Pemilihan
Rektor oleh Presiden
Darmaningtyas ; Pengurus Keluarga Besar
Taman Siswa
|
KORAN
TEMPO, 15 Juni 2017
Pemilihan rektor di perguruan tinggi negeri
kita selalu penuh hiruk-pikuk dengan politik primordialisme dan
sektarianisme. Tidak jarang proses pemilihan menimbulkan gesekan
antar-civitas academica berdasarkan ideologi atau agama yang dianut dan
kadang berakhir di pengadilan karena saling gugat, mirip seperti pemilihan
kepala daerah. Seorang kolega yang pernah ikut bertarung dalam pemilihan
rektor mengaku dilobi dari kelompok tertentu yang siap mendukung. Tapi,
kompensasinya, bila terpilih menjadi rektor, asistensi pendidikan agama
mereka pegang.
Asistensi pendidikan agama di perguruan
tinggi negeri menjadi rebutan kelompok-kelompok tertentu karena merupakan
ruang yang sangat strategis untuk melakukan kaderisasi maupun indoktrinasi
kepada kaum muda potensial. Hampir semua perguruan tinggi negeri menempatkan
jadwal asistensi agama pada masa-masa awal kuliah, saat pemikiran mahasiswa
masih jernih dan mudah diarahkan sesuai dengan kehendak dosen atau mentor.
Siapa yang menguasai ruang tersebut akan menggenggam suara mahasiswa, dan
menggenggam suara mahasiswa berarti menggenggam masa depan politik di negeri
ini.
Jadi, wajar, bila saat pemilihan rektor di
perguruan tinggi, hak pemberi asistensi pendidikan agama menjadi alat posisi
tawar antara calon rektor dan pendukungnya. Padahal kampus adalah lembaga
ilmiah. Pertarungan calon pemimpin di perguruan tinggi negeri semestinya
pertarungan gagasan, pemikiran, dan program yang akan dilakukan bila terpilih
menjadi rektor.
Kecenderungan membawa kampus ke institusi
yang lebih bersifat politis dan tidak ilmiah itu bukanlah hal baru. Sewaktu
menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 1978-1983, Daoed Joesoef
memandang penting untuk menormalkan kehidupan kampus sebagai lembaga ilmiah
melalui program Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus
(NKK/BKK). Daoed saat itu menengarai adanya kecenderungan kampus sebagai
lembaga politik praktis sehingga memunculkan gesekan antar-civitas academica
berdasarkan suku, agama, dan afiliasi politiknya.
Konsep NKK/BKK saat itu ditolak dan
menimbulkan gelombang protes besar di kampus-kampus karena dinilai sebagai
proses depolitisasi kampus. Namun, ketika kita sekarang merasakan polutifnya
kampus-kampus dari penetrasi berbagai ideologi yang bertentangan dengan
Pancasila, kita baru menyadari kebenaran konsep tersebut.
Melihat perkembangan situasi politik
kampus-kampus yang sudah dikuasai oleh kaum yang anti-Pancasila dan lebih
suka mengusung ideologi khilafah, muncul wacana baru bahwa pemilihan rektor
di perguruan tinggi negeri akan dilakukan oleh presiden. Wacana itu tidak
terlepas dari fenomena merebaknya paham radikalisme di kampus-kampus
tersebut. Kampus pun dipakai untuk deklarasi negara khilafah oleh para
mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Bahkan ada sejumlah guru besar di
sana yang terang-terangan mendukung berdirinya negara khilafah.
Gagasan pemilihan rektor oleh presiden
sebetulnya secara yuridis tidak bertentangan dengan undang-undang. Sebab,
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi,
pemerintah, yang diwakili oleh Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi memiliki
35 persen suara dalam pemilihan rektor di perguruan tinggi negeri. Apalagi,
berdasarkan pengalaman selama ini, suara pemerintah amat menentukan seseorang
terpilih menjadi rektor atau tidak.
Namun pemilihan rektor oleh presiden itu
cukup dilematis. Di satu sisi, perkembangan perguruan tinggi pasca-reformasi,
terutama menyangkut otonomi kampus, sudah cukup jauh, termasuk dalam
menentukan biaya yang harus ditanggung oleh mahasiswa. Bila rektor dipilih
oleh presiden, baik-tidaknya amat bergantung pada sosok presiden yang mampu
memilih calon rektor secara bijak.
Namun, di sisi lain, bila pemilihan rektor
dilepas seperti selama ini, konstelasi kampus-kampus amat bergantung pada
dominasi organisasi mahasiswa di sana. Hal itu mengingat formasi sivitas akademika
di kampus-kampus tidak terlepas dari dominasi organisasi ekstra mahasiswanya.
Bila organisasi ekstra mahasiswa yang kuat HMI, yang direkrut menjadi dosen
adalah mayoritas berlatar belakang HMI, dan secara otomatis rektor yang akan
terpilih pun dari HMI. Demikian pula bila organisasi ekstra yang dominan itu
GMNI, secara otomatis yang direkrut menjadi dosen mayoritas berlatar belakang
GMNI dan demikian pula rektor yang akan terpilih. Intervensi presiden dalam
pemilihan rektor dapat memotong siklus yang tidak sehat seperti itu dan
mendorong ke kondisi yang lebih obyektif rasional (berdasarkan kompetensi).
Namun yang lebih utama lagi adalah
memunculkan calon-calon pemimpin yang memang kompeten. Berdasarkan pengalaman
selama ini, formasi dosen perlu dirombak dalam hal rekrutmen dosen baru agar
lebih obyektif dengan mendasarkan pada kompetensi akademis, sosial, dan
profesional; bukan berdasarkan afiliasi organisasi, apalagi berdasarkan suku
dan agama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar