Minggu, 18 Juni 2017

Keadilan dan Kepatuhan Pajak

Keadilan dan Kepatuhan Pajak
A Tony Prasetiantono  ;   Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada; Faculty Member Bank Indonesia Institute
                                                         KOMPAS, 16 Juni 2017




                                                           
Hanya dalam tempo beberapa hari, Kementerian Keuangan akhirnya meralat batas minimal rekening nasabah bank yang wajib dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Pajak, dari semula minimal Rp 200 juta menjadi Rp 1 miliar.

Ketentuan ini merupakan tindak lanjut dari rencana pemerintah untuk meratifikasikan Automatic Exchange of Information (AEOI), yakni pertukaran informasi sektor finansial di antara negara-negara anggota G-20. Untuk itu, pemerintah kini tengah mengajukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 kepada DPR untuk disetujui.

Kebijakan ini sebenarnya merupakan hal yang logis sebagai konsekuensi dari berakhirnya era kerahasiaan bank, sebagai cara untuk mengatasi upaya orang untuk menghindari pajak secara ilegal (tax evasion) serta tindak pidana pencucian uang (money laundering). Kedua hal tersebut menjadi musuh bersama di seluruh dunia, yang mendapat perhatian tinggi oleh G-20. Tiga tahun silam, pada Agustus 2014, untuk pertama kalinya Pemerintah Swiss menyerahkan 4.500 nama penggelap pajak dari Amerika Serikat kepada Kongres AS. Peristiwa ini menandai berakhirnya era kerahasiaan bank di seluruh dunia.

Studi Niels Johannesen dan Gabriel Zucman (”The End of Bank Secrecy? An Evaluation of the G20 Tax Haven Crackdown”, dalam American Economic Journal: Economic Policy 6(1), 2014) menyatakan bahwa era mengakhiri kerahasiaan bank di kalangan G-20 diawali sesudah krisis finansial (subprime mortgage) tahun 2008, yang kemudian membuka opsi memberlakukan perjanjian dua negara (bilateral treaty). Namun, hal ini dipandang tidak bakal efektif jika tidak diikuti dengan kesepakatan yang lebih luas dan melibatkan banyak negara sekaligus, yang kemudian menjadi AEOI.

Perjanjian bilateral hanya akan menyebabkan dana mengalir dari satu negara persembunyian yang aman (haven) ke haven yang lain. Pencucian uang masih akan terus terjadi dengan leluasa tanpa bisa dihentikan. Karena itu, inisiatif yang lebih besar berupa pertukaran informasi finansial secara otomatis, akhirnya dipilih menjadi gerakan kolektif G-20, termasuk Indonesia di dalamnya.

Urgensi keadilan pajak

Urgensi pengungkapan rekening nasabah kepada kantor pajak, pada dasarnya lebih mengarah pada isu keadilan pajak (tax fairness) dan kepatuhan (compliance) membayar pajak. Sudah lama kita ketahui bahwa rasio penerimaan pajak (tax ratio) dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) kita akhir-akhir ini hanyalah di bawah 11 persen. Ini adalah level terendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang umumnya sekitar 13-14 persen (Malaysia, Singapura, Filipina, dan Vietnam). Bahkan, Thailand sudah lama mencapai angka 16-17 persen.

Rasio pajak dapat merefleksikan tingkat kepatuhan masyarakat dalam menunaikan kewajiban membayar pajak. Semakin tinggi rasionya, semakin tinggi pula masyarakat memenuhi standar kepatuhan membayar pajak. Oleh karena itu, negara-negara maju umumnya memiliki tingkat rasio yang tinggi, misalnya AS dan Australia (26 persen), Swiss (30 persen), Selandia Baru (35 persen), Belanda dan Jerman (40 persen), Italia (43 persen), serta Perancis (48 persen). Sementara itu, negara-negara Skandinavia juga terkenal memiliki level kepatuhan pajak yang amat tinggi, yakni Norwegia dan Finlandia (44 persen), Swedia (46 persen), serta puncaknya Denmark (51 persen).

Setiap menteri keuangan kita selalu saja mencanangkan target rasio pajak yang lebih tinggi, setidaknya menyamai negara-negara tetangga di level 13-14 persen. Namun, sejarah mencatat, bahwa rasio pajak sulit sekali beranjak dari level 11 persen. Untuk menaikkan 1 persen saja setiap tahun, pemerintah selalu gagal. PDB Indonesia saat ini sekitar Rp 12.000 triliun sehingga untuk menaikkan penerimaan pajak 1 persen dibutuhkan Rp 120 triliun setahun. Ini merupakan jumlah yang tidak mudah dicapai. Sebagai ilustrasi, penerimaan cukai dari industri rokok kita saat ini dalam setahun sekitar Rp 140 triliun.

Inisiatif pemerintah melakukan amnesti pajak merupakan bagian dari strategi untuk memperluas basis pajak sehingga diharapkan penerimaan pajak ke depannya akan meningkat signifikan. Pada 2016, pemerintah berhasil mengumpulkan Rp 107 triliun dari pembayaran denda program amnesti pajak. Jumlah ini cukup signifikan karena nyaris ekuivalen dengan 1 persen terhadap PDB. Namun, sayang, akibat dari perekonomian makro yang memburuk menyusul penurunan harga komoditas primer telah menyebabkan penerimaan pajak menurun. Karena itu, setelah dikompensasi dengan hasil amnesti pajak, rasio pajak kita tetap saja cuma 10,7 persen atau berarti belum beranjak dari level rata-rata selama ini 11 persen.

Karena itu, sambil menunggu efektivitas dampak meluasnya basis pajak di kemudian hari, inisiatif untuk melaporkan rekening nasabah kepada kantor pajak bisa menjadi terobosan penting. Nantinya kantor pajak akan bisa menilai, apakah saldo dan transaksi seorang nasabah sudah sesuai dengan profil pembayaran pajak dan profil hartanya, ataukah tidak. Jika tidak sesuai, kantor pajak bisa meminta nasabah tersebut untuk membayar kekurangan pembayaran pajaknya.

Ide ini logis dan memang bisa diterapkan. Masalah selanjutnya, berapa rupiahkah batas minimalnya (threshold)? Ketika menetapkan batas Rp 200 juta per rekening, saya duga pemerintah sedang membayangkan ingin ”mengintip” sebanyak mungkin nasabah yang menjadi wajib pajak. Tetapi lupa, bahwa di sisi lain hal itu akan menimbulkan kegelisahan bagi sebagian besar nasabah berpendapatan menengah ke bawah.

Sudah pasti kebijakan baru ini sudah dilandasi dengan niat baik untuk memperbaiki struktur penerimaan negara dari pajak sehingga bisa mengurangi porsi utang pemerintah dalam APBN. Meski begitu, pemerintah harus mempertimbangkan strateginya. Pada tahap awal, mestinya pemerintah membidik lebih dulu target ”ikan besar” (big fish). Penting bagi kita untuk memprioritaskan pelaku penggelapan pajak (tax evaders) berskala besar terlebih dulu, daripada kelompok di bawahnya. Kenapa?

Kita mesti mendisiplinkan diri orang- orang kaya terlebih dulu, baru kemudian disusul orang yang tidak kaya. Jangan terlalu ambisius mendisiplinkan semua orang pada saat bersamaan dengan cuma ”sekali tepuk”. Itu tidak logis.

Menaikkan rasio pajak dari 11 persen menjadi 13-14 persen bukanlah pekerjaan gampang dalam sekejap. Hal itu perlu dilakukan secara bertahap, yakni ke level rasio pajak 12 persen, lalu 13 persen, dan seterusnya. Karena itu, bahwa kemudian batas minimal rekening yang akan dipantau Ditjen Pajak dinaikkan dari Rp 200 juta menjadi Rp 1 miliar, itu sudah benar dan lebih bisa diterima masyarakat. Potensi gejolak dan keresahan pun bisa direduksi.

Berdasarkan data Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS), dengan kriteria minimal Rp 1 miliar, terdapat 496.867 rekening yang nilainya mencakup 64,22 persen dari seluruh dana pihak ketiga (DPK) di bank-bank lokal kita. Data ini ”lebih sederhana” dibandingkan dengan 2,31 juta rekening yang merupakan 1,14 persen dari semua rekening nasabah dalam industri perbankan kita, dengan kriteria Rp 200 juta. Dengan demikian, kriteria baru tersebut menjadi lebih mudah pengadministrasiannya, baik bagi bank maupun kantor pajak.

Selanjutnya, jika masyarakat sudah mulai terbiasa dengan kebijakan ini, secara bertahap pemerintah bisa membuat kriteria yang lebih luas, misalnya menjadi minimal Rp 500 juta per rekening. Saya yakin, semua lapisan masyarakat pun pelahan-lahan bisa dibiasakan untuk taat membayar pajak. Namun, pada tahap awal ini, sebaiknya pemerintah menyasar lebih dulu kalangan berpendapatan tinggi saja, yang dalam hal ini dengan threshold Rp 1 miliar. Pemerintah harus lebih sabar untuk mencapai target utamanya, yakni rasio pajak di atas 11 persen.

Prospek fiskal 2017

Hingga empat bulan pertama 2017, pemerintah baru mengumpulkan penerimaan pajak Rp 339 triliun, yang berarti 25,9 persen dari keseluruhan target pajak tahun ini Rp 1.307 triliun. Memang masih meleset karena jika ditarik garis proporsional mestinya sudah mencapai 33 persen. Penerimaan pajak yang paling tinggi berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) migas, yang sudah mencapai 48 persen, tetapi nilainya kecil (Rp 17,4 triliun). Sementara yang nilainya besar adalah PPh nonmigas yang baru mencapai Rp 200 triliun dari target Rp 751 triliun (27 persen). Secara siklus, biasanya penerimaan pajak kita bakal lebih besar pada bulan-bulan selanjutnya, mendekati akhir tahun.

Sementara itu, kita juga masih berharap pada dua hal. Pertama, dampak dari amnesti pajak yang memperluas basis pajak, mungkin sudah akan memberi dampak positif mulai semester kedua. Kedua, jika pengadministrasiannya baik, peraturan baru pelaporan rekening di atas Rp 1 miliar kepada kantor pajak barangkali bisa mulai memberi hasil positif kepada APBN.

Ibarat sedang mengayuh dayung sampan, pemerintah kini tengah berupaya keras untuk menggapai dua pulau sekaligus. Keduanya adalah isu keadilan pajak serta isu pemenuhan target penerimaan pajak. Hal tersebut akan bermuara pada menjaga stimulus fiskal agar tetap dapat menopang pencapaian pertumbuhan ekonomi minimal 5,1 persen pada akhir tahun ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar