Keadilan
dan Kepatuhan Pajak
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik
Universitas Gadjah Mada; Faculty Member Bank Indonesia Institute
|
KOMPAS, 16 Juni 2017
Hanya dalam tempo beberapa hari,
Kementerian Keuangan akhirnya meralat batas minimal rekening nasabah bank
yang wajib dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Pajak, dari semula minimal
Rp 200 juta menjadi Rp 1 miliar.
Ketentuan ini merupakan tindak lanjut dari
rencana pemerintah untuk meratifikasikan Automatic Exchange of Information
(AEOI), yakni pertukaran informasi sektor finansial di antara negara-negara
anggota G-20. Untuk itu, pemerintah kini tengah mengajukan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 kepada DPR
untuk disetujui.
Kebijakan ini sebenarnya merupakan hal yang
logis sebagai konsekuensi dari berakhirnya era kerahasiaan bank, sebagai cara
untuk mengatasi upaya orang untuk menghindari pajak secara ilegal (tax
evasion) serta tindak pidana pencucian uang (money laundering). Kedua hal
tersebut menjadi musuh bersama di seluruh dunia, yang mendapat perhatian
tinggi oleh G-20. Tiga tahun silam, pada Agustus 2014, untuk pertama kalinya
Pemerintah Swiss menyerahkan 4.500 nama penggelap pajak dari Amerika Serikat
kepada Kongres AS. Peristiwa ini menandai berakhirnya era kerahasiaan bank di
seluruh dunia.
Studi Niels Johannesen dan Gabriel Zucman (”The End of Bank Secrecy? An Evaluation
of the G20 Tax Haven Crackdown”, dalam American Economic Journal: Economic Policy 6(1), 2014) menyatakan
bahwa era mengakhiri kerahasiaan bank di kalangan G-20 diawali sesudah krisis
finansial (subprime mortgage) tahun
2008, yang kemudian membuka opsi memberlakukan perjanjian dua negara
(bilateral treaty). Namun, hal ini dipandang tidak bakal efektif jika tidak
diikuti dengan kesepakatan yang lebih luas dan melibatkan banyak negara
sekaligus, yang kemudian menjadi AEOI.
Perjanjian bilateral hanya akan menyebabkan
dana mengalir dari satu negara persembunyian yang aman (haven) ke haven yang
lain. Pencucian uang masih akan terus terjadi dengan leluasa tanpa bisa
dihentikan. Karena itu, inisiatif yang lebih besar berupa pertukaran
informasi finansial secara otomatis, akhirnya dipilih menjadi gerakan
kolektif G-20, termasuk Indonesia di dalamnya.
Urgensi
keadilan pajak
Urgensi pengungkapan rekening nasabah
kepada kantor pajak, pada dasarnya lebih mengarah pada isu keadilan pajak
(tax fairness) dan kepatuhan (compliance) membayar pajak. Sudah lama kita
ketahui bahwa rasio penerimaan pajak (tax ratio) dibandingkan dengan produk
domestik bruto (PDB) kita akhir-akhir ini hanyalah di bawah 11 persen. Ini
adalah level terendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang umumnya
sekitar 13-14 persen (Malaysia, Singapura, Filipina, dan Vietnam). Bahkan,
Thailand sudah lama mencapai angka 16-17 persen.
Rasio pajak dapat merefleksikan tingkat
kepatuhan masyarakat dalam menunaikan kewajiban membayar pajak. Semakin
tinggi rasionya, semakin tinggi pula masyarakat memenuhi standar kepatuhan
membayar pajak. Oleh karena itu, negara-negara maju umumnya memiliki tingkat
rasio yang tinggi, misalnya AS dan Australia (26 persen), Swiss (30 persen),
Selandia Baru (35 persen), Belanda dan Jerman (40 persen), Italia (43
persen), serta Perancis (48 persen). Sementara itu, negara-negara Skandinavia
juga terkenal memiliki level kepatuhan pajak yang amat tinggi, yakni Norwegia
dan Finlandia (44 persen), Swedia (46 persen), serta puncaknya Denmark (51
persen).
Setiap menteri keuangan kita selalu saja
mencanangkan target rasio pajak yang lebih tinggi, setidaknya menyamai
negara-negara tetangga di level 13-14 persen. Namun, sejarah mencatat, bahwa
rasio pajak sulit sekali beranjak dari level 11 persen. Untuk menaikkan 1
persen saja setiap tahun, pemerintah selalu gagal. PDB Indonesia saat ini
sekitar Rp 12.000 triliun sehingga untuk menaikkan penerimaan pajak 1 persen
dibutuhkan Rp 120 triliun setahun. Ini merupakan jumlah yang tidak mudah
dicapai. Sebagai ilustrasi, penerimaan cukai dari industri rokok kita saat
ini dalam setahun sekitar Rp 140 triliun.
Inisiatif pemerintah melakukan amnesti
pajak merupakan bagian dari strategi untuk memperluas basis pajak sehingga
diharapkan penerimaan pajak ke depannya akan meningkat signifikan. Pada 2016,
pemerintah berhasil mengumpulkan Rp 107 triliun dari pembayaran denda program
amnesti pajak. Jumlah ini cukup signifikan karena nyaris ekuivalen dengan 1
persen terhadap PDB. Namun, sayang, akibat dari perekonomian makro yang
memburuk menyusul penurunan harga komoditas primer telah menyebabkan penerimaan
pajak menurun. Karena itu, setelah dikompensasi dengan hasil amnesti pajak,
rasio pajak kita tetap saja cuma 10,7 persen atau berarti belum beranjak dari
level rata-rata selama ini 11 persen.
Karena itu, sambil menunggu efektivitas
dampak meluasnya basis pajak di kemudian hari, inisiatif untuk melaporkan
rekening nasabah kepada kantor pajak bisa menjadi terobosan penting. Nantinya
kantor pajak akan bisa menilai, apakah saldo dan transaksi seorang nasabah
sudah sesuai dengan profil pembayaran pajak dan profil hartanya, ataukah
tidak. Jika tidak sesuai, kantor pajak bisa meminta nasabah tersebut untuk
membayar kekurangan pembayaran pajaknya.
Ide ini logis dan memang bisa diterapkan.
Masalah selanjutnya, berapa rupiahkah batas minimalnya (threshold)? Ketika
menetapkan batas Rp 200 juta per rekening, saya duga pemerintah sedang
membayangkan ingin ”mengintip” sebanyak mungkin nasabah yang menjadi wajib
pajak. Tetapi lupa, bahwa di sisi lain hal itu akan menimbulkan kegelisahan
bagi sebagian besar nasabah berpendapatan menengah ke bawah.
Sudah pasti kebijakan baru ini sudah
dilandasi dengan niat baik untuk memperbaiki struktur penerimaan negara dari
pajak sehingga bisa mengurangi porsi utang pemerintah dalam APBN. Meski
begitu, pemerintah harus mempertimbangkan strateginya. Pada tahap awal,
mestinya pemerintah membidik lebih dulu target ”ikan besar” (big fish).
Penting bagi kita untuk memprioritaskan pelaku penggelapan pajak (tax
evaders) berskala besar terlebih dulu, daripada kelompok di bawahnya. Kenapa?
Kita mesti mendisiplinkan diri orang- orang
kaya terlebih dulu, baru kemudian disusul orang yang tidak kaya. Jangan
terlalu ambisius mendisiplinkan semua orang pada saat bersamaan dengan cuma
”sekali tepuk”. Itu tidak logis.
Menaikkan rasio pajak dari 11 persen
menjadi 13-14 persen bukanlah pekerjaan gampang dalam sekejap. Hal itu perlu
dilakukan secara bertahap, yakni ke level rasio pajak 12 persen, lalu 13
persen, dan seterusnya. Karena itu, bahwa kemudian batas minimal rekening
yang akan dipantau Ditjen Pajak dinaikkan dari Rp 200 juta menjadi Rp 1
miliar, itu sudah benar dan lebih bisa diterima masyarakat. Potensi gejolak
dan keresahan pun bisa direduksi.
Berdasarkan data Lembaga Penjaminan
Simpanan (LPS), dengan kriteria minimal Rp 1 miliar, terdapat 496.867
rekening yang nilainya mencakup 64,22 persen dari seluruh dana pihak ketiga
(DPK) di bank-bank lokal kita. Data ini ”lebih sederhana” dibandingkan dengan
2,31 juta rekening yang merupakan 1,14 persen dari semua rekening nasabah
dalam industri perbankan kita, dengan kriteria Rp 200 juta. Dengan demikian,
kriteria baru tersebut menjadi lebih mudah pengadministrasiannya, baik bagi
bank maupun kantor pajak.
Selanjutnya, jika masyarakat sudah mulai
terbiasa dengan kebijakan ini, secara bertahap pemerintah bisa membuat
kriteria yang lebih luas, misalnya menjadi minimal Rp 500 juta per rekening.
Saya yakin, semua lapisan masyarakat pun pelahan-lahan bisa dibiasakan untuk
taat membayar pajak. Namun, pada tahap awal ini, sebaiknya pemerintah
menyasar lebih dulu kalangan berpendapatan tinggi saja, yang dalam hal ini
dengan threshold Rp 1 miliar. Pemerintah harus lebih sabar untuk mencapai
target utamanya, yakni rasio pajak di atas 11 persen.
Prospek
fiskal 2017
Hingga empat bulan pertama 2017, pemerintah
baru mengumpulkan penerimaan pajak Rp 339 triliun, yang berarti 25,9 persen
dari keseluruhan target pajak tahun ini Rp 1.307 triliun. Memang masih
meleset karena jika ditarik garis proporsional mestinya sudah mencapai 33
persen. Penerimaan pajak yang paling tinggi berasal dari Pajak Penghasilan
(PPh) migas, yang sudah mencapai 48 persen, tetapi nilainya kecil (Rp 17,4
triliun). Sementara yang nilainya besar adalah PPh nonmigas yang baru
mencapai Rp 200 triliun dari target Rp 751 triliun (27 persen). Secara siklus,
biasanya penerimaan pajak kita bakal lebih besar pada bulan-bulan
selanjutnya, mendekati akhir tahun.
Sementara itu, kita juga masih berharap
pada dua hal. Pertama, dampak dari amnesti pajak yang memperluas basis pajak,
mungkin sudah akan memberi dampak positif mulai semester kedua. Kedua, jika
pengadministrasiannya baik, peraturan baru pelaporan rekening di atas Rp 1
miliar kepada kantor pajak barangkali bisa mulai memberi hasil positif kepada
APBN.
Ibarat sedang mengayuh dayung sampan,
pemerintah kini tengah berupaya keras untuk menggapai dua pulau sekaligus.
Keduanya adalah isu keadilan pajak serta isu pemenuhan target penerimaan
pajak. Hal tersebut akan bermuara pada menjaga stimulus fiskal agar tetap
dapat menopang pencapaian pertumbuhan ekonomi minimal 5,1 persen pada akhir
tahun ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar