Beragama
Secara Timpang
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan, Penulis;
Kini menjadi seorang
profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
|
DETIKNEWS, 12 Juni 2017
Sekitar 10 tahun yang lalu, saat masih
bekerja sebagai manajer di sebuah pabrik, menjelang Lebaran saya mendapat SMS
dari pengawas Dinas Tenaga Kerja, isinya minta THR. Saya jawab bahwa menurut
UU Ketenagakerjaan, THR dibayarkan oleh perusahaan untuk karyawan, bukan untuk
aparat pemerintah. Pengirim SMS tidak menjawab lagi setelah itu.
Menjelang Lebaran banyak aparat pemerintah
atau organisasi massa yang beredar ke perusahaan untuk minta THR. Sebenarnya
itu bukan THR. Bila dilakukan aparat pemerintah, itu adalah pungutan liar,
yang merupakan suatu bentuk korupsi. Kalau dilakukan oleh omas, itu adalah
pemalakan. Kedua praktik ini adalah perbuatan haram. Ironisnya dilakukan di
bulan suci, dalam rangka menghadapi hari suci.
Coba misalnya kita sodorkan masakan daging
babi kepada para pemburu THR haram itu, akankah mereka memakannya?
Kemungkinan besar tidak. Orang kita terkenal sensitif terhadap makanan haram,
khususnya babi. Berbagai kericuhan pernah muncul karena soal ini. Misalnya,
kasus Ajinomoto pada 2001. Suatu grup restauran juga pernah dihujat dan
diancam boikot karena dianggap tidak menyajikan makanan halal.
Tapi, kenapa di negeri yang begitu sensitif
terhadap makanan haram, orang begitu permisif terhadap korupsi?
Pertama, karena soal kejelasan dalil.
Larangan makan daging babi sangat nyata, tertera jelas di Quran. Sedangkan,
larangan suap menyuap, misalnya, "hanya" dinyatakan dalam hadits.
Quran lebih sering dibaca dan dibahas dibanding hadits.
Hadist-hadits tentang korupsi relatif
jarang dibahas dalam berbagai pengajian. Adapun ayat-ayat, diperlukan
pemaknaan yang agak mendalam untuk bisa sampai pada kesimpulan bahwa ayat itu
bicara soal korupsi.
Kedua, karena soal "keakraban".
Orang-orang yang saya ceritakan tadi nyaris tak mungkin mau masuk ke rumah
orang untuk mengambil barang miliknya. Itu namanya mencuri. Korupsi secara
teknis berbeda dengan korupsi, meski secara substansi sama saja.
Sejak kecil kita dididik untuk tidak
mencuri. Tapi, kita tidak dididik untuk tidak korupsi. Kita akrab dengan
larangan mencuri. Adapun soal korupsi, orangtua kita kebanyakan tidak tahu.
Waktu saya masih kecil, saya sering
mendengar orang bicara soal seseorang yang bekerja di bagian
"basah". Itu adalah pekerjaan atau jabatan yang mengelola uang.
Pekerja atau pejabatnya biasanya lebih kaya dari yang lain. Orang-orang
membicarakan mereka dengan cemburu. Yang dibicarakan juga tidak malu, justru
bangga. Artinya, dalam keseharian praktik korupsi tidak diajarkan sebagai
sesuatu yang tercela.
Bahkan, saya pernah menyaksikan seorang ulama
ikut dalam pembicaraan pengaturan tender proyek. Uang komisi proyek itu
mengalir ke mesjid dan sekolah Islam. Untuk dakwah, kata mereka. Kenapa bisa
begitu? Karena mereka tidak mengidentifikasi komisi tadi sebagai uang haram.
Atau, mereka membuat pembenaran: ketimbang proyek ini jatuh ke tangan orang
kafir, lebih berbahaya. Di tangan mereka uangnya akan dipakai untuk
kepentingan melawan umat Islam, dalih mereka.
Begitulah. Banyak orang yang sangat
sensitif dalam urusan makanan, sehingga label halal jadi sangat penting.
Barang-barang yang tak perlu dilabel halal seperti cat pun mereka anggap
perlu dilabeli. Sedangkan bila itu menyangkut uang, mereka sangat lalai.
Alih-alih mengharamkan, mereka sangat pandai berdalih untuk membuatnya jadi
tampak terpuji.
Ini adalah ketimpangan dalam beragama.
Agama berpusat pada akivitas ritual. Kebaikan orang dinilai dari berapa
banyak ibadah ritualnya. Orang kaya hanya dilihat dari kedermawanannya, tanpa
diperhatikan dari mana sumber hartanya. Bahkan, para ulama dan ustad
berkumpul di dekatnya.
Jadi, apakah agama akan berperan dalam
pemberantasan korupsi? Kalau melihat situasi sekarang, rasanya mustahil.
Alih-alih berperan, agama yang ditunggangi oleh kepentingan politik, justru
bisa berperan sebaliknya, dipakai untuk menyingkirkan orang-orang yang
anti-korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar