Sekolah
Kita, Sekolah Indonesia
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan
Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 19 Juni 2017
KEBIJAKAN full day school yang dirilis
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui sebuah keputusan
digugat banyak pihak karena dikhawatirkan akan mengganggu model
penyelenggaraan sekolah secara nasional. Tidak kurang dari Presiden Jokowi,
Ketua MUI Pusat, menteri agama, hingga pimpinan partai politik mengkritisi
kebijakan ini karena dianggap akan mematikan proses belajar mengajar sekolah
lain, dalam hal ini madrasah diniah.
Sontak kebijakan ini malah menjauh dari isu
substansi dan beralih menjadi isu politis yang sangat kentara. Keinginan
Jokowi-JK dalam menjalankan skenario revolusi mental melalui jalur pendidikan
setidaknya bakal gagal. Persoalan pendidikan sejak zaman Soeharto hingga
Jokowi lebih banyak dilihat secara politik tinimbang isu moral dan substansi.
Setiap kebijakan pasti tidak melalui sebuah
kajian dan penilaian yang matang dan terukur sehingga secara publik bisa
dipertanggungjawabkan.
Di tengah porak porandanya sistem dan tata
kelola pemerintahan pusat dan daerah akibat kesalahan dalam mempraktikkan
konsep desentralisasi, rasa kebangsaan dan kebanggaan akan Indonesia kian
menipis. Banyak contoh kebijakan yang dibuat pusat tak bisa berjalan,
sebaliknya kebijakan daerah melalui peraturan daerah tak jarang over-laping
dengan kebijakan pusat.
Tiga
kelemahan
Rasa keindonesiaan semakin menipis jika
indikatornya ialah kesamaan pandangan tentang bangunan proses pendidikan. Isu
pendidikan lebih banyak ditarik menjadi isu politik yang hanya menarik
ditawarkan ketika kampanye, tetapi gagal ditarik sebagai isu besar dan
fundamental yang harus ditangani secara komprehensif, apalagi sebagai basis
dan sandaran moral kehidupan berbangsa dan bernegara. Contohnya ialah
kebijakan soal hari sekolah yang identik dengan full day school.
Dari hasil riset di beberapa negara
menunjukkan, jika persoalan pendidikan dikemas dalam balutan politik secara
serampangan, hasilnya akan tumbuh situasi yang tidak seimbang dan tidak
konsisten menyangkut relasi antara sesama politisi, terlebih lagi antara
politisi dan birokrasi serta birokrasi dengan masyarakat luas, terutama
tentang ke mana sebenarnya arah pendidikan akan diarahkan.
Meskipun dalam delapan tahun terakhir ini
kita banyak menghasilkan peraturan dan perundangan mengenai pendidikan, dalam
praktiknya terjadi banyak overlaping dan kesalahan dalam implementasi program-program
pendidikan (Gary K Clabaugh dan Edward G Rozyki, 2006).
Di era Jokowi, kelemahan pertama
implementasi kebijakan pendidikan terletak pada pemisahan Kemendikbud dan
Kemendikti.
Persoalan pendidikan dasar dan menengah
dianggap tak memiliki relevansi dengan pendidikan tinggi sehingga menterinya
harus dipisah.
Padahal, hampir semua guru yang mengajar di
pendidikan dasar dan menengah ialah produk pendidikan tinggi.
Akibatnya, penanggung jawab kualitas guru
menjadi ambigu dan terjadi tarik-menarik secara politis.
Kelemahan kedua dari Jokowi-JK ialah
mempertaruhkan jabatan menteri pendidikan di Kemendikbud dan Kemendikti dari
kalangan Muhammadiyah dan NU dengan anggapan bahwa kedua ormas keagamaan
tersebut identik dengan keahlian di bidang manajemen pendidikan.
Akibatnya, ketika sebuah kebijakan
dikeluarkan masyarakat selalu apriori karena yang satu merasa dirugikan dan
yang lain diuntungkan.
Pendidikan akhirnya seperti identik milik
Muhammadiyah dan NU. Padahal, sejatinya milik rakyat Indonesia.
Subjektivitas semacam ini terus
menggelayuti suasana pendidikan di Indonesia karena setiap kebijakan,
lagi-lagi, dilakukan tanpa kajian dan penilaian yang memadai.
Kelemahan ketiga, hingga saat ini, dualisme
pendidikan umum dan agama tak pernah dikaji secara cermat berdasarkan sebaran
mutu pendidikan di setiap daerah.
Padahal, salah satu agenda yang cukup
penting untuk dipetakan dalam konsensus ialah dualisme pendidikan umum dan
agama, yang meskipun peraturan dan perundang-undanganya telah ada, dalam praktiknya
tak cukup serius ditangani.
Hal ini berimplikasi pada pembagian peran
yang terkadang tidak adil antara Kemendikbud dan Kementerian Agama.
Jika konsensus kita soal kehidupan beragama
dan aspek-aspek sosial, budaya, dan ekonomi kita telah jelas dalam rumusan
Pancasila, tidak demikian dengan arah implementasi pendidikan.
Kedua kementerian ini masih dibelenggu oleh
posisi mereka dihadapan undang-undang tentang otonomi daerah, yang satu telah
didesentralisasi, satunya lagi masih berporos sentralistik.
Hal ini cukup mengganggu para pengelola
pendidikan di tingkat daerah karena tak jarang dengan posisi ini banyak
pemerintah daerah berlaku diskriminatif terhadap peserta didik tertentu.
Perlu
konsensus
Jelas kita memerlukan konsensus yang serius
di bidang pendidikan, dari semua stakeholders yang terlibat di dalamnya. Titik
tolak konsensus soal pendidikan bisa dilakukan berdasakan besarnya persoalan
(breadth of consensus) atau berdasarkan kedalaman (depth) atau keseriusan
sebuah persoalan (Debra Viadero, 1986).
Dalam konteks Indonesia, kedua pendekatan
ini bisa digunakan karena secara luas di Indonesia saat ini terdapat begitu
banyak partai politik yang katanya peduli terhadap persoalan pendidikan,
tetapi dari aspek kedalaman tak banyak partai politik yang melakukan kajian
tentang masalah-masalah fundamental pendidikan yang berbasis ruang belajar
dan hubungan sekolah dengan masyarakat (orangtua).
Di sisi lain, terbelahnya tanggung jawab
program pendidikan di dua kementerian mengindikasikan adanya kedalaman
masalah pendidikan di daerah, tetapi secara luas hal ini tidak memperoleh
perhatian (concern) dari partai politik.
Jika dengan demokrasi kita belajar
bagaimana caranya untuk menghargai keragaman, untuk kasus pengembangan
pendidikan keragaman tersebut harus dapat diminimalisasi berdasarkan komitmen
dan konsensus bersama.
Lant Pritchett dalam The Rebirth of
Education: Schooling Ain't Learning (2013) menengarai bahwa sistem
persekolahan di banyak negara telah gagal dalam upaya mencerdaskan masyarakat
karena pilihan soal desentralisasi tidak dianalisis berdasarkan struktur
sosial-budaya tempat sekolah itu berada.
Meskipun kita bisa melihat ada banyak hambatan yang akan terus muncul,
menjadikan sekolah sebagai basis dan unit analisis sebuah kebijakan ialah
imperatif.
Melacak isu dan mengembangkan pendekatan
ialah bagian penting dari sebuah konsensus. Konsensus dalam bidang pendidikan
sangat diperlukan dalam rangka mengetahui harapan (expectations) masyarakat
terhadap suatu isu dan menyepakati (consensus) bagaimana melakukannya, dengan
tidak lupa memberi peran (tasks) mereka untuk terlibat secara langsung dalam
memecahkan masalah tersebut. Apa yang menjadi janji-janji para politikus dan
birokrat dalam menangani isu tersebut dapat dievaluasi dan dimonitoring
secara bersama. Tinggal lagi tugas dan peran para politisi, birokrat dan
masyarakat terutama lembaga swadaya masyaakat (LSM) untuk menunjukkan
sumberdaya (resources) yang memungkinkan sebuah isu dapat diselesaikan secara
bersama-sama (Charles Perrow, 1979). Dengan cara ini mungkin pemilihan
presiden ke depan akan memiliki nilai tambah karena mereka akan menghargai
peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan.
Kajian terhadap sistem pendidikan selalu
terkait dengan bagaimana sekolah akan dikelola. Sebagai atribut yang selalu
dilekatkan pada pembangunan sumber daya manusia sebuah bangsa, sekolah dengan
segala macam kontroversinya tetap dipercaya masyarakat sebagai tempat paling
menjanjikan bagi masa depan anak-anak mereka. Namun, kritik terhadap model
pengelolaan sekolah, baik oleh negara maupun masyarakat, tetap harus
dilanjutkan dalam rangka mengembalikan kesadaran kritis masyarakat, bahwa
sekolah bukan hanya milik golongan tertentu dari kelompok tertentu, sekolah
tetap milik Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar