Legalitas
Pimpinan DPD
Refly Harun ; Akademisi dan Praktisi Hukum Tata
Negara;
Mengajar di Program Pascasarjana
UGM, Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang, Universitas Andalas, dan
Universitas Esa Unggul
|
KOMPAS, 28 April 2017
Sudah
terbilang hampir satu bulan trio Oesman Sapta, Nono Sampono, dan Darmayanti Lubis
duduk di singgasana tampuk pimpinan Dewan Perwakilan Daerah. Meski prosesnya
dinilai banyak orang ilegal, setidaknya dalam kacamata ahli hukum tata negara
yang terhimpun dalam Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara (APHTN-HAN), gonjang-ganjing tentang pemilihan itu mulai
meredup. Publik mulai amnesia dengan kesewenang-wenangan pemilihan pimpinan
DPD tersebut. Pimpinan yang legal mulai dilupakan.
Padahal jelas,
tidak ada argumentasi hukum yang dapat membenarkannya. Hal ini menjadi alarm
bagi negara hukum Indonesia, bagaimana mungkin sebuah lembaga negara
menginjak-injak hukum, tanpa ada perlawanan dari pihak-pihak yang
dipinggirkan, demikian juga dari publik.
Agar tidak
terjadi amnesia berkepanjangan, tulisan ini dimaksud untuk merekonstruksi
kasus pemilihan pimpinan DPD tersebut berikut alternatif penyelesaian kasus,
sekaligus mendorong pihak-pihak yang dipinggirkan (terutama pimpinan yang
sah) untuk menempuh jalur legal-konstitusional agar tidak ada pembiaran
terhadap pelanggaran hukum yang luar biasa tersebut.
Etis dan yuridis
Gonjang-ganjing
pembatasan jabatan pimpinan DPD dari lima tahun menjadi 2,5 tahun sudah
mencuat sejak 2015, tidak lama setelah trio Irman Gusman, GKR Hemas, dan
Farouk Muhammad terpilih sebagai pimpinan DPD periode 2014-2019. Pemicunya,
antara lain, ketidakpuasan terhadap kinerja Irman Gusman sebagai Ketua DPD,
yang terpilih untuk kedua kalinya setelah sebelumnya menjabat pada periode
2009-2014. Irman juga menjadi Wakil Ketua DPD periode 2004-2009. Bisa
dibilang, ia satu-satunya pimpinan lembaga negara yang terpilih berkali-kali.
Betapapun
tidak sukanya sebagian anggota DPD terhadap kepemimpinan Irman, memotong masa
jabatan dari lima tahun menjadi 2,5 tahun sangat tidak etis. Ketika seseorang
menjabat, hal yang paling jamak diketahui adalah berapa lama ia akan
menjabat, yang kemudian diterjemahkan ke dalam suatu surat keputusan. Berapa
lama menjabat tersebut didasarkan pada aturan yang sebelumnya memang sudah
ada.
Tata Tertib
(Tatib) DPD Nomor 1 Tahun 2014, yang berlaku pada saat pemilihan Oktober
2014, menyatakan masa jabatan pimpinan DPD sama dengan masa keanggotaan DPD
(lima tahun). Berdasarkan ketentuan inilah pimpinan DPD dipilih sehingga
otomatis mereka menjabat hingga 2019. Sangat tidak etis ketika masa jabatan
tersebut dipotong di tengah jalan melalui rekayasa perubahan tatib.
Seandainya
perubahan tatib yang membatasi masa jabatan hendak diberlakukan, hal tersebut
seharusnya diberlakukan pada periode ke depan (setelah 2019). Atau kalaupun
ingin dipaksakan, yang menurut saya tetap saja tidak etis, aturan tersebut
tidak diberlakukan surut (nonretroaktif). Apabila tatib 2,5 tahun disepakati
tahun 2016, masa jabatan seharusnya berakhir pada 2018 meski hal ini akan
membuat sisa masa jabatan pimpinan pengganti tinggal satu tahun. Yang paling
benar memang tidak membatasi jabatan di tengah jalan.
Bayangkanlah
jika tiba-tiba para anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bersepakat
untuk mengubah ketentuan UUD 1945 tentang masa jabatan presiden, dari lima
tahun menjadi 2,5 tahun, lalu menerapkan hal tersebut pada masa jabatan
Presiden Joko Widodo. Sudah tentu akan terjadi turbulensi politik, yang bukan
tidak mungkin akan memicu konflik serius.
Kendati tidak
etis, pembatasan tersebut tetap disepakati tahun 2016 melalui Tatib No 1
Tahun 2016, kemudian diubah menjadi Tatib No 1 Tahun 2017 agar masa jabatan
tersebut bisa diberlakukan secara surut (retroaktif). Akibatnya, masa jabatan
Irman Gusman, GKR Hemas, dan Farouk Muhammad dinyatakan berakhir per 1 April
2017. Irman Gusman bahkan harus mengakhiri masa jabatannya lebih awal karena
diberhentikan sebagai Ketua DPD menyusul operasi tangkap tangan tahun 2016.
Posisinya digantikan Mohammad Saleh, yang "dipaksa" menjabat hanya
untuk beberapa bulan.
Betapa sebagian
anggota DPD menjadi sudah tidak rasional, tidak saja tidak etis, dalam isu
pemotongan masa jabatan. Isu retroaktif inilah yang antara lain menyebabkan
tatib pemotongan masa jabatan dibatalkan Mahkamah Agung (MA), selain argumen
inti bahwa pemotongan masa jabatan bertentangan dengan UU Nomor 17 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Putusan MA
yang membatalkan baik Tatib No 1 Tahun 2016 maupun Tatib No 1 Tahun 2017
dikeluarkan pada tanggal 29 Maret 2017. Sebagai tindak lanjut dari putusan
MA, pada 31 Maret, pimpinan DPD mencabut kedua tatib yang telah dibatalkan
sesuai dengan amar putusan MA.
Dengan
pembatalan oleh MA dan tindak lanjut pencabutan tatib oleh pimpinan DPD, maka
baik Tatib No 1 Tahun 2016 maupun Tatib No 1 Tahun 2017 sudah tidak berlaku
lagi dan tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk mengambil tindakan hukum
apa pun. Bersamaan dengan itu pula berlaku kembali Tatib No 1 Tahun 2014 yang
antara lain mengatur masa jabatan pimpinan DPD sama dengan periode
keanggotaan DPD (lima tahun).
Ironisnya,
pada 4 April 2017, Sidang Paripurna DPD yang dipimpin oleh pimpinan sementara
DPD (anggota tertua AM Fatwa dan anggota termuda Riri Damayanti) ternyata
melakukan perubahan atas Tatib DPD No 1 Tahun 2017 menjadi Tatib DPD No 3
Tahun 2017. Padahal, Tatib No 1 Tahun 2017 sudah dibatalkan MA dan telah pula
dicabut oleh pimpinan DPD periode 2014-2019.
Tatib DPD No 3
Tahun 2017 tersebut dijadikan dasar oleh Wakil Ketua MA Suwardi untuk
melakukan pemanduan sumpah jabatan terhadap Oesman Sapta Odang, Nono Sampono,
dan Darmayanti Lubis yang "seolah-olah" dipilih berdasarkan Tatib
No 3 Tahun 2017 itu. Pada titik ini terlihat bahwa sebagian anggota DPD
berupaya mengelabui publik dengan seolah-olah terjadi pemilihan setelah tatib
DPD diubah untuk menyesuaikan dengan putusan MA. Padahal, kalaupun hal itu
dianggap benar, juga tidak bisa digunakan sebagai landasan untuk pemilihan
kembali pimpinan. Perubahan tatib itu justru makin melegitimasi bahwa masa
jabatan pimpinan DPD hingga 2019. Memotong masa jabatan setelah keluarnya
putusan MA bukan lagi problem etis, melainkan sudah soal yuridis.
Jalan hukum
Kendati
gugatan terhadap keberadaan pimpinan ilegal mulai menepi, pihak-pihak yang
dirugikan lebih menempuh jalan sunyi, tetapi sama sekali hal ini tidak boleh
dianggap sepi. Akan menjadi paradoks luar biasa bagi negara hukum jika ini
dibiarkan. Hal ini akan menjadi pelajaran buruk bagi bangsa ini: tak perlu
patuh hukum, yang penting kekuasaan besar.
Tidak bisa
tidak, pihak-pihak yang merasa dirugikan, termasuk masyarakat, harus mencari
jalan hukum untuk menggugat soal ini. Beberapa alternatif jalan hukum yang
bisa diambil, misalnya, menggugat tatib DPD yang dijadikan dalih untuk
menggelar pemilihan, menggugat ke pengadilan tata usaha negara, membawa soal
ini ke pengadilan negeri, dan sebagainya. Intinya harus ada perlawanan
terhadap kesewenang-wenangan ini.
Salah satu
alternatif yang bisa dipikirkan adalah mengajukan kasus ini ke Mahkamah
Konstitusi (MK). Mengapa MK? Apabila diajukan ke pengadilan di bawah MA
mungkin saja, misalnya ke PTUN (menggugat SK DPD soal pimpinan) atau
pengadilan negeri (perbuatan melawan hukum). Namun, soalnya, apakah
pengadilan di bawah MA "berani" mengoreksi tindakan pimpinan MA,
dalam hal ini Wakil Ketua MA Suwardi yang telah memandu sumpah pimpinan
ilegal. Selain itu, kasus-kasus yang ditangani MA dan pengadilan di bawahnya
sering tidak berkepastian dari sisi waktu.
Membawa kasus
ini ke MK sebagai sengketa kewenangan lembaga negara memang sedikit
kontroversial, tetapi diperlukan sebagai sebuah terobosan hukum. Selama ini
kerap dipahami bahwa sengketa kewenangan harus melibatkan sedikitnya dua
lembaga negara yang kewenangannya diberikan konstitusi. Padahal, Pasal 24C
UUD 1945 sendiri hanya menyebut sengketa kewenangan lembaga negara, bukan
sengketa kewenangan antarlembaga negara. Artinya, konflik internal lembaga
sebagaimana yang membelit DPD seharusnya dapat pula dibawa ke MK untuk
diselesaikan.
Penyelesaian
oleh MK akan jauh lebih efektif dan efisien jika dibandingkan dengan penyelesaian
oleh lembaga peradilan non-MK, yang sering harus bertingkat-tingkat. Soalnya,
apakah MK mau menyambut tanggung jawab ini. Pada titik ini penting diingat
pernyataan Arthur Schlesinger Jr yang memperkenalkan istilah judicial
activism bagi pengadilan (1947). Menurut dia, the court cannot escape
politics: therefore, let it use its political power for wholesome social
purposes (pengadilan tidak bisa melepaskan diri dari politik: karena itu
biarkan pengadilan menggunakan kekuatan politiknya untuk tujuan sosial yang
baik).
Apa pun jalan hukum yang harus diambil, fenomena pemilihan
pimpinan DPD tersebut tidak boleh berlalu begitu saja. Negara ini adalah
negara hukum. Kendati sering diinjak-injak dan ditepikan, hukum dan kebenaran
tetap harus diperjuangkan. Kekuasaan tidak boleh lebih berkuasa dari hukum
karena sudah sejak merdeka negeri ini berdeklarasi bukan sebagai negara
kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar