Banjir
Informasi, Darurat Demokrasi
YD Anugrahbayu ; Peminat Filsafat
|
DETIKNEWS, 15 Juni 2017
Informasi melanda keseharian laksana suatu
banjir. Yang penting dan tak penting, yang benar dan yang bohong, tersapu
rata. Tulisan mahaguru dan tulisan anak SMA sama saja. Reaksi orang pun
bermacam rupa. Ada yang acuh, ada yang protes, ada pula yang terseret, bahkan
tenggelam.
Banjir yang datang sesekali masih memicu
sikap tanggap dan waspada. Namun, banjir yang datang setiap hari, bahkan
setiap menit, justru membuat kita terbiasa; terbiasa tak membedakan mana yang
penting dan tak penting, yang benar dan yang bohong, terbiasa terseret,
terbiasa protes, terbiasa acuh. Tak jarang, ke-'terbiasa'-an itu berujung
pada permusuhan, bahkan kematian. Saking seringnya, permusuhan dan kematian
pun telah menjadi biasa.
Itulah sifat manusia. Ia lekas membiasakan
diri, bahkan terhadap bencana sekalipun. Benarlah kata Albert Camus dalam La
Peste, "Sampar telah memusnahkan rasa cinta, bahkan rasa kesetiakawanan
penduduk. Sebab cinta membutuhkan sedikit masa depan, sedangkan kami hanya
memiliki waktu sekejap demi sekejap." Ibarat wabah sampar, banjir
informasi "adalah sebuah administrasi yang teliti, rapi, dan sangat baik
kerjanya" sehingga "penderitaan tak lagi mengharukan."
Dahsyatnya banjir informasi juga membobol
batas antara ruang privat dan publik: bukan hanya maraknya narasi privat di
ruang publik, melainkan juga sebaliknya, narasi publik menjajah ruang privat.
Kita seakan-akan dipaksa tahu, pun ketika sudah memutuskan tak mau tahu.
Bagaimana lagi hendak tak mau tahu, kalau
misalnya, saat menjelang tidur, telepon pintar tiba-tiba berbunyi lantaran
seseorang menyebut nama kita di Whatsapp Group, seraya menyinggung isu
politik yang belum tentu ingin kita ketahui?
Banjir informasi merenggut salah satu daya
manusiawi paling berharga: kebebasan. Manusia tak lagi berdaulat menentukan
diri, pun kalau ia mengira ia berdaulat. Ributnya medsos, badai iklan, berita-berita
real time —bagaimana kita hendak membebaskan diri dari serbuan maha dahsyat
itu? Tidakkah pilihan kita sehari-hari dipengaruhi (kalau bukan didikte)
olehnya?
Seiring membanjirnya informasi, ada suatu
ironi. Tak pernah peradaban manusia mencapai keadaan di mana informasi sangat
mudah diperoleh seperti sekarang. Namun kemudahan itu tak menjamin bahwa
orang semakin bergairah mencari tahu.
Itulah ironi abad informasi. Alih-alih
mencari tahu, semakin banyak orang justru sok tahu, mati-matian membela
pengetahuan yang bahkan terlalu jelas keliru. Pun ketika berusaha mencari
tahu, orang cenderung hanya mau tahu apa yang telah diyakini terlebih dahulu
—sesuatu yang dalam sosiologi pengetahuan disebut "bias
konfirmasi".
Benarlah kata pepatah Prancis: trop
d'information tue l'information —terlalu banyak informasi membunuh informasi.
Terlalu banyak tahu nyaris sama dengan tak tahu apa-apa.
Tahun ini ada sebuah buku yang terbit untuk
menanggapi perkara itu. Judulnya The
Death of Expertise, ditulis oleh Tom Nichols, seorang ahli keamanan
nasional di Departemen Pengambilan Keputusan Keamanan Nasional, U. S. Naval
War College. Judul buku itu tak bermaksud mengatakan bahwa para pakar semakin
tak kompeten, melainkan bahwa dialog antara para pakar dan warga negara
nyaris macet total (Nichols, 2017: 4). Sebabnya tentu kompleks, namun dapat
ditunjuk dari dua sisi:
Di satu sisi, internet telah membuat
kecenderungan anti-intelektual menguat di kalangan awam. Ketika siapapun bisa
mengetahui apapun, kepercayaan kepada para pakar pun melemah.
Untuk menggambarkannya Nichols mengutip
Isaac Asimov: "Ada kultus ketidaktahuan [cult of ignorance] di Amerika, sebagaimana sejak dulu selalu ada.
Dorongan anti-intelektualisme telah menjadi arus yang menyeret kehidupan
politik dan kebudayaan kita, ditumbuhkan oleh pengertian keliru bahwa
demokrasi berarti bahwa 'ketidaktahuan saya sama baiknya dengan pengetahuan
Anda' [my ignorance is as good as your
knowledge.]" (Nichols, 2017: 1).
Di lain sisi, banyak pakar terutama yang
bekerja di bidang akademik semakin mengabaikan peran publiknya, sibuk
berdiskusi antarmereka sendiri dengan bahasa-bahasa eksklusif.
"Sementara itu," kata Nichols, "mereka yang menempati wilayah
tengah, mereka yang kerap kita sebut 'intelektual publik' [...] telah menjadi
frustrasi dan terpolarisasi sebagaimana seluruh masyarakat." (Nichols,
2017: 5).
Nichols menulis dari konteks Amerika.
Namun, tak disangkal hal yang mirip sedang terjadi di negara kita. Kalau
pengamatannya benar, ada satu masalah mendesak: demokrasi macam apa yang bisa
diharapkan dari banjir informasi seperti itu?
Keterbukaan informasi akan positif bagi
demokrasi jika masyarakat cukup dewasa, setidaknya untuk menyaring informasi,
sedapat mungkin memanfaatkannya. Jika syarat itu tak terpenuhi, banyaknya
informasi justru bisa membunuh demokrasi. Ruang publik tak pernah netral:
kebenaran dan kebohongan, kebaikan dan kebencian campur aduk tak karuan.
Masyarakat yang tak pandai memilah akan mudah dihasut, lalu diperalat untuk
membunuh diri sendiri.
Itulah yang disebut pembajakan demokrasi
(the hijacking of democracy): menangnya sentimen-sentimen anti-demokrasi atas
nama demokrasi. Kata Nichols, "Ketika demokrasi dimengerti sebagai
tuntutan tiada akhir akan penghargaan tak layak untuk pendapat-pendapat tak
berdasar [unearned respect for unfounded opinions], segalanya mungkin,
termasuk akhir demokrasi dan pemerintahan republikan itu sendiri"
(Nichols, 2017: 238).
Sekali lagi, konteks Amerika yang menjadi
pijakan Nichols tak sedikit pun mengurangi relevansinya untuk negara kita.
Menghalau banjir informasi nyaris mustahil.
Mengharapkan politik yang beradab pun sulit. Saya sendiri lebih percaya pada
ikhtiar-ikhtiar sederhana untuk merawat akal sehat publik, khususnya
orang-orang muda, supaya kian mahir berenang di tengah derasnya arus. Orang
Jawa bilang, ngèli nanging ora kèli (larut namun tak hanyut). Peran
media-media terpercaya terletak di sini, salah satunya lewat kolom seperti
ini.
Semoga semakin banyak pakar mau berkotor
tangan terlibat dalam ikhtiar seperti itu (tentu pakar yang tulus, bukan
bayaran). Perhatian khusus pantas diberikan kepada media online, sebab sudah
terlalu banyak konten destruktif berseliweran di jagad internet. Tak ada yang
salah kalau para pakar memilih media cetak bergengsi. Namun, sekali lagi,
seperti kritik Nichols, mereka yang mampu membacanya lagi-lagi para pakar.
Masyarakat luas tetap sukar menimba ilham.
Kian hari kian terbukti, internet adalah
front perang baru antara akal sehat dan kepicikan (buku The Death of Expertise
pun bermula dari blog pribadi Nichols). Jangan sampai kita terlambat
menyikapinya, sehingga tiba-tiba kepicikan mengepung dari segala penjuru.
Kalau itu dibiarkan terjadi, kita tinggal menunggu demokrasi dicuri.
Ah, mengapa Anda harus percaya? Tidakkah
tulisan ini bagian dari banjir juga? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar