Sabtu, 15 April 2017

Nasionalisme Jantung Ayam

Nasionalisme Jantung Ayam
Iqbal Aji Daryono ;   Praktisi Media Sosial; Penulis buku "Out of The Truck Box"; Kini ia tinggal sementara di Perth, Australia, dan bekerja sebagai buruh transportasi
                                                     DETIKNEWS, 11 April 2017


                                                                                                                                                           

Akhir pekan kemarin, datang tamu istimewa untuk saya dari Canberra. Banyak orang mengenal tamu saya itu sebagai pendekar lingkungan atau apalah apalah. Tapi, saya tidak terlalu memahami itu. Di mata saya, yang paling penting dari dirinya adalah satu hal: oseng-oseng jantung ayam.

Namanya Mbak Avi Mahaningtyas. Kami berteman baru sejak tiga tahun silam, saling berbalas pesan untuk bergosip tentang macam-macam persoalan, hingga postingan di dinding Facebook-nya juga rutin berseliweran. Di situlah terpampang berbagai tampilan yang menggoncang-goncang keteguhan nalar rasional para manusia perantauan. Makanan, makanan, dan makanan. Semuanya cita rasa kampung halaman.

Dulu kala, saya selalu mengejek para aktivis medsos yang hobinya cuma posting foto makanan. Apalagi kalau muatan pesannya sekadar, "Gue lagi di sini makan ini." Haha. Tapi, sejak kami hinggap di Perth dan menjalani masa di kota ini hingga beberapa tahun lamanya, standar moral omong kosong dalam bermedsos itu saya runtuhkan serta-merta.

Mulai saat itu, diam-diam saya kerap terpukau memandangi foto-foto makanan Indonesia yang dipajang teman-teman, khususnya yang pernah lekat dengan realitas kehidupan saya. Betapa takjubnya saya menatap lekuk-lekuk pada gambar irisan daging kambing yang ditusuki lidi bambu dan dilumuri bumbu kecap, misalnya.

Saya dan istri memang penggila sate kambing. Di Bantul, kampung kami, boleh dibilang tiap pekan kami makan sate kambing. Bahkan lapar tengah malam pun jadi alasan legal-formal kami untuk ngeluyur sampai ke warung sate klatak Pak Jito di Jalan Imogiri.

Belum lagi sate kambing Pak Syamsuri di Maguwo. Aduh, betapa saat menuliskan kalimat ini serasa harum bakarannya melayang melompati jarak ribuan kilometer, diiringi sayup-sayup suara mbak pelayannya yang bertanya, "Satu setengah porsi campur lemak, seperti biasa, Mas?"

Kadang terlintas di lamunan saya, bahwa Pak Syamsuri adalah salah satu alasan terpenting Tuhan ketika Dia memutuskan untuk menciptakan kambing.

Itu baru sate kambing. Belum soto. Segenap rakyat Indonesia tahu, bahwa soto adalah instrumen ritual paling vital untuk menjalani Minggu pagi yang sempurna. Mau dimulai dengan bersepeda dulu, jalan-jalan dulu, atau sekadar menyibak selimut dulu, soto adalah kewajiban mutlak yang mustahil dilawan.

Maka, kami yang warga Bantul ini lari mengadu kepada Pak Blo'on kalau pas kepingin soto ayam. Atau, ke Pak Marto pas kepingin soto babat.

Itu baru sate dan soto. Belum gudeg, pecel lele, bebek goreng, bakmi jawa, nasi padang di mana-mana yang adanya cuma enak dan enak banget. Mangut lele, pecel kembang turi lauk tahu bacem, bahkan sekadar nasi kucing angkringan, dan bejibun nama lain yang demi etika bermedia tak pantas saya sebutkan satu per satu merek-mereknya.

Maaf, maaf, saya kehilangan kendali emosi kalau sudah bicara makanan Indonesia. Namun, percayalah gangguan jiwa yang mengkhawatirkan ini bukan cuma menimpa saya. Teman-teman sesama keluarga Indonesia di sini pun merasakan hal yang sama.

Di Perth, tentu kami tetap makan nasi, bukan roti. Saya sendiri tipe orang yang bisa makan apa saja, kecuali makan teman sendiri. Tapi, soal selera nasi ini jauh lebih dalam ketimbang sekadar pengenyang perut. Beli beras juga tinggal pilih, mau yang produk Vietnam atau Thailand (helooo, di mana beras Indonesia?).

Mau masak menu sebagaimana yang biasa disantap sewaktu di kampung juga bisa, dan bahan-bahannya pun relatif tersedia. Meskipun, yaaah, untuk beberapa elemen tetap harus diadaptasikan dengan bumbu-bumbu yang tidak persis sama.

Masalahnya, ada berapa orang sih yang sentuhannya bisa menghasilkan citarasa masakan kampung halaman yang sempurna?

Di situlah pentingnya kehadiran para jagoan memasak di antara kami. Tidak sangat banyak, tentu saja. Tidak semudah melambai ke tukang bakso. Tidak segampang memanggil tukang sate madura yang gerobaknya gemerincing melintas di depan rumah. Maka, di sini muncullah legenda Pak Rudi, juragan Cafe Bintang sekaligus koki andal yang nasi gorengnya tiada tandingan. Muncul pula Warung Racik, dengan iga penyet yang legitnya sayang dilewatkan.

Setiap kali ada referensi makanan yang masuk dengan citarasa tanah leluhur, getok tular berbagi kabar sambung-menyambung pun terjadi. Dari semua itulah selama ini para perantauan di tanah ini mengantar lidahnya untuk pulang sesaat ke akar seleranya, sembari membangun sejenis sentimen tertentu dan membentuk sensasi intim yang sulit dikisahkan dengan kata-kata.

Demikianlah. Aroma dan cita rasa makanan ternyata tidak berhenti sekadar di perkara selera, atau perkara nafsu untuk meningkatkan kadar kolesterol dan berat badan. Semua itu jadi simpul-simpul yang secara batin sangat kokoh dalam menghubungkan para perantauan dengan tanah kelahiran.

Jujur saja, bau masakan jauh lebih tajir dalam membangun ikatan kebangsaan daripada mata kuliah Pendidikan Pancasila, apalagi Kewiraan. Aroma masakan dengan sangat meyakinkan berhasil menutup celah-celah yang gagal diisi oleh lantunan Indonesia Raya, juga pembacaan sila-sila dalam Pancasila.

Apakah dulu ada saatnya Ben Anderson kepikiran mengulas secara serius kaitan selera lidah Nusantara dan nasionalisme dalam satu bab tersendiri di bukunya Imagined Communities? Ah, saya tidak berani menduga-duga.

Yang jelas, ketika istri saya berhasil memasak rendang, ibu saya datang berkunjung dan gudeg bikinannya jadi rebutan. Juga, ketika sahabat kami Mbak Ani Widayati sukses dengan tongseng kambingnya yang sungguh nyamnyam, kami sebenarnya sedang menikmati ilusi pulang.

Pulang. Tentu saya jadi ingat tokoh Dimas Surya dalam novel Pulang-nya Mbak Leila Chudori. Seorang lelaki pelarian yang rindu pulang namun tidak memungkinkan, hingga yang bisa ia lakukan hanyalah menyimpan segenggam cengkeh dalam stoples kaca, yang setiap saat terus-menerus ia hirupi baunya. Bau cengkeh adalah pulang. Aroma kampung halaman.

Sementara pikiran saya terbang ke mana-mana, Mbak Avi Mahaningtyas masih menggelari satu per satu lembar daun pisang Thailand di lapangan berumput Kings Park siang itu.

Sekepal demi sekepal nasi ia tata berkeliling, disusul sejumput demi sejumput sayur gudangan, oseng tahu buncis jamur, potongan tempe goreng tepung beras ketumbar, rempeyek dengan irisan daun jeruk purut, dan tentu saja menu andalan oseng-oseng jantung ayam yang diramu dengan bunga kecombrang.

Kami duduk melingkar, menyantap bersama kepal-kepal santapan itu dengan tangan telanjang. Dada kami membusung menikmati mata belasan orang asing entah dari negeri mana saja yang terkagum-kagum dengan ritual siang itu. Mereka tidak tahu bahwa prosesi makan bersama yang disebut brokohan ini sudah sukses digelar Mbak Avi di Melbourne bulan lalu, di Perth bulan ini, dan akan segera disusul di Washington dua bulan lagi.

Rangkaian safari brokohan itu menyediakan jalan setapak bagi para eksil-paruh-waktu untuk sekejap menyadari, bahwa mereka masih punya tempat untuk pulang. Pulang.

"Jelas, brokohan adalah media yang paling menyenangkan untuk menembus kekakuan perbedaan keyakinan. Apa pun kamu, ragam laukmu sama!" Begitu bunyi propaganda yang digaungkan Mbak Avi di sudut taman terluas di Perth itu.

Saya percaya, dari tangan-tangan lentur para jagoan masak seperti Mbak Avi dan lain-lainnya itulah, Indonesia masih layak berharap untuk tetap ada.

Bibit-bibit perpecahan yang disebar di mana-mana, pribumi melawan non-pribumi, anti-ini anti-itu, akan selalu bisa kita lawan dengan senjata-senjata andalan: wangi nasi goreng, tongseng kambing, coto makassar, bumbu rendang, ikan woku, dan pecel sayur yang berlumur kuah tumbukan kacang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar