Politikus
dan Popok
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 15 Juni 2017
Samuel Langhorne Clemens (1835-1910)!
Namun, ia lebih dikenal dengan nama pena Mark Twain. Penulis dan humoris yang
sangat terkenal dengan karya monumentalnya, "Petualangan Tom
Sawyer". Kali ini saya tidak ingin bercerita soal petualangan Tom
Sawyer, anak bandel dari Mississippi, Amerika Serikat, yang sangat terkenal
itu, tetapi pandangan Twain soal politikus. "Politikus dan popok itu
harus sering diganti, untuk alasan yang sama," katanya.
Walaupun ungkapan itu banyak variasi dan
dilontarkan banyak orang dengan pilihan kata yang agak berbeda, maknanya
sama. Memang kedengarannya sinis dan sarkas. Namun, tampaknya ungkapan itu
masih relevan sampai sekarang. Secara sinonim, politikus dan popok memang
harus diganti jika sudah tidak bersih lagi alias kotor.
Di media sosial belakangan ini juga beredar
"kampanye" untuk tidak memilih politikus yang dinilai tidak
aspiratif dan bertentangan dengan kehendak rakyat. Contoh paling aktual,
ajakan di media sosial untuk tidak memilih politikus yang mendukung hak
angket KPK dan benar-benar ingin melemahkan KPK. Kira-kira beredar begini,
"Kalau memang melawan KPK maka ... jangan cengeng ketika kita suarakan
untuk jangan dipilih lagi di 2019". Beberapa tahun lalu beredar pula
kampanye "tidak memilih politikus busuk, korup, dan penerus dinasti
politik".
"Tidak memilih politikus bermasalah
atau tak aspiratif" pada Pemilu 2019 merupakan "senjata
pamungkas" rakyat. Dengan karakter politikus sekarang, imbauan mungkin
hanya tersapu angin begitu cepat. Contohnya, saat disampaikan bahwa ada
suara-suara rakyat atau publik menolak hak angket KPK, sejumlah politikus
malah balik bertanya, "Rakyat atau publik yang mana?" Ah, capek
deh!
Inilah anomalinya. Pada era demokrasi
langsung dengan sistem one man one vote saat suara rakyat begitu berharga dan
menentukan, pada saat sama rakyat justru terlihat "tak berdaya".
Maka, satu-satunya jalan adalah tidak memilih politikus bermasalah tersebut.
Inilah perlawanan terakhir yang dimiliki rakyat.
Perlawanan seperti itu pernah terjadi pada
awal Orde Baru. Namanya golput alias "golongan putih". Golput
sebetulnya gerakan moral yang memprotes Pemilu 1971 dan ketidakadilan. Golput
dicetuskan pada 3 Juni 1971, sebulan menjelang pelak- sanaan pemilu yang
pertama era rezim Orde Baru. Salah satu tokoh gerakan tersebut adalah Arief
Budiman. Istilah "putih" digunakan karena gerakan ini menganjurkan
rakyat untuk mencoblos bagian putih di luar gambar parpol di surat suara.
Pada Pemilu 1971, jumlah pesertanya ada 10
partai politik (parpol). Jumlah ini amat jauh menciut ketimbang peserta Pemilu 1955, yaitu 172 parpol (termasuk perorangan). Mencoblos di luar tanda
gambar parpol adalah bentuk perlawanan karena saat itu nyaris tak ada yang
berani tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Pemerintah Orde Baru
bisa menan- dai siapa-siapa yang tidak datang ke bilik suara. Tahun-tahun
belakangan, barulah golput juga berarti menolak hadir di TPS.
Jadi, kalau berbagai upaya tetap gagal
untuk mengingatkan para politikus, boleh jadi "kampanye tidak memilih
politikus tak aspiratif, korup, busuk" pada Pemilu 2019 menjadi
perlawanan rakyat. Jika politikus sudah kotor, seperti popok, memang harus
diganti. Mark Twain seakan mengingatkan kita, terlebih menjelang Pemilu 2019.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar