Paket
Kemudahan Berusaha
Robert Endi Jaweng ; Direktur Eksekutif
KPPOD, Jakarta
|
KOMPAS, 15 Juni 2017
Setahun lalu, peta jalan reformasi
kemudahan berusaha dan peningkatan daya saing usaha kecil-menengah mulai
digagas di Kementerian Perekonomian.
Melewati rangkaian pembahasan dan konsensus
multipihak, pada pertengahan 2016 Presiden Joko Widodo mengumumkan matriks
kerja yang dibungkus dalam paket kebijakan XII. Isi matriks disusun menurut
kerangka kemudahan berusaha (ease of doing business /EoDB) Bank Dunia sebagai
alat bantu identifikasi area-area perbaikan dan target peningkatan indeks
kinerja (peringkat).
Sesudah paket terbit, bagaimana realisasi
di lapangan, khususnya di daerah sebagai lokus utama implementasi? Sejauh
mana respons kebijakan dan persiapan operasional pemda? Apakah pelaku usaha,
sebagai target benefisiari, merasakan dampak dari deregulasi-debirokratisasi
yang merupakan instrumen utama pelaksanaan paket tersebut?
Tulisan yang mengambil bahan hasil evaluasi
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah/KPPOD (2017) ini akan
menunjukkan sejumlah temuan kunci dan menawarkan pilihan intervensi strategis
bagi percepatan dan keberlanjutan reformasi struktural ke depan.
Jalan panjang
Secara genealogis, akar gagasan pentingnya
"kemudahan berusaha" bersumber dari pemikiran ekonom Peru, Hernando
de Soto tentang dead capital (The Mystery of Capital, 2000). Kepemilikan unit
usaha atau tanah banyak hanya berujung sebagai aset mati jika tak didukung
oleh suatu sistem formal yang mengatur tentang hak kepemilikan (a formal
system of property rights). Orang miskin tak selalu berarti tak berkepunyaan.
Lemahnya struktur hukum membuat mereka tetap miskin, buruknya birokrasi menahan
pelaku usaha berpindah dari ranah informal ke formal atau naik kelas dari
skala mikro ke usaha kecil/menengah (UKM).
Indonesia lama mengalami situasi serupa.
Stok regulasi berlimpah, tetapi acap menjerat swasta berproduksi dalam
kekuatan penuh. Belitan birokrasi perizinan membuat orang lebih memilih
bertahan di ranah informal meski sejumlah opportunity cost (perlindungan
keamanan, akses kredit bank, dan lain-lain) menjadi ongkos yang harus mereka
bayar. Kemudahan berusaha yang berarti membuka (akses) kesempatan usaha bagi
lapisan akar rumput tak dilihat sebagai strategi mengatasi
ketertinggalan-ketimpangan. Baru belakangan ini, meski hasilnya masihlah jauh
panggang dari api, kemudahan berusaha menjadi satu dari tiga pilar penopang
kebijakan pemerataan ekonomi.
Karena itu, deregulasi (simplifikasi
jumlah/jenis aturan) dan debirokratisasi (efisiensi proses bisnis)
pertama-tama berarti membuka akses dan mendorong produktivitas. Jelas hanya
omong kosong jika pemda mengklaim berpihak pada UKM, tetapi tak membereskan
prosedur, waktu, dan biaya saat memulai usaha (starting a business).
Pelaku usaha sudah dibendung di hulu oleh
berlapis-lapis urusan legalisasi. Aset sulit digandakan, bahkan mati (dead
capital), seiring sulitnya masuk ke pasar atau lemahnya insentif kelembagaan
yang disiapkan negara. Jika produktivitas usaha merupakan basis daya saing
daerah/negara, ketiadaan institusi yang kuat tersebut-menyitir Daron Acemoglu
dan James Robinson dalam Why Nations Fail (2012)-perlahan menyumbang pada
kegagalan kolektif bangsa.
Setahun paket terbit, memang ada quick win
yang cukup menjanjikan: peringkat EoDB mengalami peningkatan dari 106 (2016)
ke posisi 91 tahun ini. Capaian ini sesungguhnya suatu lompatan bersejarah.
Untuk pertama kalinya Indonesia bergerak naik dua digit, bahkan tercatat
sebagai top reformer di antara 190 negara. Dengan pembuktian awal tersebut,
pemerintah lalu menargetkan lompatan yang lebih ambisius: peringkat ke-30
tahun 2018!
Namun, capaian tersebut sejatinya belum
optimal dan rentan untuk diandalkan sebagai fondasi berkelanjutan. Secara
komparatif dan dalam konteks bersaing era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA),
kita tertinggal dari tetangga: Malaysia (23), Thailand (46), bahkan Vietnam
(82). Masih banyak ruang perbaikan, dari sisi kebijakan ataupun terutama
implementasi.
Pertama, kerangka, substansi dan
kredibilitas kebijakan menjadi pekerjaan rumah serius. Saat ini tak kurang
204 regulasi sudah direvisi-termasuk melakukan tindakan hapus, gabung,
sederhanakan dan limpahkan (HGSL) perizinan-tetapi level intervensinya hanya
sebatas kebijakan dalam ranah eksekutif. Padahal, akar regulasi turunan
terletak di UU sehingga sejumlah izin dasar-bermasalah (tanda daftar
perusahaan/TDP, Hinderordonnantie/HO, dan lain-lain) tetap bertahan.
Pemerintah ingin bekerja cepat dan mungkin tak mau repot berurusan politik di
DPR, tetapi pilihan rute pintas tersebut membuat kerangka deregulasi menjadi
pincang.
Pada segi lain, sebagian substansi
kebijakan malah menjauhkan tujuan paket dari niat membuka kesempatan
berusaha. Daftar Negatif (DNI) bagi investor asing menguasai saham hotel
berbintang satu dan dua memarjinalkan pengusaha lokal dalam bisnis penginapan
papan bawah. Demikian pula, kredibilitas kebijakan dipertaruhkan ketika
klausul diskon tarif listrik 30 persen bagi pemakaian arus di atas pukul 12
malam justru disiasati PLN hanya berlaku untuk tambahan konsumsi. Koordinasi
kebijakan dan koordinasi implementasi horizontal di pusat menjadi tantangan
yang kasat mata terlihat sepanjang penyusunan matriks dan pelaksanaan di
lapangan.
Kedua, meski terjadi lompatan peringkat,
kinerja sejumlah indikator di daerah tak bergerak signifikan, bahkan
memburuk. Memulai usaha sebagai indikator penentu lahirnya investasi skala
kecil turun dari peringkat ke-151 (2016) ke-167 (2017). Sementara indikator
resisten demi menghindari dead capital, yakni registrasi properti, justru
turun dari 118 (2016) ke-123 (2017). Jika target dalam isi matriks paket
diambil sebagai tolok banding, kita segera melihat suatu bentang jalan panjang.
Dalam hal kemudahan berusaha di 10 kota
bisnis utama, rerata capaiannya adalah 9,6 prosedur (target tujuh prosedur),
lama waktu 17 hari (target 10 hari) dan biaya resmi Rp 73 juta. Sementara
alih hak atas tanah memakan biaya Rp 183 juta untuk pengurusan izin/syarat di
enam prosedur yang ada.
Segi lain adalah variasi lokal yang tajam.
Memulai usaha terbilang efisien di Jakarta, Surabaya, dan Pontianak;
sementara para pengusaha di Makassar dan Palembang harus menempuh lebih
banyak prosedur dan waktu panjang. Variasi lebih krusial lagi berkenaan
substansi urusan: sebagian daerah memberlakukan izin yang tak memiliki
legalitas (surat keterangan domisili usaha/SKDU di Surabaya, Medan dan
Pontianak, surat keterangan fiskal/SKF di Manado), menambah rantai urusan di
street level bureaucracy tanpa SoP (rekomendasi lurah di Makassar dan izin
berantai yang mengunci izin berikutnya, menggeser "otorisasi"
negara kepada warga yang seolah berhak menerima/menolak izin (persetujuan
tetangga), izin ganda untuk fungsi serupa (Upaya Pengelolaan Lingkungan dan
Upaya Pemantauan Lingkungan/UKL/UPL, Surat Pernyataan Pengelolahan
Lingkungan/SPPL dan HO) dalam pengurusan bangunan atau lokasi usaha.
Berbagai variasi itu muncul sebagai
perpaduan antara kehendak berotonomi dan diskresi yang salah dengan tiadanya
standardisasi nasional (NSPK) yang membawa kebingungan bahkan risiko
ketidakpastian berusaha.
Ketiga, komunikasi kebijakan belum mengalir
lancar dari pusat ke daerah ataupun dari pemda ke pengusaha. Persepsi berbeda
atau minimnya informasi soal isi paket berimplikasi pada respons kebijakan
yang lambat di 10 kota bisnis utama (apalagi di pelosok Nusantara).
Pada gilirannya resonansi kebijakan
tersebut terdengar lemah di ruang-ruang rapat asosiasi bisnis sehingga mereka
sulit menagih (monitoring) pelaksanaannya ke pemda setempat, apalagi
merasakan manfaat bersih secara berarti. Tidak heran, dalam isu elementer
soal instansi perizinan, antardaerah belum bersepakat guna memperkuat
pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) sebagai titik akses tunggal (one stop
service) dan memilih satuan kerja perangkat daerah (SKPD) sektoral yang
justru menjadi another stop.
Pekerjaan
rumah besar
Setahun masa implementasi tentu sulit
berharap banyak untuk melihat dampak (impact) dan manfaat (benefit) terkait
masuknya investasi. Reformasi struktural pada sisi penawaran semacam ini
selalu memerlukan jeda waktu, apalagi jika tak didukung sisi permintaan (daya
beli) dalam konteks pelambatan ekonomi global hari ini. Namun, setidaknya
dengan ukuran terbatas pada indikator kinerja (output), pemerintah rasanya
masih memerlukan energi berkekuatan penuh untuk mendorong mesin perubahan ini
ke depan. Jalan awal sudah diretas, tetapi membuatnya bermakna dan
berkelanjutan adalah pekerjaan rumah besar.
Melihat kerangka perubahan saat ini, suatu
rencana induk terasa niscaya. Soliditas kebijakan, koherensi isi matriks dan
level intervensi yang berhulu kepada perubahan UU memang sulit dinafikan
lagi. Melihat Malaysia, kita patut menimbang untuk beranjak dari pendekatan
bertahap (incremental approach) ke strategi fundamental. Secara kelembagaan
itu juga berarti perlu analisis biaya-manfaat: apakah hanya memakai mekanisme
kerja berbentuk pokja teknis dan satgas pelaksanaan paket saat ini atau perlu
suatu opsi baru membentuk oversight body sebagai unit sentral koordinasi
kebijakan/implementasi antara kementerian/lembaga (K/L) di pusat, pusat
dengan daerah, pemda dengan pengusaha.
Kebutuhan pelaku usaha tentu jauh lebih
besar/kompleks lagi. Namun, keberhasilan dalam menata deregulasi adalah
langkah awal yang bisa memberi sinyal penting kepada pasar bahwa pemerintah
serius melakukan pekerjaan besar ke depan. Ibarat tes kolesterol, hasil EoDB
memang tak menggambarkan kondisi kesehatan menyeluruh, tetapi jika kolesterol
tidak dijaga dalam kadar yang pas, berbagai fungsi organ tubuh lainnya
terganggu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar