Negeri
Bahagia
Kurnia JR ; Sastrawan
|
KOMPAS, 28 April 2017
"Ada negeri bahagia entah di mana, yang jauhnya hanya
sejangka doa."
Lirik puitis
ini digubah David Kapp dan Charles Tobias pada 1944 yang menyuarakan kelegaan
publik Amerika Serikat menjelang akhir Perang Dunia II. Lagu "Just A Prayer Away", yang
dinyanyikan oleh Bing Crosby, direkam pada 24 Juli 1944 atau 18 bulan setelah
beredarnya novel William Saroyan, The
Human Comedy, yang mengusung ide senada.
Negeri Bahagia
yang diimpikan itu sederhana, yakni kota yang akrab di hati, tawa anak-anak
bermain, dan langit yang tampak rendah. Di sana tersimpan impian dan rencana
kehidupan. Sambil melangkah pulang hati pun bernyanyi:"There's a happy
land somewhere, and it's just a prayer away.."
Apakah Negeri
Bahagia dan di mana itu? Jika Adam ditanya tentang surga, niscaya dia akan
menjawab, "Itulah kampung halamanku." Negeri Bahagia adalah tempat
pulang setiap orang sehabis perjalanan jauh membawa duka dan luka.
Meniti tali sirkus
Prosa dan
musik memang menggugah, tetapi tidak selalu dijadikan pelajaran. Amerika kian
haus perang. Juga di antara kita ada yang gigih ingin mengimpor kekacauan di
Timur Tengah sebagai jihad. Bahkan, ada yang terjun ke medan perang teror
yang brutal di negeri orang atas nama agama. Sementara itu, demonstran giat
mengkhotbahkan doktrin radikal di jalanan.
William
Saroyan lahir dari keluarga imigran Armenia dari Bitlis, Kekaisaran Utsmani.
Ayah-ibunya hijrah ke Amerika pada 1905. Karya sastranya lahir dari riwayat
hidupnya dan kaum imigran yang tercerabut dari akar mereka. Ia tahu persis pedih-perih
bangsa yang cerai-berai dikoyak perang dan penindasan.
Biarpun masih
harus membetulkan kondisi hidup di sana- sini, sebagai bangsa, kita memiliki
modal utama yang unik, yaitu kemajemukan. Pada beberapa segi ini membuat
takjub bangsabangsa lain. Kalau bukan kebanggaan, ini adalah aspek kebangsaan
yang riskan. Di sisi lain, religiusitas yang kental sebagai sifat bawaan jadi
tantangan tersendiri bagi kemajemukan. Ini membuat kita seperti meniti tali
sirkus setiap hari.
Dengan dua hal
itu, kemajemukan dan religiusitas, sebenarnya kita sudah dianugerahi Negeri
Bahagia. Bagaimana mungkin kita empaskan karunia itu seperti barang
rongsokan? Sumber daya alam telah digadaikan kepada korporasi asing dengan
ceroboh. Janganlah kedua permata ini kita sia-siakan juga dengan kesembronoan
ideologis.
Bagi kita,
Negeri Bahagia mirip alegori utopis yang terdengar mudah, tetapi bukankah
sedang terjadi dekadensi intelektual, moral, dan spiritual? Bukalah arsip,
dapati mereka yang 30-15 tahun lalu menuliskan pemikiran secara mendalam,
tajam, dan jernih di jurnal ilmiah atau buku dan media massa, kini jadi
corong organisasi politik atau komunitas radikal penjaja sentimen primordial
minus komitmen moral.
Pemikiran dan
pergerakan kaum cendekiawan sejak awal abad XX mengantarkan bangsa ini tahap
demi tahap ke kemerdekaan, 1945. Polemik kebudayaan 1930-an memancangkan
tonggak-tonggak pemikiran yang menempuh transisi era kolonialisme ke
nasionalisme, rezim Soekarno, hingga jatuhnya Soeharto. Justru begitu era
"Reformasi" dimulai, dekadensi intelektual bermula.
Banyak
akademisi, seniman, aktivis, dan pemikir independen mengalami kebangkrutan
intelektual. Setelah memakai jas necis politikus atau jadi juru bicara
politikus, sebagian tak lagi mengindahkan integritas. Apa yang dicatat Soe
Hok Gie tentang aktivis yang "jinak" dan lupa daratan setelah jadi
anggota parlemen kini terulang.
Kalimat dan
diksi yang menyiratkan dan menyuratkan dekadensi intelektual tak terlontar
dari luar kamar cendekiawan. Mereka hanya mujur karena ada kambing hitam buat
dituduh sebagai penyebar dusta dan kebencian, yaitu segmen sosial yang naif.
"Ulama karbitan", "intelektual tanggung", "demagog
bayaran" hanya orang-orang sial yang tak mampu memahami tonggak- tonggak
keanggunan di tengah karut-marut realitas.
Tonggak-
tonggak itu telah digerus rayap. Yang dimaksud adalah kaum yang sebelum era
"Reformasi" adalah penulis, intelektual, atau pemikir. Militansi
keagamaan formalistis sudah memicu konflik horizontal, pembakaran dan
pengusiran, dan penistaan individu atau sosial atas nama agama atau ideologi.
Atas semua ini, kita selalu menyalahkan para pelaku di lapangan tanpa
mengkaji latar belakang kebanalan ini.
Integritas yang tergadai
Euforia
"reformasi" melahap integritas intelektual. Korupsi terjadi bukan
hanya di lembaga pemerintahan dan parlemen, melaikan juga di sebagian komisi
ad hoc yang dibentuk pada era ini. Maklum, gaya hidup masa kini menuntut
segala hal ditakar dengan uang. Tidak banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM)
yang murni memperjuangkan hak-hak publik. Sebagian akademisi banting setir ke
bisnis jasa layanan politik dengan kacamata kuda. Tunas muda rentan tergiur
gengsi sosialita politik,dan tak sedikit terpukau sihir politik kekuasaan.
Tentu ada yang
bertahan menjaga kemurnian harkat intelektual. Mereka tekun menulis, tetapi
buku tidak laku dan jurnal ilmiah terasing dari komunitas cendekiawan
sendiri. Sebagian lagi memilih jadi penonton diam, karena wacana ilmiah di
jejaring sosial rentan dimanipulasi jadi materi provokasi. Pikiran lebih
banyak terlontar dalam ringkasan, minus eksplorasi-elaborasi.
Pasar
pemikiran sepi karema cendekiawan berduyun-duyun ke pasar suara yang basah di
media sosial atau di ruang negosiasi bisnis pemilu dengan pengurus partai
politik. Penyair "kemproh" gagap di depan realitas necis walau
menyaksikan kebusukan di balik segala sesuatu yang tampak beres, anggun,
resik, dan saleh. Puisi jadi tumpul. Genit, tetapi kalah gengsi.
Dekadensi
moral membusukkan para intelektual dan standar lembaga politik dan keagamaan.
Memang, cendekiawan bukan segala-galanya. Namun, jika bicara tentang hati
nurani bangsa, mereka adalah garda. Cendekiawan datang dari berbagai agama,
tak sedikit yang juga ulama. Manakala tirani menindas kemanusiaan, merekalah
hati nurani yang bicara melawan diktator.
Suara jernih
kaum intelektual adalah bekal publik untuk mengingatkan sesamanya atau rezim
penguasa demi keadilan, harga pangan terjangkau, upah layak,
anti-diskriminasi, toleransi dan lain-lain. Sebelum orde
"Reformasi" mengganyang rezim Orde Baru, harga diri kecendekiaan
relatif mapan berkat posisi kaum intelektual selaku oposan penguasa yang
represif kala itu.
Kita sedang
menggoreskan korek api untuk membakar citraan Negeri Bahagia kita, meski ada
yang menepis tangan kita hingga korek api itu jatuh. Entah kenapa dengan
bandel kita pungut lagi batang korek itu. Mengapa kita benci Negeri
Kepulangan, tempat berlindung di hari tua?
Di Negeri Bahagia, setiap orang dituntut rela berbagi dalam
berbagai hal, terutama nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar. Tanpa kerelaan
tersebut, citraan indah itu hanya ada dalam lagu manis yang diputar
berulang-ulang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar