Retrogresi
Politik Kebangsaan
Gun Gun Heryanto ; Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
|
KOMPAS, 13 Juni 2017
Musim pancaroba politik belumlah sirna.
Bahkan, situasi ketidakpastian dan ketidaknyamanan, kecenderungannya terus
dikelola bahkan diteguhkan oleh beberapa kalangan hingga memuncak di
perhelatan pertarungan politik 2019. Politik kebangsaan pun mendapatkan
tantangan nyata.
Ragam corak keberbedaan mulai dari suku,
agama, ras, antargolongan, ego kelompok, organisasi, dan kepentingan
seharusnya luruh dalam semangat nasionalisme yang menjadi titik temu
kekitaan. Pancaroba mesti diwaspadai karena biasanya rentan menghadirkan
ragam jenis penyakit terutama saat "imunitas" politik kebangsaan
kita melemah.
Pola
peneguhan
Fenomena kekinian menunjukkan gejala
retrogresi, yakni pemburukan kualitas politik kebangsaan, akibat polarisasi
dukungan politik yang menghadirkan kebencian antarpendukung. Contoh aktualnya
adalah luka menganga yang tercipta di Pilkada DKI Jakarta, bahkan ada yang
sudah lama terjangkit "penyakit" serupa sejak Pemilu Presiden 2014.
Mereka kerap menularkan virus kebencian
satu pihak ke pihak lainnya, serta provokasi kepada banyak orang.
Keberlimpahan informasi yang bersumber dari rumor, gosip, fitnah, ujaran
kebencian, hoaks memapar kanal-kanal komunikasi warga, terutama dengan
memasukkan isu berdaya ledak tinggi bernama suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA).
Yang perlu diwaspadai adalah pola peneguhan
(reinforcement) melalui rangsangan komunikasi bertahap yang dikelola sehingga
berpotensi menjadi semacam pengondisian instrumental untuk membangun persepsi
dan tindakan yang mudah dimanipulasi secara psikologis. Agresivitas verbal
dan tindakan yang bersumber dari klaim-klaim kebenaran sepihak dan
egosentrisme inilah yang melemahkan kohesi sosial warga.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas dengan
512 responden di 14 kota besar di Indonesia pada 17-19 Mei (Kompas, 22/5),
mengonfirmasi kohesi sosial yang menjadi pengikat keberagaman bangsa
Indonesia tengah bermasalah. Sebanyak 49,8 persen dari responden mengaku
solidaritas sosialnya semakin melemah, 13,2 persen tetap, 36,6 persen semakin
kuat, dan 0,4 persen tidak tahu. Ini tentu gambaran dari fenomena yang harus
diberi perhatian serius oleh semua pihak.
Dalam bacaan komunikasi politik, pola
peneguhan retrogresi politik kebangsaan tampaknya terjadi melalui tiga
skenario. Pertama, skenario ubikuitas. Dalam bahasa Latin ubique artinya di
mana-mana. Maknanya adalah menghadirkan isu yang merusak kohesi sosial secara
masif dan eksesif. Konsep ubikuitas ini, meminjam istilah dari Elisabeth
Noelle-Neumann, dalam bukunya The Spiral of Silence: Public Opinion- Our
Social Skin (1993). Meskipun, Noelle- Neumann saat itu menggunakannya untuk
melihat peran signifikan media massa dalam pembentukan opini mayoritas.
Dalam konteks retrogresi politik kebangsaan
ini, caranya dengan membanjiri berita, opini, perbincangan di media massa,
terutama televisi yang partisan, dan media sosial secara provokatif untuk
merusak kohesi sosial secara terus-menerus. Berupaya membangun kesan
terbentuknya opini mayoritas.
Contoh aktual di media sosial, misalnya
fenomena persekusi atau tindakan memburu secara liar orang lain di media
sosial yang dianggap melecehkan atau menodai pihak lain ataupun ajaran agama
tertentu. Warga yang jadi target persekusi
biasanya dipublikasikan profilnya, didatangi, ditekan, dipermalukan
dengan memviralkan video persekusinya serta menggelandang targetnya ke polisi
dan umumnya dilaporkan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bisa jadi,
warga yang menjadi target perburuan memang status media sosialnya melanggar,
tetapi tindakan sweeping ataupun menggeruduk rumah warga dengan cara
sewenang-wenang juga mengancam ketidakteraturan sosial.
Southeast
Asia Freedom of Expression Network (SAFENET) mencatat sejak
Januari-Mei 2017, telah terjadi 47 persekusi terhadap akun-akun media sosial
yang dituding menghina agama atau ulama di media sosial. Bisa jadi,
realitasnya lebih banyak lagi. Hal ini, bisa menjadi bagian skenario
menghadirkan isu di mana-mana, selain sejumlah cara lain, misalnya menyebar
provokasi lewat grup Whatsapp, menulis status dan membagikan foto serta video
di ragam media sosial.
Kedua, skenario kumulasi. Maksudnya,
mengelola pertentangan kumulatif antarwarga sampai di momentum tertentu agar
tujuannya tercapai. Hal ini, bisa kita baca dari gegap gempitanya isu yang
merusak kohesi sosial meski pilkada serentak 2017, terutama di Pilkada DKI
sudah usai. Ada potensi, politisasi SARA dan politik identitas akan dipakai
ulang di daerah-daerah lain yang berpilkada serentak tahun 2018. Terlebih
tahun depan, ada beberapa daerah yang menjadi battle ground politik nasional,
seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Puncak skenarionya, sangat
mungkin terjadi pada tahun 2019. Sisi gelap pertarungan pilkada dan pilpres
yang mengeksploitasi isu SARA bisa jadi membentang panjang ke masa depan.
Ketiga, konsensus yakni skenario bersepakat
untuk bahu-membahu bekerja sama antara mereka yang punya kepentingan
elektoral dengan mereka yang sudah lama teridentifikasi sebagai kelompok
intoleran, pengusung konservatisme, dan bahkan bisa saja bermain mata dengan
organisasi-organisasi yang sesungguhnya tak sepenuhnya bersepakat dengan
Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi pilar
politik kebangsaan.
Demokrasi
elusif
Retrogresi politik kebangsaan jika
dibiarkan akan melahirkan resesi demokrasi (democratic decline). Meminjam
istilah dari Alberto J Olvera dalam tulisannya, "The Elusive Democracy:
Political Parties, Democratic Institutions, and Civil Society in
Mexico", dalam Latin American Research Review, Volume 45 (2010), resesi
ini bisa menyebabkan elusive democracy, yakni keadaan yang ditandai dengan
penurunan kualitas demokrasi sebagai konsekuensi dari melambatnya
konsolidasi, baik soal pemantapan kapasitas institusi demokrasi maupun
kematangan budaya politik.
Salah satu yang penting dalam memaknai
demokrasi adalah etos demokratik. Tak cukup hanya membangun sistem
demokratik, seperti birokrasi, hukum serta sistem penyelenggaraan pilpres dan
pilkada. Para politisi, kandidat dan siapa pun yang punya kepentingan dalam
pertarungan politik harus memiliki tanggung jawab sosial untuk senantiasa
merawat rumah besar Indonesia yang telah didirikan secara susah payah oleh
para pejuang republik ini.
Secara faktual, Pancasila merupakan faktor
perekat yang bisa menyatukan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sila-sila
Pancasila bisa menjadi mata air nilai luhur yang sangat penting dalam
menguatkan etos demokratik.
Para elite politisi sah-sah saja berebut
kuasa politik, tetapi jangan merusak tatanan konsolidasi demokrasi yang
sedang diupayakan banyak pihak. Strategi melegitimasi dirinya dan
mendelegitimasi orang lain jangan sampai mewujud dalam bentuk "bom"
perusak yang memorak-porandakan kekitaan warga. Media massa wajib memainkan
peran sebagai partisipan demokrasi melalui kerja jurnalismenya. Warga pun
memperkuat kapasitas diri sekaligus memiliki sikap jelas untuk turut menjadi
bagian dari gerbong politik berkeadaban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar