Ada
Apa dengan Qatar?
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Senior Advisor, Atma
Jaya Institute of Public Policy
|
KORAN
SINDO, 14 Juni 2017
Berita dikucilkannya Qatar oleh tujuh
negara yang tergabung di Dewan Kerja Sama untuk negara Arab di Teluk (Gulf
Cooperation Council) telah mengejutkan banyak pihak. Namun, fenomena itu
sebetulnya tidak mengherankan. Politik Timur Tengah yang tidak stabil selalu
akan membuka peluang lahirnya ketegangan-ketegangan baru seperti yang dialami
oleh Qatar. Tidak ada yang dapat menjamin ketegangan semacam ini tidak akan
terjadi di masa depan. Oleh sebab itu, kita tidak perlu panik atau
bertanya-tanya apa yang bisa kita lakukan untuk menyelesaikan krisis yang
terjadi kecuali mengkhawatirkan nasib WNI yang bekerja di wilayah tersebut.
Selain itu, pemutusan hubungan diplomatik
oleh Arab Saudi, sebagai negara yang mengambil inisiatif pertama kali untuk
mengucilkan Qatar, bukanlah yang pertama terjadi. Arab Saudi pernah memanggil
pulang duta besarnya dari Doha pada tahun 2002 karena stasiun televisi milik
pemerintah Qatar, Al-Jazeera, mengadakan talkshow dengan mengundang warga
Saudi yang kritis terhadap pihak keluarga kerajaan.
Saudi baru mengirimkan kembali duta
besarnya pada 2007 setelah mendapat jaminan bahwa Qatar, khususnya
Al-Jazeera, tidak lagi mengkritik atau menyinggung keluarga kerajaan yang
memimpin Arab Saudi. Saya melihat hubungan Qatar dengan negara-negara lain
yang tergabung di GCC dapat diumpamakan seperti hubungan kakak-beradik di
dalam sebuah keluarga. Arab Saudi sebagai saudara yang dituakan di Timur
Tengah, hidup berdampingan dengan adik-adiknya yang memiliki kepentingan
ekonomi dan politiknya masing-masing.
Salah satu adik yang mungkin terlalu
menonjol dan berusaha untuk keluar dari bayang-bayang kakaknya adalah Qatar.
Qatar yang 50 tahun lalu masih negara paling miskin di kawasan tersebut,
menjadi negara terkaya setelah menemukan cadangan gas dan pada 2006 bisa
menggantikan posisi Indonesia sebagai pengekspor gas LNG terbesar di dunia.
Alasan Qatar untuk tampil beda dan
kadang-kadang memiliki pendapat berbeda dari kakak-kakaknya, terutama Arab
Saudi, tidak lepas dari kelemahan geografis negara tersebut di antara
negara-negara lain di Timur Tengah. Qatar (luasnya 11.571 km2) memiliki
wilayah yang lebih luas dari Bahrain (765 km2).
Luasnya kira-kira dua kali luas Jakarta. Ia
terjepit di antara Arab Saudi dan Iran yang tidak hanya besarnya paling luas
di antara negara-negara Timur Tengah, tetapi juga saling bertolak belakang di
bidang pandangan politik. Qatar menyadari bahwa posisinya sangat rentan. Ia
tidak mungkin memusuhi Iran, tetapi juga tidak bisa terlalu dekat dengan Arab
Saudi.
Oleh sebab itu, Qatar mengembangkan open door policy yaitu sebuah
kebijakan politik luar negeri yang memihak ke semua pihak, playing all fields (Nuruzzuman 2015a).
Pendekatan memihak ke semua pihak berbeda dengan pendekatan tidak memihak.
Pendekatan tidak memihak cenderung lebih pasif dan baru terlibat ketika
diundang.
Sementara pendekatan memihak ke semua pihak
mensyaratkan partisipasi aktif Qatar dalam membangun relasi dan hubungan baik
kepada para sekutu di Timur Tengah sekaligus dengan musuh-musuh mereka. Qatar
aktif dan berperan di dalam GCC bersama Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Arab
Saudi, Oman, Qatar, Yaman, dan tetapi juga akrab dengan Ikhwanul Muslimin
(IM) yang masuk dalam daftar organisasi teroris di Arab Saudi dan Bahrain.
Qatar juga menjalin hubungan dengan Kubu
Houthi yang beraliran Syiah dan saat ini masih berperang dengan Kubu Hadi
yang didukung GCC. Qatar juga pernah membangun hubungan baik dengan Israel,
namun juga menyediakan tempat di Doha bagi Hamas, musuh abadi Israel dari
Palestina. Qatar menjalin kerja sama yang erat dengan Iran terutama dalam
proyek eksplorasi minyak bumi dan gas, tetapi juga menyediakan The Al-Udeid Air Base untuk
kepentingan militer Amerika Serikat di Timur Tengah.
Hubungan-hubungan itu membuat pengaruh
Qatar dapat semakin meluas tidak hanya di wilayah Timur Tengah tetapi juga
dalam panggung Internasional. Qatar memanfaatkan modal hubungan baik ke semua
pihak itu dengan berperan aktif sebagai mediator dalam beberapa konflik (kamrava 2011: Barakat 2014; Nuruzzaman 2015b).
Qatar misalnya menjadi mediator antara
pemerintah Yaman dan pemberontak Houthi (2008). Qatar juga menjadi penghubung
komunikasi di Libanon antara pemerintah yang beraliran Suni dan kelompok
oposisi Hizbullah yang beraliran Syiah (2008). Qatar memfasilitasi gencatan
senjata antara pemerintah Sudah dan
Kelompok pemberontak Darfur (2010) yang kemudian diperbarui dengan
kesepakatan baru di tahun 2011.
Qatar juga memfasilitasi negosiasi antara
kelompok yang berselisih paham dan senjata di Palestina antara Fatah dan
Hamas. Qatar bahkan pernah memfasilitasi pembicaraan antaran Taliban,
Afganistan dan AS. Sebuah prestasi yang mengangkat derajat Qatar di mata
Internasional. Meski demikian, Qatar juga tidak selalu berperan menjadi teman
semua pihak dan mediator perdamaian di beberapa kasus.
Perubahan peran itu terutama dalam sikap
Qatar dalam gerakan Arab Springs di
beberapa negara. Contohnya, Qatar memusuhi rezim Khadafi dan mendukung
kelompok oposisi yang melawan Khadafi. Dukungan itu terutama dalam bantuan
keuangan, pelatihan, ekonomi dan senjata kepada kelompok oposisi yang melawan
pemerintahan Khadafi di tahun 2011.
Qatar yang adalah negara kecil memimpin
koalisi Liga Arab untuk menaklukkan pemerintahan resmi di Libya. Salah satu
perubahan sikap Qatar yang menuai kecaman dari negara-negara Teluk adalah
ketika Qatar membela Ikhwanul Muslimin (IM) dan mengecam penggulingan
kekuasaan Mursi oleh Abd El-Fattah El- Sisi dari militer (2013).
Bagi Arab Saudi dan negara-negara kerajaan
lain di Timur Tengah, IM adalah organisasi yang mengancam politik dinasti
yang sudah bertahun-tahun berkuasa. Siapa yang mendukung IM artinya juga
menentang kekuasaan yang berkuasa di Timur Tengah. Qatar juga menolak untuk
berpihak kepada pemerintahan Suriah yang dipimpin oleh Bashar al-Assad dan
lebih mendukung para pemberontak.
Qatar tidak secara langsung menyerang
Al-Assad tetapi menyediakan jutaan dolar AS uang dan senjata kepada para
pemberontak. Qatar juga membantu mengorganisir kelompok pemberontak dan
oposisi bersatu dalam Syrian National Council (SNC) dan mengganti posisi
Suriah di Liga Arab. Meski demikian, organisasi payung ini juga tidak efektif
dalam proses negosiasi dengan pemerintah Suriah karena kurangnya dukungan
dari Arab Saudi dan negara Teluk lainnya.
Alasan kurangnya dukungan kemungkinan
karena kecurigaan Arab Saudi dan UEA bahwa di dalam SNC terdapat unsur-unsur
IM yang dikhawatirkan akan menguat apabila mereka dapat masuk dalam
pemerintahan transisi di Suriah (Kristian Coates Ulrichsen 2014). Ini juga
adalah salah satu faktor mengapa negosiasi di antara kelompok pemberontak dan
antara kelompok pemberontak terhadap pemerintah Suriah selalu gagal.
Beberapa analis (Khatib 2013; Kristian
Coates Ulrichsen 2014, Barakat 2012) menyimpulkan untuk sementara ini bahwa
perubahan peran dari kebijakan yang memihak semua pihak menjadi partisan
membuat citra Qatar yang sebelumnya dikenal sebagai pihak yang terlihat
”netral” menjadi diragukan.
Meskipun banyak negara yang tidak suka atau
kesal dengan sikap Qatar yang memihak semua pihak, mereka tidak merasa
terancam karena meyakini bahwa Qatar tidak akan melakukan lebih dari pada
perannya sebagai mediator. Keyakinan itu mulai goyah ketika Qatar banyak
membina hubungan dengan kelompok-kelompok oposisi yang berpotensi menuntut
”demokrasi” di negara-negara Timur tengah seperti di Tunisia, Mesir,
Yordania, Irak.
Oleh karena itu, saya melihat pengucilan
Qatar oleh tujuh negara harus kita lihat sebagai upaya mereka untuk
”mendisiplinkan” Qatar agar tidak terlalu jauh melangkah dan bermain dalam
politik internasional. Blokade ekonomi dan pemutusan hubungan diplomatik juga
kita bisa tangkap sebagai pesan bahwa Qatar tidak akan dapat hidup tanpa
dukungan dari negara-negara sekitar terutama Arab Saudi, UEA, dan Bahrain
yang berbatasan langsung dengan Qatar.
Walaupun ada keterlibatan Iran dan Turki
yang menggalang solidaritas untuk Qatar, dua negara yang sebetulnya saling
bermusuhan, jalan keluar dari pengucilan ini bergantung pada Qatar itu
sendiri.
Apakah Qatar akan kembali menjalankan dan
membatasi perannya sebagai mediator dengan kebijakan open-policynya atau
tetap akan aktif memperluas dan memperdalam pengaruhnya di kalangan oposisi,
terutama mendorong menguatnya IM di negara-negara di Timur Tengah? Menurut
hemat saya, dengan situasi ini, kita perlu bijak menunggu negara-negara yang
berselisih untuk mencari titik temu di antara mereka sendiri dan belum perlu
mengambil langkah khusus untuk merespons isu Qatar. Kunci penyelesaiannya ada
di Qatar dan negara-negara yang mengelilinginya. Ini justru perkembangan
menarik tentang dinamika perkembangan politik kawasan Timur Tengah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar