Persatuan
Atau Persatean Nasional (V-habis)
Ahmad Syafii Maarif ; Penulis Kolom RESONANSI
Republika
|
REPUBLIKA, 13 Juni 2017
Bung Karno dan Bung Hatta sebelumnya selama
delapan tahun (1934-1942) diasingkan penguasa kolonial ke tempat yang
berbeda: Bung Karno ke Endeh, Bengkulu, dan Padang, sedangkan Bung Hatta
bersama Sutan Sjahrir ke Boven Digul (Papua), dan kemudian dipindahkan ke
Banda Neira, Maluku Tengah, dengan segala suka-dukanya.
Di Banda Neira inilah Bung Hatta menulis
karya tentang filsafat di bawah judul: Alam Pikiran Yunani yang terkenal itu.
Bagi Bung Hatta filsafat berfungsi untuk “meluaskan pandangan dan menajamkan
pikiran,” seperti yang ditulis dalam pengantar karya tiga jilid ini di Banda
Neira 1941, saat dia berusia 39 tahun.
Pada seri ke lima dan terakhir ini kita
membicarakan corak hubungan Bung Karno dan Bung Hatta masa pendudukan Jepang
(1942-1945) dan beberapa tahun pasca proklamasi sampai Bung Karno wafat pada
tahun 1970 untuk dijadikan pelajaran berharga bagi generasi yang datang
kemudian, terlebih bagi politisi Indonesia kontemporer yang kebanyakan tidak
punya kepekaan tentang bahaya persatean nasional. Juga akan dinilai secara
singkat kualitas kenegarawanan keduanya tatkala menghadapi masa-masa kritikal
dan genting dalam karier politik kebangsaan mereka pada sebuah negara yang
berusia muda.
Dalam bacaan saya, ketika terlibat dalam
polemik yang tajam sekalipun, Bung Karno dan Bung Hatta tetap konsisten menjaga
kohesi persatuan nasional. Di situ terasa kekuatan watak kenegarawaan mereka
yang luar biasa. Perbedaan karakter antara keduanya telah membawa hubungan
itu berada dalam situasi tegang-kendor, silih berganti, tetapi anyaman
persahabatan mereka tidak pernah putus, demi memelihara keutuhan bangsa dan
negara agar tidak sampai dibinasakan oleh anak-anak bangsa yang tipis dan
lemah wawasan kebangsaannya.
Serangan tentara Jepang yang tiba-tiba
telah melumpuhkan kekuasaan kolonial di Indonesia tanpa perlawanan. Bung
Karno dan Bung Hatta melihat peluang ini untuk mempercepat proses kemerdekaan
bangsa, sekalipun rakyat harus megalami penderitaan yang sangat parah.
Kekejaman Jepang atas rakyat Indonesia tidak akan pernah dilupakan, karena
sudah terekam ingatan kolektif kita. Tetapi mengapa kedua tokoh sentral ini
mau bekerja sama dengan kekuasaan Jepang, sementara Sutan Sjahrir dan
kelompoknya tidak turut dan malah bekerja di bawah tanah, mendidik rakyat
untuk melawan tentara pendudukan mata sipit ini?
Orang boleh berdebat tentang masalah ini,
tetapi tentu punya alasannya masing-masing. Sjahrir yang sejak di negeri
Belanda sangat dekat dengan Bung Hatta, di masa pendudukan Jepang ini malah
berpisah. Sebenarnya Sjahrir tahu dan setuju kedua tokoh itu bekerja sama
dengan Jepang, sebab situasinya mengharuskan demikian. Bahwa Jepang itu
kejam, semuanya mengerti. Bung Karno bersama Bung Hatta melaui Poetera
(Poesat Tenaga Rakyat), demi mempercepat kemerdekaan tanah air, semula memang
bersemangat untuk bekerja sama dengan Jepang, tetapi kemudian disadarinya
bahwa Jepang tidak dapat dipercaya. Sutan Sjahrir sejak awal memang
mencurigai Jepang, tetapi tokoh ini dinilai penguasa tidak terlalu
berpengaruh dibandingkan dengan Bung Karno dan Bung Hatta.
Demikianlah, untuk meringkas cerita, Jepang
pada akhirnya takluk kepada sekutu setelah Hiroshima dan Negasaki pada awal
Agustus 1945 dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat. Bung Karno dan Bung
Hatta meneruskan kerja samanya dan pada 17 Agustus 1945 dikenal sebagai dua
sejoli proklamator, kemudian ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden
negara Indonesia yang baru dibentuk. Setelah Pemilu 1955, bulan Desember
1956, Bung Hatta mengundurkan diri sebagai pendamping Bung Karno. Banyak yang
menyesalkan sikap Bung Hatta ini, tetapi watak keras tokoh ini tidak bisa
dibujuk. Bolehjadi juga Bung Karno tidak keberatan atas pengunduran Bung
Hatta ini. Di saat Bung Hatta bersama Sultan Hamengkubuwono IX dijadikan ikon
oleh daerah yang sedang bergolak akhir 1950-an, keduanya tidak tergoda untuk
berpihak, karena bisa mencoreng martabat kenegarawan mereka.
Bung Karno sampai saat “dikudeta” oleh
militer tahun 1966, dapat dikatakan bak mobil dengan gas besar melaju tanpa
rem, sebab remnya adalah Bung Hatta. Kritik keras Hatta atas konsep Demokrasi
Terpimpin Bung Karno tertuang dalam sebuah artikel dalam majalah Panji
Masyarakat (Mei 1960) dengan judul: “Demokrasi Kita.” Bung Karno marah,
tetapi tidak sampai menangkap Bung Hatta. Di sini sisi kenegarawanan Bung
Karno masih terasa. Bung Hatta masih bebas bergerak, sekalipun diawasi.
Tetapi kenegarawanan Bung Karno mendapat
ujian berat ketika kekuasaannya digerogoti oleh militer dengan bantuan
mahasiswa dan pelajar Indonesia. Bung Karno bersama pendukungnya yang masih
besar ketika itu tidak melakukan perlawanan, demi menjaga agar bangsa ini
tidak pecah. Bung Karno wafat pada 21 Juni 1970 dalam tahanan militer, sebuah
perlakuan sangat buruk yang semestinya tidak terjadi.
Dua hari sebelum wafat Bung Hatta
mendatangi sahabat lamanya yang sedang menderita ini. Apa yang terjadi? Kita
kutipkan sebagian tulisan Bung Hendri Budiman pada 6 Mei 2013 di bawah judul
: “Akhir Hayat Bung Karno.” Dalam bahasa Belanda Bung Hatta menyapa Bung
Karno:
Hoe gaat het met jou…? Bagaimana keadaanmu?
Bung Karno kemudian terisak bagai anak kecil. Lelaki perkasa itu menangis di
depan kawan seperjuangannya. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan
perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmtanya juga tumpah. Kedua teman lama
yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah takut berpisah…Dan
Bung Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami
sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak
punya nurani.
Bagi saya kezaliman penguasa atas diri Bung
Karno dalam keadaan sekarat itu adalah kejahatan kemanusiaan terburuk yang
mengkhianati sila kedua Pancasila: “Kemanusiaan yang adil dan berdab.”
Dengan kutipan ini saya ingin menegaskan
bahwa hubungan Bung Karno dan Bung Hatta pernah renggang, tetapi tidak pernah
putus. Keduanya adalah negarawan dalam caranya masing-masing. Keduanya
pembela gigih persatuan nasional dan musuh besar bagi penganut mazhab
persatean nasional (jika memang gejala itu dirasakan) yang bisa menghancurkan
bangsa dan negara ini! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar