Kontribusi
Medsos untuk Bangsa
Yuliandre Darwis ; Ketua Umum Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia
(ISKI); Dosen Komunikasi Fisip Unand
|
KORAN
SINDO, 16 Juni 2017
Kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara kita sudah begitu
lama terusik akibat perilaku tidak bertanggung jawab sebagian kecil pengguna
media sosial (medsos) yang sengaja menggunakan sarana komunikasi ini untuk
kepentingan-kepentingan yang tidak benar.
Beberapa peristiwa terjadi di negeri ini seperti fitnah,
saling hujat, menyebarkan kebencian karena perbedaan pandangan maupun sikap,
membangun sentiman ras, suku, agama, dan perbedaan
antargolongan—kejadian-kejadian tersebut seakan lumrah dalam moda komunikasi
dan interaksi masyarakat melalui medsos baik melalui Facebook, Twitter,
Instagram, Youtube atau yang sejenisnya.
Keresahan publik atas konten- konten medsos—termasuk yang
bermuatan ghibah (membicarakan keburukan/aib orang lain), bullying, namimah
(adu domba), konten pornografi, ditambah dengan masifnya penyebaran hoax
alias berita palsu, fake news—membuat pemerintah harus bersikap tegas.
Presiden Republik Indonesia Jokowi pada suatu kesempatan memberikan pandangan
akan kondisi medsos hari ini.
Kata Jokowi, coba kita lihat sekarang, buka media sosial
yang saling menghujat, saling mengejek, dan saling menjelekkan. Kekhawatiran
Jokowi cukup beralasan. Sebagai Presiden, beliau memahami betul betapa
berbahayanya situasi negara yang penuh dengan kebinekaan ini jika permusuhan,
perpecahan, dan tidak bersatunya bangsa ini terus digelorakan di medsos
yangmemilikipengaruhbesardi masyarakat.
Dengan adanya kekuatan internet dan tingkat pengguna
medsos yang tinggi di Indonesia, produksi maupun penyebaran konten medsos
yang tidak sejalan dengan nilainilai Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD
1945, semangat terbentuknya NKRI jelas akan membawa situasi negara pada
keadaan tidak menentu seperti kerawanan sosial, konflik horizontal.
Dari data yang dilansir Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia (APJII), hasil survei tahun 2016 saja pengguna ponsel
pintar dalam melakukan browsing melalui internet di Indonesia kini telah
mencapai 89,9 juta orang. Itu artinya kurang lebih seperempat penduduk di
Indonesia memiliki akses media baru. Sementara itu Nielsen. com baru-baru ini
melansir data lima besar jejaring sosial di smartphone, yaitu Facebook 178,8
juta, Instagram 91,5 juta, Twitter 82,2 juta, Pinterest 69,6 juta, dan
Linkedin 60,1 juta.
Wajar jika kemudian Indonesia menempati peringkat kelima
pengguna Twitter terbesar dunia setelah Amerika Serikat, Brasil, Jepang, dan
Inggris. Bahkan menurut data Webershandwick di Indonesia, sekitar 65 juta
pengguna Facebook aktif. Tingginya pengguna internet, ponsel pintar serta
medsos jelas membawa keprihatinan bersama.
Persoalan medsos menyangkut persoalan kehidupan bangsa,
negara, dan bahkan keagamaan yang telah menimbulkankerawananmasyarakat
Indonesia yang majemuk dan plural. Tidak aneh jika masyarakat mengapresiasi
dan mengawal bersama fatwa MUI Nomor 24/2017 tentang Hukum dan Pedoman
Bermuamalah melalui Media Sosial. Ketua Umum MUI KH Maruf Amien sangat
mengkhawatirkan adanya ujaran kebencian dan permusuhan melalui medsos.
Esensi Medsos
Fatwa MUI itu menurut penulis sangat tepat. Di saat
euforia kebebasan menyampaikan pandangan termasuk perasaan menggunakan media
secara bebas, apalagi di medsos, begitu marak, fatwa MUI mengetuk kesadaran
logika publik bahwa meskipun saat ini merupakan era kebebasan, kebebasan
bermedia seharusnya ada batasannya dan dapat dipertanggungjawabkan
berdasarkan aturan yang ada, etika publik, dan norma-norma yang berlaku di
masyarakat.
Bebas boleh tapi jangan bablas. Tidak semua perasaan,
kehendak maupun pikiran yang dirasakan bisa dituangkan di medsos. Ketika ide
atau gagasan Anda torehkan di medsos, itu tidak lagi menjadi persoalan
pribadi, tetapi telah menjadi persoalan publik. Seorang semiolog Prancis,
Roland Barthes, berujar ketika seseorang menuliskan sebuah ide/teks, dengan
sendirinya penulis akan terputus dengan teksnya.
Ini artinya ketika gagasan ditulis, ide itu tidak lagi
menjadi milik pribadi, melainkan milik publik, lebihlebih jika gagasan
dituliskan di medsos dengan banyak warga masyarakat yang dapat mengakses
ruang ini. Secara substansi hal ini penting diketahui masyarakat pengguna
medsos. Konten yang tidak mendidik dari medsos akan dengan cepat menyebar di
masyarakat karena diviralkan.
Tentu dampak sosial yang ditimbulkan medsos ini menjadi
luar biasa. Telah banyak contoh yang dapat kita saksikan di masyarakat
bagaimana medsos itu memengaruhi kehidupan publik. Ingat kasus koin Prita,
informasi jumlah tenaga kerja China yang masuk ke Indonesia, informasi
tentang Ahok, dan lain-lain.
DW Rajecki dalam bukunya Attitute, Themes and Advence
(1982) menyebutkan, ada tiga komponen yang memengaruhi opini publik, salah
satu-nya affect (perasaan atau emosi). Komponen ini berkaitan dengan rasa
senang, suka, sayang, takut, benci, sedih, dan kebanggaan hingga muak atau
bosan terhadap sesuatu sebagai akibat dia telah merasakan atau timbul setelah
melihat dan mendengarkannya.
Kedua, behavior (tingkah laku). Komponen ini lebih
menampilkan tingkah laku atau perilaku seseorang baik menerima maupun
menolak. Komponen yang terakhir adalah cognition (pengertian atau nalar).
Komponen kognisi ini berkaitan dengan penalaran seseorang untuk menilai suatu
informasi, pesan, fakta, dan pengertian yang berkaitan dengan pendiriannya.
Komponen ini menghasilkan penilaian atau pengertian dari
seseorang berdasarkan rasio atau kemampuan penalarannya. Pengaruh medsos yang
begitu besar sebaiknya diarahkan pada hal-hal positif untuk kepentingan
bangsa. Sebab esensi keberadaan medsos adalah untuk kepentingan dan menjaga
ruang bersama.
Ruang publik demokrasi membutuhkan kontribusi dan peran
pengguna medsos untuk menjaga dan merawatnya dengan mengisi medsos dengan
konten-konten edukatif, mendidik, inspiratif, merawat kebinekaan,
mempertahankan persatuan dan kesatuan serta menjaga Pancasila demi keutuhan
bangsa. Ini yang kita harapkan bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar