Minggu, 04 Juni 2017

Belokan Pluralisme Gus Dur

Belokan Pluralisme Gus Dur

Moh Mahfud MD  ;   Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO,  27 Desember 2014

                                                                                                                       


Tiga hari lagi, genap lima tahun kita ditinggalkan oleh Presiden Republik Indonesia keempat, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang wafat pada 30 Desember 2009.

Di Indonesia, kalau orang berbicara Gus Dur, tak bisa dilepaskan dari gerakan pluralisme sebagai bagian penting dari paham kebangsaan kita. Tak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengatakan bahwa Gus Dur adalah Bapak Pluralisme Indonesia, seperti yang diucapkan pada sambutan resminya saat pemakaman Gus Dur di kompleks Ponpes Tebuireng, Jombang.

Gus Dur memang gigih memperjuangkan pluralisme untuk merawat Indonesia. Bagi Gus Dur, pluralisme adalah fakta dan keharusan karena perbedaan primordial antarmanusia ke dalam berbagai agama, ras, suku, daerah, bahasa takmungkin dihindari. Orang yang beriman pasti yakin bahwa Tuhan sendirilah yang menciptakan perbedaan itu.

Maka itu kita harus mau hidup di dalam perbedaan primordial, tetapi bersatu dalam kesamaan tujuan berbangsa dan bernegara. Konsekuensinya, bangsa ini harus menerima Pancasila sebagai dasar negara untuk kemudian perbedaan-perbedaan yang niscaya ada di dalam masyarakat yang plural harus diatur dengan prinsip dan sistem demokrasi.

Di dalam demokrasi harus ada persamaan dan kebebasan tetapi harus dikawal dengan tegaknya hukum. Itulah sebabnya pluralisme tidakdapatdipisahkandari kedaulatan rakyat (demokrasi), kedaulatan hukum (nomokrasi) dan ketaatan pada konstitusi sebagai dasardasar pengaturan berdemokrasi dan bernomokrasi.

Bagi Gus Dur, mengonsepkan pluralisme tak perlu rumit-rumit, apalagi sampai menggeser debat konsep ke debat kusir. Kata Gus Dur, bayangkan saja kita hidup di sebuah rumah besar yang banyak kamarnya dan kita mempunyai kamar sendiri-sendiri.

Saat di dalam kamar maka masing-masing pemilik kamar bisa menggunakan dan merawat kamarnya sendiri-sendiri serta boleh berbuat apa pun di dalamnya, tetapi ketika ada di ruang keluarga atau di ruang tamu maka kepentingan masing-masing kamar dilebur untuk kepentingan rumah bersama.

Penghuni rumah, tanpa mempersoalkan asal kamar masing-masing, harus bersatu merawat rumah itu dan mempertahankannya secara bersama-sama dari serangan yang datang dari luar. Begitulah gambaran pluralisme. Kita mempunyai rumah besar NKRI yang sudah dibangun dengan fondasi kokoh Pancasila dan yang terdiri dari kamar-kamar primordial.

Kita harus bersatu menjaga rumah NKRI ini tanpa kehilangan identitas primordial masing-masing. Tentu saja sangat banyak pejuang pluralisme lainnya di Indonesia, tetapi Gus Durlah yang paling efektif memperjuangkannya sebab dia mempunyai puluhan juta umat NU yang tawadu terhadapnya. Terlebih lagi keulamaan dan intelektualitas Gus Dur sangat mumpuni.

Mengapa dan sejak kapan Gus Dur meyakini dan kemudian memperjuangkan pluralisme? Pertanyaan ini penting karena kalau mau jujur sebenarnya pada awalnya NU maupun Gus Dur berada dijalur perjuangan Islam eksklusif. Pada tahun 1945 di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tokoh NU Wachid Hasyim berada di barisan kelompok pejuang dasar negara Islam bersama Agus Salim, Ki Bagoes Hadikusumo, dan tokoh-tokoh lain yang kemudian ikut aktif menyusun Piagam Jakarta.

Wachid Hasyim pun membantah ketika Hatta menyatakan bahwa perubahan Piagam Jakarta menjadi Pembukaan UUD 1945 sudah di-mintakan persetujuan terhadap empat tokoh Islam, termasuk dirinya. Dalam perjuangan di Konstituante, NU berada dalam satu barisan dengan Masyumi memperjuangkan dasar Islam bagi Indonesia.

BPUPKI dan Konstituante memang forum resmi untuk memperjuangkan dasar negara secara sah, sehingga pilihan politik NU pun saat itu adalah sah. Gus Dur sendiri saat mudanya adalah pengikut paham al-Ikhwan al-Muslimun satu gerakan politik Islam yang sangat radikal di bawah pimpinan Hasan al Banna.

Menurut Syafii Anwar pada 1963 Gus Dur sempat membuka cabang al- Ikhwan al-Muslimun sendiri di Jombang tetapi Greg Barton mengatakan, Gus Dur belum sempat mendirikan cabang Ikhwan meskipun memang penganut politik gerakan tersebut. Keduanya mengonfirmasi bahwa Gus Dur adalah penganut Ikhwan.

Yang kita tahu, sepulang dari studinya di Mesir dan Irak, Gus Dur tampil sebagai penganut inklusivisme Islam serta pejuang pluralisme yang paling berpengaruh di Indonesia. Bahkan ketika masih banyak kaum muslimin menolak asas tunggal Pancasila, pada tahun 1984, Gus Dur berduet dengan K. Achmad Sidiq menyatakan bahwa NU menerima Pancasila sebagai asas kehidupan berbangsa dan bernegara. Tak banyak yang tahu, bagaimana dan kapan belokan dari eksklusivisme ke pluralisme itu terjadi.

Saya sendiri hanya pernah mendengar cerita kecil. Pada suatu hari di tahun 1970-an Gus Dur mampir ke perpustakaan di Kota Fes, Maroko. Setelah hampir seharian membaca sebuah buku Gus Dur menangis tersedu-sedu sampai menarik perhatian petugas perpustakaan yang kemudian menanyakan kalaukalau dirinya sakit dan perlu bantuan.

Gus Dur bercerita bahwa di perpustakaan itu dia membaca karya filosof Yunani Aristoteles, “Etika Nikomakean”. Dari buku itu dirinya menemukan filsafat yang sangat tinggi tentang manusia, masyarakat, dan negara yang dasar-dasarnya juga ada di dalam Quran dan Sunah Nabi.

 Di dalamnya ada penjelasan tentang asal-muasal (di dalam Islam disebut fitrah) manusia, adanya perbedaan-perbedaan, dan tuntutan etik yang harus dilaksanakan oleh manusia. Tentu saja, kisah buku Ethika Nomkeia di Fes itu hanya setetes peristiwa yang ikut membangun falsafah pluralisme Gus Dur. Secara akademis, kita masih ingin tahu lebih rinci tentang kapan dan bagaimana belokan ke pluralisme itu terjadi. Kami selalu berdoa untukmu, Gus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar