Kartini
dan Perempuan Pelaku Bom
Musdah Mulia ; Ketua Umum Indonesian Conference on
Religions for Peace (Organisasi Lintas Iman)
|
MEDIA
INDONESIA, 21 April 2017
MENDADAK
banyak orang tersentak ketika perempuan bernama Dian Yulia Novi tertangkap
ketika hendak melakukan aksi bom bunuh diri di Istana Negara, Desember tahun
lalu. Ternyata dia pernah jadi buruh migran di Singapura dan istri Bahrun
Naim, pelaku bom Thamrin. Tragedi ini menyibak fakta keterlibatan sejumlah perempuan
muslim dalam gerakan terorisme di Indonesia. Tren baru aksi terorisme di
Indonesia menjadikan perempuan sebagai pelaku utama. Kalau sebelumnya
aksi-aksi teror berwajah maskulin dan menggunakan pendekatan patriarki,
belakangan perempuan jadi pelaku. Pendekatannya juga feminin. Meskipun
faktanya perempuan ialah pelaku, hakikinya mereka hanyalah korban.
Tanggal 21
April setiap tahun diperingati sebagai Hari Kartini, dan tahun ini merupakan
peringatan ke-138kelahiran Kartini. Artinya, kehadiran Kartini yang membawa
gagasan-gagasan baru bagi kemajuan perempuan Indonesia telah berlalu hampir
satu setengah abad, tapi ide dan gagasannya masih sangat relevan
diperbincangkan. Usia Kartini relatif sangat pendek. Namun, karena ia tekun
membaca dan bertukar pikiran secara kritis dengan ilmuwan Belanda, wawasan
dan pengetahuannya sangat luas. Ide dan gagasannya dituangkan dalam
surat-surat yang ia kirimkan kepada sahabatnya yang kemudian diterbitkan
Abendanon pada 1911 dengan judul Door Duisternis tot Licht yang selanjutnya
dialihbahasakan Armijn Pane pada 1922 dengan judul Habis Gelap Terbitlah
Terang. Kartini mengungkapkan kegelisahan intelektual dan penderitaan
batinnya ketika melihat perlakuan diskriminatif dan tindakan kekerasan
terhadap masyarakat, khususnya perempuan akibat budaya patriarki, sistem
feodalisme, dan kolonialisme.
Emansipasi
yang diperjuangkan Kartini, seperti terbaca dalam surat-suratnya, bukanlah
untuk menjadikan perempuan bumi-putra kehilangan jati dirinya dan menjadi
bersifat kebarat-baratan. Kartini menghendaki perempuan mendapatkan
pendidikan sehingga mampu memberikan kontribusi positif dan konstruktif bagi
diri, keluarga, dan bangsanya. Jika Kartini masih hidup, beliau pasti kecewa
dan mengutuk keberadaan perempuan sebagai pelaku bom yang pasti merusak dan
membahayakan kehidupan banyak orang. Kartini dari awal mengingatkan perempuan
tentang pentingnya mengembangkan nalar kritis dan keberpihakan pada
kemanusiaan. Tujuannya tiada lain, agar perempuan tidak mudah dimanfaatkan
dan dijadikan korban serta dicekoki dengan pikiran patriarki yang merugikan
kemanusiaan dan menghancurkan sendi-sendi utama peradaban manusia seperti
terjadi pada perempuan pelaku bom.
Mengapa
perempuan? Wacana feminisme menyimpulkan, perempuan ialah kelompok paling
diandalkan dalam soal kesetiaan dan kepatuhan. Perempuan juga kelompok paling
mudah percaya dan tunduk jika hal itu terkait dengan agama. Perempuan umumnya
sangat bersahabat dengan agama meski agama sering kali tidak ramah terhadap
mereka. Lihat saja, hampir semua pengajian dan majelis taklim di Indonesia
dipenuhi kaum perempuan. Ironisnya, interpretasi keagamaan yang sering
disampaikan dalam lembaga keagamaan itu menempatkan perempuan hanya sebagai
makhluk seksual dan melihat perempuan sebatas objek. Perempuan selalu
dianggap lemah dan tidak berdaya. Namun, fenomena terorisme meyakinkan kita
bahwa tidak semua perempuan lemah dan tidak berdaya. Sebagian perempuan
justru lebih nekat dan berani mengambil risiko meski maut menghadang.
Motivasi utama perempuan terlibat dalam gerakan ini bersifat teologis.
Awalnya mereka
terpapar ideologi Islam radikal yang mematikan. Buya Syafii Maarif
menyebutnya sebagai 'teologi maut'. Berupa pemahaman keislaman yang radikal,
misalnya memercayai wajib hukumnya membunuh orang-orang kafir (nonmuslim);
meyakini kewajiban menegakkan negara Islam dengan melakukan jihad menumpas
ketidakadilan, walau dengan cara membunuh sekali pun. Perempuan harus ikut
berjihad membela Islam dan muslim yang tertindas. Mereka sangat meyakini umat
Islam kini dalam kondisi tertindas.
Karena itu,
mereka harus diselamatkan dengan jihad yang umumnya diartikan sebagai
membunuh semua yang tidak sepaham. Biasanya, dari radikalisme, hanya perlu
satu langkah lagi untuk menuju terorisme. Kelompok Islam radikal sangat mudah
dikenali karena mereka sering mengusik tradisi keislaman yang sudah lama
diamalkan umat Islam di negeri ini. Seperti tradisi pembacaan barzanji dan
zibaan, tradisi peringatan maulid nabi, dan tradisi takziah.
Selain itu,
biasanya mereka gencar menyebarkan paham anti-Pancasila, antidemokrasi,
antikebinekaan dan keberagaman, serta antifeminisme. Mereka juga alergi
dengan semua yang datang dari Barat dan non-Islam. Fatalnya lagi, mereka juga
benci dengan simbol-simbol keindonesiaan, seperti bendera Merah Putih,
lambang garuda, dan lagu Indonesia Raya. Mereka menyebut semua itu bidah dan
tagut (musuh Islam) yang harus dilenyapkan. Perempuan seperti apa yang banyak
terlibat dalam gerakan terorisme di Indonesia? Penelitian Yayasan Prasasti
Perdamaian mengungkapkan umumnya mereka ialah para istri dan keluarga teroris
yang sudah lama terlibat dalam aksi-aksi pengeboman di Indonesia, istri dan
keluarga para ekstremis di Suriah, Lebanon, dan Turki. Para suami atau
keluarga mereka ialah anggota Jamaah Islamiah, Jamaah Ansharut Tauhid,
gerakan Negara Islam Indonesia, IS, Salafi Jihadis, dan organisasi Islam
radikal lain. Menarik disebutkan, sebagian besar mereka bukanlah perempuan
bodoh dan tidak terdidik.
Kebanyakan
mereka lulusan perguruan tinggi, selebihnya lulusan pesantren dan sekolah
menengah atas. Lalu dari aspek ekonomi, mereka tidak selalu dari kelompok
miskin, tidak sedikit dari kalangan menengah ke atas. Profesi mereka pun
beragam: dosen, guru, mubaligah, ustazah, dokter, buruh migran, karyawan,
aktivis organisasi, pedagang daring, pelayan toko, dan pekerja pabrik.
Sebagian mereka direkrut melalui pernikahan. Suami melakukan upaya terencana
untuk menanamkan ideologi radikal dengan cuci otak. Artinya, mereka sengaja
dinikahi untuk dicekoki ideologi radikal, bahkan sebagian dinikahi ketika
berada di penjara. Sebagian perempuan dinikahi belakangan setelah mereka
menerima doktrin radikal itu. Tidak sedikit dari mereka yang mendapatkan
indoktrinasi yang sangat masif dari teman dekat suami atau dari sesama perempuan
yang telah terlebih dahulu aktif dalam jaringan tersebut. Tidak sedikit
perempuan yang direkrut dalam gerakan terorisme ialah buruh migran.
Mengapa?
Karena umumnya mereka punya uang, mandiri, dan berani serta yang paling
penting mereka sudah biasa ke luar negeri. Mereka umumnya pengguna aktif
internet dan media sosial. Sebagian mereka terpapar ideologi radikalisme
lewat internet ketika bekerja di luar negeri. Pertemuan mereka dengan suami
dan kelompoknya umumnya lewat sosial media. Tugas dan peran perempuan dalam
gerakan radikalisme cukup beragam dan signifikan. Di antaranya, mereka
berperan sebagai pendidik dan pelatih, agen perubahan, pendakwah ulung,
pencari dan pengumpul dana. Bahkan, mereka sangat profesional dalam merekrut
perempuan-perempuan muda dan potensial dari berbagai kalangan. Sebagian lagi
berperan sebagai pengatur logistik, kurir antarkota, bahkan antarnegara,
membawa pesan-pesan rahasia. Sebagian lagi berperan sebagai pengantin untuk
bom bunuh diri.
Perempuan hanyalah korban
Akan tetapi,
perlu diingat bahwa meskipun perempuan menjadi pelaku bom dan aktivis utama
dalam gerakan radikalisme, sejatinya mereka hanyalah korban. Korban dari
ideologi suami atau keluarga, korban indoktrinasi agama yang tidak memihak
kemanusiaan. Korban stigmatisasi dari masyarakat, korban media, dan juga
korban dari ekses konflik. Perempuan lagi-lagi hanyalah korban dari kondisi
yang diciptakan para elite kekuasaan patriarki. Oleh karena itu, upaya
mengatasinya harus dengan sentuhan-sentuhan kemanusiaan dan memberikan tempat
kepada mereka dalam pergaulan sosial arus-utama. Kampanye yang terus-menerus
memojokkan mereka tanpa mempertimbangkan sentuhan kemanusiaan hanya akan
membuat mereka mati suri. Di balik itu, mereka tetap beroperasi di bawah
tanah untuk menata ulang sel-sel rahasia mereka yang suatu saat bergelora dan
berujung dengan ledakan maut. Perempuan selalu bisa menjadi agen perdamaian.
Kalau mereka bisa direkrut menjadi teroris seharusnya lebih mudah mengajak
mereka menjadi agen perdamaian karena secara alami perempuan diciptakan untuk
merawat keberlangsungan kehidupan.
Diperlukan strategi yang lebih manusiawi, komprehensif, dan
pendekatan yang jauh dari maskulin, tapi mengena kepada mereka yang terlibat
gerakan terorisme. Pendekatan yang semata bertumpu pada kekuatan militeristis
dengan prinsip keamanan harus ditinjau ulang. Hal paling penting ialah
keinginan politik yang kuat dari negara dan pemerintah untuk mengikis
akar-akar penyebab terorisme, seperti kesenjangan dan ketidakadilan sosial yang
sudah sedemikian akut di masyarakat. Selain itu, sangat penting bagi semua
elemen dalam masyarakat, khususnya bagi ormas keislaman, untuk mengusung
ajaran Islam yang mengedepankan nilai-nilai human, keadilan, kesetaraan,
toleransi, dan perdamaian. Esensi Islam ialah memanusiakan manusia dan
membangun masyarakat yang berkeadilan dan beradab. Islam seharusnya menjadi
rahmat bagi semua makhluk di alam semesta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar