Tarik
Ulur Pembahasan RUU Pemilu
Adi Prayitno ; Dosen Politik FISIP UIN
Jakarta;
Peneliti The Political
Literacy Institute
|
KORAN
SINDO, 15 Juni 2017
HINGGA kini Pansus RUU Pemilu belum mampu
menyepakati sejumlah isu krusial. Akibatnya tahapan Pemilu Serentak 2019
dipastikan molor. Di tengah waktu yang kian terjepit, Pansus mesti bermanuver
cepat menyepakati poin krusial tersebut. Tak ada lagi waktu tarik ulur.
Sejak Kamis lalu (8/6) pengambilan
keputusan atas sejumlah isu krusial sudah dimulai. Hanya satu isu yang
berhasil disepakati, yakni saksi partai politik harus dilatih oleh Bawaslu.
Selebihnya tak ada isu penting lain yang disetujui akibat perbedaan pandangan
fraksi-fraksi di parlemen.
Lima hari berselang, Pansus RUU Pemilu
kembali menggelar sidang guna membahas poin krusial yang masih tercecer.
Harapannya akan terjadi titik temu antarfaksi. Namun rapat kembali ditunda.
Pemerintah berhalangan hadir karena ingin memberikan waktu kepada
fraksi-fraksi untuk melakukan rapat konsultasi alias lobi politik.
Setidaknya ada lima poin krusial yang
menjadi perdebatan tak kunjung usai, yakni parliamentary threshold,
presidential threshold, magnitudo daerah pemilihan (dapil), sistem pemilu,
dan metode konversi suara. Jika diringkas kembali, dari lima isu krusial ini,
hanya ada dua isu yang paling sulit dikompromikan, yakni soal parliamentary
threshold dan presidential threshold.
Banyak kalangan menduga, dua poin tersebut
sulit mencapai titik temu karena menyangkut eksistensi partai politik di
Senayan di masa mendatang. Termasuk soal peluang partai politik bisa
mengusung capres dan cawapres sendiri.
Secara umum fraksi-fraksi di DPR terbelah
menyikapi dua poin krusial ini. Partai besar seperti Golkar, PDIP plus satu
partai bawah Nasdem tetap mengusulkan presidential threshold atau ambang
batas minimal syarat pencalonan presiden sebesar 20% perolehan suara di DPR
atau 25% suara sah tingkat nasional. Sementara itu koalisi partai bawah dan
menengah mengusulkan zero threshold
(0%).
Argumen penyokong 20% atau 25% presidential
threshold didasarkan pada kenyataan bahwa seorang presiden terpilih harus
memiliki jenjang politik memadai dimulai dari level bawah, yaitu presiden
yang lahir dari rhim kaderisasi yang matang di partai politik.
Tak hanya itu, ketatnya syarat pencalonan
presiden dianggap sebagai ikhtiar melahirkan presiden terpilih yang memiliki
sokongan politik maksimal. Atau menghindari terpilihnya presiden
minoritas.
Menurut Scott Mainwaring dalam
Presidentialism, Multyparty, and Democracy (1990), sistem presidensial
multipartai memang sangat rentan melahirkan presiden minoritas, yakni
presiden yang dapat sokongan minoritas di parlemen. Fenomena ini terpotret
dari tahun pertama era Jokowi-JK yang sibuk meladeni manuver politik barisan
oposisi.
Sementara itu soal parliamentary threshold
atau ambang batas perolehan suara di parlemen juga terbelah. Partai besar
ngotot akan menaikkan ambang batas suara parlemen menjadi 5% dari yang semula
hanya 3,5%. Usul ini dimaksudkan untuk menyederhanakan keterwakilan partai
politik di parlemen. Adapun koalisi partai menengah tetap ngotot di angka
3,5% untuk memfasilitasi banyaknya partai politik yang ikut pemilu.
Penyederhanaan parpol mestinya tak dibatasi
UU Pemilu yang diskriminatif, tapi melalui proses natural. Toh puluhan partai
politik yang bermunculan pascareformasi berguguran secara alamiah karena tak
dapat mendongkrak kinerja elektoral mereka.
Tak
Substansial
Jika dibedah secara utuh, perdebatan poin
yang dianggap krusial dalam RUU Pemilu sebenarnya tak terlalu substansial
bagi pembenahan kualitas pemilu. Semuanya tak lebih dari sekadar upaya
mengakomodasi kepentingan partai politik. Terutama partai besar yang tak mau
kehilangan kemewahannya sebagai ”partai pemenang”.
Inilah watak dasar partai politik.
Menghalalkan segala cara untuk meraup kekuasaan meski harus mengabaikan
kualitas demokrasi. Partai politik biasanya cukup serius, bahkan harus
”gebrak meja” jika menyangkut kepentingan politik mereka.
Namun mereka tak acuh jika beririsan dengan
kepentingan rakyat. Bisa dicek satu per satu poin krusial tersebut. Ambang
batas pencalonan presiden maupun parlemen tak ada kaitannya dengan upaya
meningkatkan partisipasi rakyat. Begitu pun dengan metode konversi suara,
alokasi kursi dapil, maupun sistem pemilu, semuanya nyaris tak ada kaitannya
langsung dengan upaya menciptakan pemilu yang lebih jurdil nan demokratis.
Mestinya yang menjadi bahan perdebatan
penting adalah segala hal yang terkait dengan upaya membangun kualitas
pemilu. Misalnya dengan meningkatkan angka partisipasi pemilih, mengamputasi
praktik politik uang (money politics), meredam politik dinasti, dan
meminimalkan konflik akibat kecurangan pemilu. Ataupun upaya menciptakan
pemilih kritis dengan melakukan pendidikan politik rakyat guna menjaring
politisi andal yang populis. Juga menghadang politisi busuk yang hanya
merongrong negara dengan berbagai perilaku korupsi.
Selain tak substansial, ada indikasi RUU
Pemilu hanya akan melanggengkan oligarki partai politik dengan mengusulkan
sistem pemilu proporsional terbuka terbatas yang dalam praktiknya
tertutup. Itu artinya pemilih hanya
membeli kucing dalam karung tanpa mengetahui rekam jejak sang caleg. Karena
caleg terpilih ditentukan oleh partai politik, bukan oleh perolehan suara
mayoritas.
Pada saat bersamaan juga terendus upaya
menghambat munculnya calon presiden alternatif. Opsi 20% presidential
threshold bisa dibaca sebagai manuver menutup gerak laju capres potensial
alternatif tersebut.
Mestinya partai politik besar memberi
panutan bagaimana menciptakan kualitas demokrasi yang ajek. Bukan malah
menghambat munculnya figur dan partai politik alternatif di tengah pluralisme
rakyat.
Titik
Kompromi
Dalam politik tak ada musuh abadi, yang ada
hanyalah kepentingan abadi. Adagium politik ini cocok untuk menarasikan
situasi buntu pembahasan RUU Pemilu.
Partai-partai besar, terutama PDIP dan
Golkar yang mendapat sokongan pemerintah, sejatinya bisa mundur selangkah
agar terbuka ruang kompromi politik guna mengesahkan poin krusial. Begitu pun
dengan partai kecil dan menengah juga harus mampu mundur selangkah untuk
menemukan titik kompromi.
Kata ahli politik Prusia, Otto von
Bismarck, dalam politik apa pun serbamungkin (art of possibilities). Politik
hadir sebagai media negosiasi terhadap pihak-pihak yang berseberangan.
Jikapun fraksi-fraksi di DPR tetap bersikukuh dengan sikap politik masing-masing,
titik kompromi yang paling rasional ialah melalui mekanisme voting terbuka di
sidang paripurna. Sebab voting merupakan instrumen politik yang bisa diterima
dalam sistem demokrasi.
Sebab, jika tetap terjadi kebuntuan,
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengusulkan untuk kembali ke UU Pemilu
lama Nomor 8/2012 tentang Pemilu. Jelas ini langkah mundur yang tak memiliki
argumen kuat. Tak mungkin menganulir sejumlah poin yang sudah ditetapkan
Pansus Pemilu. Termasuk betapa boros dan mubazirnya waktu yang terbuang jika
akhirnya Pemilu 2019 dipaksa mengacu pada UU Pemilu lama.
Oleh karena itu, tak ada lagi alasan untuk
tidak menuntaskan sejumlah poin yang dianggap krusial terebut. Kuncinya
adalah political will bersama antara Pansus RUU Pemilu dan pemerintah untuk
menyudahi tarik ulur ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar