Balada
Kaum Korban Salah Urus Pendidikan
Ardhie Raditya ; Dosen Pendidikan Kritis dan Kajian Budaya
di Departemen Sosiologi
Universitas Negeri Surabaya
|
DETIKNEWS, 12 Juni 2017
Sentilan Igbal Aji Daryono di Kolom
Detikcom, Selasa (6/6) lalu berjudul Balada Kaum yang Tersesat di Universitas
tak hanya menggugah melainkan juga menggelisahkan. Dalam tulisannya ia
menyebutkan bahwa jumlah mahasiswa yang salah jurusan di universitas semakin
berceceran. Bagi saya, ini bukan masalah salah jurusan semata. Jika kita gali
lebih dalam lagi, maka akan tampak adanya salah urus pendidikan tinggi kita.
Saya ingin melengkapi tulisan Iqbal supaya
wajah bopeng pendidikan kita lebih berimbang. Jika Iqbal melihatnya dari
perspektif mahasiswa yang salah jurusan, maka saya akan membacanya dari
perspektif dosen yang menjadi korban salah urus pendidikan.
Profesi akademisi di perguruan tinggi
seperti dosen tak hanya dituntut memiliki kompetensi mengajar saja. Mereka
juga dituntut memiliki kapasitas menulis, baik di media cetak (koran),
terlebih lagi di jurnal ilmiah bereputasi. Tak hanya di jurnal ilmiah
bereputasi nasional, terlebih lagi di jurnal internasional terutama yang
terindeks scopus.
Tapi, menulis di jurnal terindeks scopus
tersebut kerapkali mengundang banyak persoalan di kalangan para akademisi
kebanyakan. Sebab, selain masa tunggu yang panjang dalam pemuatannya, menulis
di jurnal internasional membutuhkan biaya yang relatif mahal. Persoalan
semacam ini bukan perkara ada tidaknya dukungan finansial dari setiap
perguruan tinggi bersangkutan. Karena, menulis sejatinya panggilan hati.
Itulah sebabnya, dibutuhkan perenungan
mendalam bagi para akademisi agar menghasilkan tulisan yang tajam, jernih,
dan mendalam. Sehingga, tulisannya tidak sekedar berakhir di tumpukan meja
administrasi kepangkatan. Melainkan juga, dapat dikutip seluas-luasnya bagi
kemajuan ilmu pengetahuan di negeri kita.
Sudah sejak lama Shapiro (2005) mengutuk
keras pendidikan tinggi yang hanya memikirkan kepentingan internalnya
sendiri. Dalam karyanya yang termashur, A Larger Sense of Purpose: Higher
Education and Society dia mengatakan bahwa telah sekian lama pendidikan
tinggi berjarak dengan kehidupan masyarakatnya.
Di Amerika saja, menurutnya, universitas
dibelah menjadi dua dikotomi, antara publik dan privat. Atau, dalam bahasa
kita dikenal istilah negeri dan swasta. Universitas publik di sana cenderung
berorientasikan pada program pemerintahan. Sementara, universitas privat
lebih banyak bermotif industri dan pasar.
Belakangan ini, kedua jenis universitas
nyaris tak ada bedanya. Karena, baik itu Michigan, Princeston, maupun Harvard
University telah melebur ke dalam praktik kapitalisme akademik. Derek Bok
(2006) dalam Underachieving Colleges mengatakan bahwa globalisasi dan
internasionalisasi di berbagai belahan dunia lambat laun menumpulkan akal
sehat pendidikan tinggi.
Sehingga, kekuatan moral, kritik terhadap
ketidakadilan kekuasaan, dan daya responsif terhadap kebutuhan masyarakat
menjadi terpinggirkan. Berbagai bentuk penyimpangan sistemik pendidikan
tinggi model demikian boleh jadi tidak terlihat mata. Hal ini disebabkan
menurut Patricia Burch (2009) pendidikan tinggi tersebut berada di dalam
genggaman tangan-tangan tak terlihat (hidden markets).
Maka, sistem standarisasi pasar laten ini
adalah sistem perankingan yang diciptakan oleh lembaga internasional dari
negara Barat. Sehingga, formulasi kuantitatif ini menciptakan hierarki sosial
baru dalam pendidikan tinggi. Hal ini secara kultural mereproduksi
kesenjangan pendidikan berskala global. Antara pendidikan tinggi di negara
berkembang yang inferior, dan pendidikan tinggi di negara maju yang superior.
Tak heran jika pasca Orde Baru muncul
budaya baru para akademisi bangsa kita. Ariel Heryanto (2012), anak bangsa
yang telah menjadi profesor di Australia, mengkritik gaya hidup kaum
terpelajar kita yang 'keminggris-minggrisan'. Untuk menyedot perhatian massa,
mereka menyebar kartu nama dengan sederet gelar akademik dari mancanegara di
antara namanya. Bahkan, mereka serasa tak percaya diri tatkala berbicara
tidak menyitir istilah bahasa asing walaupun sedikit saja.
Tak jadi soal apakah bahasa asing itu telah
diucapkan dengan tepat dan benar. Yang penting 'keminggris-minggrisan' atau
'keasing-asingan'. Akibatnya, kalangan akademisi kita sulit menjadi agen
pencerahan dan pembebasan sosial. Sebab, mereka membentuk kelas priyayi baru
yang justru memapankan budaya feodalisme di zaman pascakolonial.
Menurut Bourdieu (1983) dalam Language and
Symbolic Power, dominasi bahasa yang melenyapkan kekhasan bahasa lokal
merupakan bentuk kekerasan simbolik. Karenanya, penyeragaman standar bahasa
ke dalam satu bentuk bahasa tunggal merupakan cerminan ilusi praktik
berbahasa. Padahal, negeri kita amat kaya dengan keberagaman bahasa.
Setidaknya, ada ribuan bahasa lokal yang tersebar di tengah-tengah kelompok
pengguna bahasa di Nusantara.
Ironisnya, belakangan sebagian besar dari
keberadaan bahasa lokal tersebut sedikit demi sedikit mengalami kepunahan.
Dalam konteks itu, bisa dimengerti mengenai gagasan Mendikbud yang berencana
membuat jurnal internasional berbahasa Indonesia. Boleh jadi, gagasan
Profesor Muhadjir tersebut terkesan wacana belaka.
Namun, secara sosiologis dan kajian budaya,
menjadikan bahasa Indonesia sebagai bagian dari jurnal internasional
mengandung banyak keuntungan. Selain memberi kesempatan yang luas para
akademisi kita berkarya dalam arena pemikiran, hal itu juga bisa menegaskan
kedaulatan kemerdekaan bangsa kita dalam berbahasa.
Namun, rencana itu saja tidak cukup.
Karena, panggilan tugas universitas adalah memastikan civitas akademiknya
dimanusiawikan martabatnya. Dan, dicukupi masa depan diri dan keluarganya.
Sehingga, mereka dalam mengabdi pada ilmu pengetahuan dan kehidupan
masyarakatnya tidak lagi terganggu urusan perut dan tangan besi birokrasi.
Akhirnya, terima kasih Bung Iqbal. Semoga
kita bukan bagian dari korban salah jurusan dan salah urus pendidikan. Jika
pun iya, marilah kita bersatu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar