Komunalisasi
Ruang Publik
Komaruddin Hidayat ; Dosen pada Fakultas Psikologi UIN Jakarta
|
KOMPAS, 19 Juni 2017
Menurut cita rasa bahasa,
kata 'Indonesia' merujuk pada letak dan kondisi geografis, yaitu
sederet pulau di lautan India, bukan menunjuk sebuah entitas bangsa. Pernyataan
ini lebih mudah dipahami dengan membuat perbandingan, misalnya Turki, nama
bangsa dan negaranya adalah identik.
Atau bangsa dan negara Korea, keduanya juga identik. Sementara kata
Indonesia jika dimaksudkan sebagai sebuah bangsa, yang namanya bangsa Indonesia masih dalam
proses menjadi Indonesia atau mengindonesia. Sebuah cita-cita politik yang memerlukan
perjalanan panjang dan berliku.
Melihat geneologi bangsa dan negara Indonesia, Indonesia
merupakan proyek politik dari warga masyarakat serta pemimpin daerah yang
tinggal dan tersebar di Nusantara ini untuk meraih kemerdekaan dari
cengkeraman penjajah. Indonesia
merupakan rumah besar yang elemen-elemen bangunan dan kamar-kamarnya
terdiri dari sekian ragam etnis, budaya dan agama yang sepakat tegak berdiri
saling bergandeng tangan, saling menjaga dan memperkokoh yang lain.
Hidup berdaulat, merdeka dan sejahtera merupakan cita-cita dan tekad utama yang
mendasari berdirinya Republik Indonesia. Oleh karena itu, moto Bhinneka
Tunggal Ika bukan sekadar menggambarkan pluralitas suku, bahasa, dan agama
penduduk Nusantara, tetapi sebuah janji dan komitmen politik yang harus
dipenuhi oleh pemerintah dan negara untuk melindungi serta memupuk pohon
kebinekaan itu.
Wilayah yang diperebutkan
Moto Bhinneka Tunggal Ika dan kesepakatan Pancasila
sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara juga merupakan bukti sejarah
dan janji politik agar Indonesia tak dikuasai dan dimiliki ideologi
primordial, komunal, dan kesukuan karena jika hal itu terjadi pasti Indonesia
akan gaduh, kehilangan ruh dan mengingkari jati dirinya dengan ongkos sosial,
ekonomi, dan politik teramat mahal.
Langkah paling logis dan strategis adalah memenuhi janji
untuk menjaga keutuhan berbangsa serta menyejahterakan warganya secara merata
karena merekalah pemilik sejati Tanah Air Indonesia. Pemerintah dan negara
mesti menindak tegas serta menghalau
terhadap predator dengan berbagai macam bentuk, rupa, kostum, dan
modus yang merampas hak-hak rakyat serta mau menggergaji tiang negara.
Sejak dulu wilayah Nusantara ini memang selalu
menjadi daerah yang diperebutkan (contested zone) oleh kekuatan
asing. Kekuatan asing mana yang tidak
tertarik untuk datang dan menguasai wilayah yang indah, makmur dengan sumber
alamnya kaya raya ini?
Oleh karena itu, konsep Indonesia asli itu tidak mudah
dicarikan akar tunggangnya secara otentik. Bahkan, agama-agama besar yang
diakui oleh negara pun semuanya agama pendatang. Meminjam bahasa bisnis,
semuanya adalah agama impor. Kalaupun ada agama asli Indonesia, barangkali berupa kepercayaan dan tradisi
lokal yang masih bertahan di sejumlah daerah yang posisinya pun semakin tergusur.
Akan tetapi, memang demikianlah yang terjadi, di tingkat global pun migrasi
penduduk lintas bangsa, agama, dan negara semakin intens.
Hal ini bisa memperkaya peradaban sebuah bangsa, tetapi
bisa juga malah menimbulkan persoalan baru, seperti ekses eksodus kurban
peperangan di Timur Tengah yang mencari suaka ke Eropa. Sejumlah pelaku
teroris diidentifikasi sebagai warga imigran.
Bangsa-bangsa yang dulu dikenal sebagai kapitalis,
imperialis dan agresor nalurinya tidak akan pernah mati. Yang berubah adalah
modusnya. Namun, mereka dihadapkan kenyataan sosial baru bahwa sekarang ini
tak akan bisa sebuah bangsa dan negara untuk maju dan kaya sendiri. Dalam
diplomasi luar negeri, kata kemandirian telah diubah menjadi kemitraan.
Ketika ilmu pengetahuan, teknologi dan demokrasi semakin mendunia, semua
bangsa dipaksa untuk saling kerja sama dan menghargai hak-hak bangsa lain.
Naluri imperialisme mesti berdamai dengan
rasionalitas urgensi kerja sama antarbangsa. Kita hidup dalam global network society.
Urgensi kerja sama dan nafsu kompetisi ini mengingatkan
kita pada teori Darwinisme sosial,
survival of the fittest. Hanya mereka yang kuat dan fit memasuki
lingkungan baru yang bisa bertahan dan berkembang. Kalau ada negara yang kaya
sumber alamnya, tetapi tidak memperoleh perlindungan kuat, pasti akan jadi
mangsa negara kuat yang agresif.
Ini sudah dan masih berlangsung di berbagai belahan dunia, termasuk di
Indonesia. Sampai-sampai muncul istilah a natural curse. Kekayaan sumber daya
alam yang tidak memperoleh perlindungan dan pemanfaatan yang benar, akan
berbalik menjadi sumber malapetaka. Alam mengutuk balik penghuninya. Lihat
saja apa yang terjadi di Irak, Libya, Suriah, dan beberapa daerah di
Indonesia.
Yang menyedihkan adalah ketika terjadi persekongkolan
kekuatan asing dan oknum-oknum dalam negeri
sebagai komprador. Lebih
menyedihkan lagi ketika oknum dalam negeri itu menggunakan instrumen negara
untuk merusak dan merampok kekayaan rakyat dan negaranya sendiri.
Politik komunalisme
Perkembangan dan perubahan politik yang berlangsung sedemikian
cepat, ditambah lagi pengguna media sosial (medsos) yang terus bertambah
membuat masyarakat mengalami gegar ledakan informasi, bingung, tidak bisa
membedakan antara berita sampah, hoaks, dan yang konstruktif-edukatif. Lewat
medsos siapa pun punya peluang yang
sama untuk menulis menyampaikan aspirasi dan opininya terhadap berbagai
berita dan peristiwa yang terjadi.
Sedemikian penuh dan hiruk pikuk informasi dan opini di
medsos sehingga komunitas netizen cenderung berpikir fragmentaris dan eklektik
tanpa kedalaman. Bahasa medsos pun cenderung subyektif, like or dislike,
bukannya salah atau benar berdasarkan kajian dan perenungan mendalam.
Suasana gamang dan insecure, mendorong seseorang untuk membangun
afiliasi emosional dan imajiner dengan mereka yang memiliki gelombang emosi
yang sama. Afiliasi emosional ini akan menjadi semakin kental ketika
disatukan oleh kesamaan kepentingan
dan identitas keagamaan sehingga pada urutannya menimbulkan crowd mentality. Mental
kerumunan. Ketika tampil figur yang bisa menjadi lokomotif, komunitas netizen yang bermental kerumunan
ini bisa muncul sebagai kekuatan riil meskipun hanya sesaat karena bukan
himpunan massa yang organik.
Dalam sebuah pesta demokrasi, mental kerumunan ini mudah
dikapitalisasi dan direkayasa untuk sebuah tujuan politik jangka pendek.
Kehadiran medsos dan sosok pemimpin massa sangat instrumental untuk menjaring
dan menggalang emosi yang sama dalam menentukan sikap politik massa, meskipun
di situ tidak jarang terjadi proses manipulasi dan pembodohan.
Bahkan, organisasi semacam Negara Islam Irak dan Suriah
(NIIS) pun sangat sadar dan piawai melakukan propaganda sampai cuci otak
(brain washed) melalui medsos. Anak-anak muda yang tidak beruntung secara
ekonomi dan dangkal wawasan pengetahuan agamanya menjadi sasaran empuk
propaganda gerakan NIIS dan gerakan radikal sejenisnya.
Dalam konteks Indonesia yang penduduknya sangat beragam
dan dari sisi pendidikan serta ekonomi masih banyak yang kurang beruntung,
mereka mudah tertarik jika ada tawaran insentif berjihad mencari kemuliaan di
jalan Tuhan dan janji-janji perbaikan nasib. Di antara janji-janji yang
ditawarkan itu adalah mengganti ideologi dan sistem kenegaraan yang
menerapkan demokrasi lalu diganti sistem kekhalifahan. Pancasila dan demokrasi
itu pemerintahan taghut, berhala, kafir, mesti diganti. Atau setidaknya
diterapkan sistem syariah, tetapi syariahmenurut pemahaman mereka.
Tema-tema itu
pantas diragukan, jangan-jangan hanya jargon kosong dan pemikiran
utopia karena yang sesungguhnya terjadi adalah perebutan kekuasaan dan sumber
daya ekonomi di kalangan elite yang kemudian mengkapitalisasi sentimen
komunalisme etnis dan agama. Menjadi semakin complicated ketika kekuatan
asing ikut bermain memperburuk suasana dengan melatih para aktivis radikal
dan menyuplai kebutuhan finansialnya.
Jika asumsi dan dugaan di atas benar, kita mesti
bersiap-siap mental mendekati Pemilu 2019 ini Indonesia akan semakin gaduh.
Ekspresi keagamaan yang garang yang akan lebih mengemuka, dan bukannya keberagamaan yang sejuk dan mencerahkan
untuk bersama-sama memajukan dan menyejahterakan rakyat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar