rakyat. Pemerintah juga harus membatasi
porsi budidaya ayam petelur dari para integrator dan menindak tegas para
integrator yang nakal menjual telur tetas ke pasaran umum.
Mengingat saat ini harga pembelian telur
ayam ras di tingkat peternak berada jauh di
bawah harga acuan Permendag No 27/2017, upaya mendesak yang harus
dilakukan pemerintah adalah pembelian langsung ke peternak minimal sesuai
harga acuan Rp 18.000 per kg.
Pembelian telur oleh pemerintah ini dapat
disalurkan melalui program perbaikan gizi masyarakat yang terintegrasi dengan
program kupon pangan pengganti beras untuk rakyat miskin (raskin).
Persaingan tidak adil antara peternak
rakyat melawan para integrator harus segera diakhiri. Tidak semestinya
pemerintah membiarkan para integrator menguasai bisnis peternakan unggas
nasional dari hulu hingga hilir, dari produksi dan penjualan DOC,
obat-obatan, pakan, hingga penjualan telur dan daging ayam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar