Sabtu, 17 Juni 2017

Pemilihan Rektor oleh Presiden

Pemilihan Rektor oleh Presiden
Darmaningtyas ;   Pengurus Keluarga Besar Taman Siswa
                                                   KORAN TEMPO, 15 Juni 2017



                                                           
Pemilihan rektor di perguruan tinggi negeri kita selalu penuh hiruk-pikuk dengan politik primordialisme dan sektarianisme. Tidak jarang proses pemilihan menimbulkan gesekan antar-civitas academica berdasarkan ideologi atau agama yang dianut dan kadang berakhir di pengadilan karena saling gugat, mirip seperti pemilihan kepala daerah. Seorang kolega yang pernah ikut bertarung dalam pemilihan rektor mengaku dilobi dari kelompok tertentu yang siap mendukung. Tapi, kompensasinya, bila terpilih menjadi rektor, asistensi pendidikan agama mereka pegang.

Asistensi pendidikan agama di perguruan tinggi negeri menjadi rebutan kelompok-kelompok tertentu karena merupakan ruang yang sangat strategis untuk melakukan kaderisasi maupun indoktrinasi kepada kaum muda potensial. Hampir semua perguruan tinggi negeri menempatkan jadwal asistensi agama pada masa-masa awal kuliah, saat pemikiran mahasiswa masih jernih dan mudah diarahkan sesuai dengan kehendak dosen atau mentor. Siapa yang menguasai ruang tersebut akan menggenggam suara mahasiswa, dan menggenggam suara mahasiswa berarti menggenggam masa depan politik di negeri ini.

Jadi, wajar, bila saat pemilihan rektor di perguruan tinggi, hak pemberi asistensi pendidikan agama menjadi alat posisi tawar antara calon rektor dan pendukungnya. Padahal kampus adalah lembaga ilmiah. Pertarungan calon pemimpin di perguruan tinggi negeri semestinya pertarungan gagasan, pemikiran, dan program yang akan dilakukan bila terpilih menjadi rektor.

Kecenderungan membawa kampus ke institusi yang lebih bersifat politis dan tidak ilmiah itu bukanlah hal baru. Sewaktu menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 1978-1983, Daoed Joesoef memandang penting untuk menormalkan kehidupan kampus sebagai lembaga ilmiah melalui program Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK). Daoed saat itu menengarai adanya kecenderungan kampus sebagai lembaga politik praktis sehingga memunculkan gesekan antar-civitas academica berdasarkan suku, agama, dan afiliasi politiknya.

Konsep NKK/BKK saat itu ditolak dan menimbulkan gelombang protes besar di kampus-kampus karena dinilai sebagai proses depolitisasi kampus. Namun, ketika kita sekarang merasakan polutifnya kampus-kampus dari penetrasi berbagai ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, kita baru menyadari kebenaran konsep tersebut.

Melihat perkembangan situasi politik kampus-kampus yang sudah dikuasai oleh kaum yang anti-Pancasila dan lebih suka mengusung ideologi khilafah, muncul wacana baru bahwa pemilihan rektor di perguruan tinggi negeri akan dilakukan oleh presiden. Wacana itu tidak terlepas dari fenomena merebaknya paham radikalisme di kampus-kampus tersebut. Kampus pun dipakai untuk deklarasi negara khilafah oleh para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Bahkan ada sejumlah guru besar di sana yang terang-terangan mendukung berdirinya negara khilafah.

Gagasan pemilihan rektor oleh presiden sebetulnya secara yuridis tidak bertentangan dengan undang-undang. Sebab, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pemerintah, yang diwakili oleh Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi memiliki 35 persen suara dalam pemilihan rektor di perguruan tinggi negeri. Apalagi, berdasarkan pengalaman selama ini, suara pemerintah amat menentukan seseorang terpilih menjadi rektor atau tidak.

Namun pemilihan rektor oleh presiden itu cukup dilematis. Di satu sisi, perkembangan perguruan tinggi pasca-reformasi, terutama menyangkut otonomi kampus, sudah cukup jauh, termasuk dalam menentukan biaya yang harus ditanggung oleh mahasiswa. Bila rektor dipilih oleh presiden, baik-tidaknya amat bergantung pada sosok presiden yang mampu memilih calon rektor secara bijak.

Namun, di sisi lain, bila pemilihan rektor dilepas seperti selama ini, konstelasi kampus-kampus amat bergantung pada dominasi organisasi mahasiswa di sana. Hal itu mengingat formasi sivitas akademika di kampus-kampus tidak terlepas dari dominasi organisasi ekstra mahasiswanya. Bila organisasi ekstra mahasiswa yang kuat HMI, yang direkrut menjadi dosen adalah mayoritas berlatar belakang HMI, dan secara otomatis rektor yang akan terpilih pun dari HMI. Demikian pula bila organisasi ekstra yang dominan itu GMNI, secara otomatis yang direkrut menjadi dosen mayoritas berlatar belakang GMNI dan demikian pula rektor yang akan terpilih. Intervensi presiden dalam pemilihan rektor dapat memotong siklus yang tidak sehat seperti itu dan mendorong ke kondisi yang lebih obyektif rasional (berdasarkan kompetensi).

Namun yang lebih utama lagi adalah memunculkan calon-calon pemimpin yang memang kompeten. Berdasarkan pengalaman selama ini, formasi dosen perlu dirombak dalam hal rekrutmen dosen baru agar lebih obyektif dengan mendasarkan pada kompetensi akademis, sosial, dan profesional; bukan berdasarkan afiliasi organisasi, apalagi berdasarkan suku dan agama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar