Svetlana
Alexievich
Trias Kuncahyono ; Penulis Kolom KREDENSIAL Kompas Minggu
|
KOMPAS, 18 Juni 2017
Di Gogol Center—pusat kebudayaan: gedung teater, kafe, ada
toko buku, dan berbagai venue untuk pentas seni budaya—di Moskwa, Rusia,
suatu hari, Svetlana Alexievich memberikan kuliah umum. Alexievich adalah
penerima hadiah Nobel Sastra 2015 dan menjadi perempuan ke-14 yang mendapat
hadiah Nobel sejak pertama kali diberikan pada tahun 1901. Perempuan terakhir
yang menerima hadiah Nobel berasal dari Kanada, Alice Munro (2013).
Alexievich yang berdarah campuran—ayahnya berasal dari
Belarus, sedangkan ibunya berasal dari Ukraina—lahir 31 Mei 1948 di
Ivano-Frankovsk, Ukraina, yang ketika itu masih di bawah kekuasaan Uni
Soviet. Ayahnya seorang tentara. Namun, setelah pensiun, pulang ke Belarus
dan menjadi guru; ibunya juga menjadi guru.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Minsk
(1967-1972) jurusan jurnalistik, Alexievich menjadi wartawan dan guru.
Awalnya dia bekerja sebagai wartawan di Byaroza, wilayah Brest (Beresa) yang
dekat dengan perbatasan Polandia. Lalu dia pindah ke Minsk dan bekerja di
surat kabar Sel'skaja Gazeta. Karena reportasenya yang kritis terhadap kebijakan
politik pemerintah, Alexievich dipaksa tinggal di luar negeri. Ia tinggal
berpindah-pindah: Italia, Perancis, Jerman, dan Swedia.
Ia banyak menulis cerita pendek, esai, dan membuat
reportase. Dipengaruhi oleh tradisi oral storytelling Rusia dan reportase
sastra inovatif pengarang kontemporer kondang Ales Adamovich dan Artyom
Borovik, ia menggabungkan jurnalisme dan sastra sebagai sarana untuk
menciptakan apa yang disebutnya sebagai ”sejarah perasaan manusia”. Akan
tetapi, karyanya ketika itu tidak bisa dipublikasikan karena alasan politik.
Baru setelah pertengahan 1980-an, Mikhail Gorbachev menjalankan kebijakan
liberalisasi perestroika, hasil karyanya bermunculan.
Salah satu bukunya yang terkenal adalah Chernobylskaya molitva: khronika
budushchego atau Suara dariChernobyl: Kronik Masa Depan) yang diterbitkan
tahun 1997. Buku ini mengisahkan dampak tragedi Chernobyl, berdasarkan
kesaksian para korban dan saksi mata bencana pusat tenaga nuklir milik Uni
Soviet itu. Buku-bukunya bercerita tentang krisis sejarah—Perang Dunia II,
Perang Uni Soviet di Afganistan, bencana Chernobyl, dan runtuhnya Uni
Soviet—lewat suara orang-orang kebanyakan, rakyat biasa. Dalam buku Suara
dari Chernobyl, misalnya, seorang perempuan menceritakan bagaimana suaminya,
seorang petugas pemadam kebakaran, akhirnya mati karena keracunan, radiasi
(The New Yorker: 2015).
Di Gogol Center, Alexievich memberikan kuliah umum. Kuliah
umum itu diberikan sebelum terjadi demonstrasi antikorupsi di Rusia, 12 Juni
lalu. Nadezda Azhgikhina dari The Nation (14/6) menulis, Alexievich berbicara
tentang kekuatan kata-kata, kekuatan martabat manusia, serta kekuatan
perlawanan terhadap perbudakan dan ketakutan dalam jiwa manusia. Ia juga
bicara tentang pilihan pribadi, apa yang membuat kita menjadi manusia dan
membuat perbedaan dalam kehidupan politik dan kehidupan publik.
Kekuatan kata-kata. Kata-kata—buku—bisa menjadi inspirasi
atau senjata pembunuh. Karena itu, Publius Ovidius Naso, yang sering disebut
Ovid (43-17 SM), seorang penyair Romawi, pernah mengatakan, cave quid dicis,
quando, et cui, berhati-hatilah terhadap apa yang Anda katakan dan kepada
siapa. Mengapa? Sebab, kata-kata bisa menjadi senjata pembunuh, membunuh
orang lain, dan membunuh orang yang mengatakannya.
Masih menurut Ovid, tutur kata menggambarkan kualitas
pribadi seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang, tutur kata,
perkataan, menjadi sumber perselisihan dan kejahatan. Apa yang terjadi di
Qatar pada saat ini juga berangkat dari pernyataan pemimpin negeri itu
(terlepas bahwa pernyataan itu telah diretas sehingga menimbulkan keguncangan
dan ketegangan politik).
Dalam setiap musim kampanye pemilu, entah itu pilkada atau
pemilu nasional, selalu terjadi ”hujan” kata-kata, banjir kata-kata yang
tidak jarang tak terkendali dan bahkan banjir kata-kata yang berubah menjadi
gelombang kampanye hitam. Di mana-mana bertebaran berita bohong, berita tanpa
dasar, hujatan, makian, ujaran kebencian, hoaks, fitnah, dan hasutan.
Saat itulah, tulis Herry Priyono (BASIS: 2014), terjadi kerusakan
tata krama paling elementer dalam berdemokrasi. Akibatnya,
terhambur-hamburlah energi dan sumber daya yang seharusnya untuk memupuk
demokrasi, yang terjadi justru menghancurkan demokrasi. Demokrasi tak lebih
dari menghambur-hamburkan kata-kata sekadar untuk mencerca dan memfitnah
pihak lain. Atas nama kebebasan berpendapat dan bersuara yang dijamin oleh
demokrasi, kampanye hitam disebarluaskan. Urusan bangsa yang demikian besar
dan penting menjadi urusan personal. Berpolitik tidak lagi untuk bonum commune,
kemaslahatan masyarakat, tetapi lebih untuk kepentingan diri, kepentingan
kelompok, kepentingan golongan sendiri, bahkan kepentingan keluarga.
Oleh karena kata-kata, kekhasan manusia—yang memiliki
nalar, yang memiliki martabat dan keluhuran, yang memiliki bahasa, yang
memiliki hati—telah membusuk. Pada saat itu, hancurlah peradaban manusia. Dan
itu telah kita alami yang paling akhir dalam pilkada di DKI, dan bukan tidak
mungkin, kalau kata-kata tidak dikontrol meluncur bebas dari setiap mulut, akan
terjadi lagi dalam Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Benar yang dikatakan Alexievich, kata-kata memiliki
kekuatan, membangun, menginspirasi, sekaligus menghancurkan. Bahkan, jauh
zaman sebelumnya, Raja Salomo bin Daud pernah mengatakan, ”Hidup dan mati
dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya.” Kata-kata
memiliki potensi untuk menghasilkan konsekuensi positif atau negatif.
Kata-kata memiliki kekuatan untuk memberikan kehidupan dengan memberikan
dorongan atau kejujuran atau kata-kata juga bisa menghancurkan dan membunuh
lewat kebohongan dan gosip, hujatan, ujaran kebencian, dan seperti sudah
disebut di atas lewat kampanye hitam dengan memanipulasi kebenaran.
Nelson Mandela, yang hampir 30 tahun mendekam di penjara,
setelah dibebaskan pernah mengatakan, ”Tidak pernah menjadi kebiasaan saya
untuk menggunakan kata-kata dengan mudah. Jika selama 27 tahun di penjara
tidak terjadi apa pun pada diri saya, itu karena dalam kesunyian saya
memahami betapa berharganya kata-kata dan bagaimana pidato yang sebenarnya
akan memengaruhi kehidupan dan kematian orang.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar