Radikalisme
dan Intoleransi
Tb Ronny Nitibaskara ; Ketua Program Studi Pengkajian
Ketahanan Nasional Sekolah Strategi dan Global Pascasarjana UI
|
KOMPAS, 27 April 2017
Kemunculan
kelompok radikal dan intoleransi merupakan masalah yang cukup serius.
Perilaku mereka kerap diikuti ujaran kebencian dan tak jarang berujung
kejahatan dengan kebencian (hate crimes). Bahkan, beberapa negara
maju-termasuk Amerika Serikat-menjuluki aksi mereka sebagai terorisme
domestik.
Menghadapi
kelompok tersebut, di Indonesia, dibutuhkan cara khusus untuk mencegah
munculnya konflik sosial antara yang satu dan lainnya. Kenyataan ini pada
taraf tertentu kerap menjadikan Polri berada dalam dilema ketika
menyikapinya.
Eksistensi
kelompok radikal dan intoleransi umumnya ditandai adanya gagasan dan
pemikiran intoleransi dalam bentuk ujaran kebencian. Lambat laun, hal
demikian dapat berubah menjadi suatu perbuatan jenis kejahatan dengan
kebencian.
Ujaran
kebencian merupakan perbuatan melalui kata-kata dan tulisan, yang menghasut,
menyulut, dan menebarkan benih kebencian terhadap pihak lain dengan
mempertajam jurang pemisah dan perbedaan. Di antaranya soal suku, agama,
aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, antar-golongan, warna kulit,
dan etnis. Sementara kejahatan berlandaskan kebencian merupakan perbuatan
berbentuk kejahatan yang dimotivasi oleh ujaran kebencian.
Kejahatan
berlandaskan kebencian berbeda dengan kejahatan biasa. Ferber (2004) dan
Broad (1997) menuturkan, perbedaan utama adalah motivasi pelaku. Apabila
motif perbuatan tersebut karena prasangka buruk, sentimen, kebencian, atau
permusuhan terhadap ras, etnis, agama korban, dan sebagainya, maka itu dapat
dikatakan sebagai kejahatan berlandaskan kebencian.
Salah satu
ilustrasi kelompok radikal dan intoleransi yang kental dengan nuansa tersebut
dapat dilihat di Amerika Serikat, seperti Ku Klux Klan, Neo-Nazi, dan South
Florida Aryan Alliance. Salah satu persamaan ketiganya adalah mengagungkan
ras kulit putih, bukan agama. Kebanyakan korban mereka berasal dari kaum
minoritas, homoseks, kaum kulit hitam, dan Yahudi. Maka, patut digarisbawahi
dengan saksama bahwa tidak selamanya kelompok radikal dan intoleransi
memiliki motif berlandaskan agama tertentu.
Masalah dan tantangan
Polri telah
lama mengindikasikan keberadaan kelompok radikal dan intoleransi di
Indonesia. Sebagian besar langkah yang dipersiapkan Polri selalu bertujuan
mencegah munculnya kekerasan berujung konflik sosial.
Salah satu
program optimalisasi aksi menuju Polri yang semakin profesional, modern, dan
tepercaya (promoter) adalah penanganan kelompok radikal pro kekerasan dan
intoleransi yang lebih optimal; menguraikan kegiatan-kegiatan yang diterapkan
dalam menghadapi kelompok tersebut seperti deteksi dini dan deteksi aksi
dalam rangka pemetaan kelompok radikal pro kekerasan dan intoleransi;
membangun daya cegah dan daya tangkal warga; kerja sama dengan stakeholder;
mengintensifkan kegiatan dialogis di kantong-kantong kelompok radikal pro
kekerasan dan intoleransi; serta penegakan hukum yang optimal.
Keseluruhan
kegiatan tersebut mengedepankan pendekatan persuasif dan mediasi karena
sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia yang kental dengan budaya
silaturahim, musyawarah, dan mufakatnya.
Fakta
menunjukkan kebanyakan permasalahan yang dialami Polri muncul saat penegakan
hukum sebagai ultimum remedium tersebut membutuhkan aksi fisik di lapangan
ketika kelompok radikal dan intoleransi melakukan perbuatan yang membahayakan
keamanan dan ketenteraman masyarakat, bangsa dan negara secara langsung.
Selaku insan biasa, personel polisi sebagaimana manusia lainnya juga memiliki
kelemahan. Celah seperti ini dapat berupa keberpihakan serta melakukan
kekerasan yang tanpa disadari dapat meningkatkan eskalasi konflik.
Pada kasus
kekerasan kolektif yang meletus menjadi konflik sosial di salah satu wilayah
timur Indonesia bertahun-tahun silam akibat ulah kelompok radikal dan
intoleransi, tidak sedikit personel Polri (juga TNI) terjebak dalam
ketidaknetralan akibat kesamaan agama maupun etnis dengan pihak yang
bertikai.
Kelompok yang
memiliki kesamaan agama maupun etnis dengan personel Polri tersebut akan
menganggap yang bersangkutan tidak solider, tidak membela
"kaum"-nya-dan seterusnya-apabila tidak membela mereka. Godaan dan
hasutan demikian tak jarang menggoyahkan kenetralan oknum bersangkutan.
Sebagai polisi ia menyadari bahwa karena tugasnyalah harus berhadapan dengan
mereka, melawan mereka, tapi akan dianggap semacam pengkhianat, diasingkan,
dijauhkan karena hal tersebut. Sebaliknya, apabila memihak mereka, dirinya telah
melanggar kewajiban dan amanah yang dibebankan kepadanya.
Pada kasus
serupa lainnya, ada beberapa oknum Polri-akibat emosi atau karena merasa
korpsnya dilukai-menangani massa dengan cara berlebihan sehingga menimbulkan
korban jiwa yang akhirnya memperburuk keadaan. Kondisi demikian juga dapat
dipengaruhi tekanan dan kelelahan yang ada pada yang bersangkutan. Dalam
kondisi lelah, penuh tekanan, dan keadaan tidak pasti, polisi akan mengalami
penurunan kemampuan mengontrol diri.
Setiap
personel Polri tentu memahami ia berhak melakukan tindakan mematikan untuk
melumpuhkan pihak lawan. Tetapi, kewenangan itu juga melihat situasi dan
kondisi yang ada. Penggunaan senjata mematikan seperti penegakan hukum di
atas merupakan pilihan terakhir.
Kenyataannya,
yang terjadi di lapangan terkadang jauh dari yang diharapkan. Situasi dan
kondisi sering tidak terkendali. Polisi kerap dijadikan sasaran karena
dianggap representasi pihak yang berkuasa. Pada saat masyarakat mengalami
disorder, mereka tidak melihat akar permasalahannya, tetapi hanya
mempersoalkan kemampuan aparat keamanan. Segala emosi dan tindakan melebur
menjadi satu aksi anarkisme berbentuk kejahatan dengan kebencian. Setiap
individu akan beranggapan siapa pun yang merintangi mereka harus dilenyapkan.
Kekacauan
demikian membuat petugas menghadapi situasi penuh permusuhan dan kecurigaan.
Keadaan tersebut menuntut tindakan yang efisien. Berulang-ulangnya tindakan
ini dilakukan secara berkelanjutan akan membentuk perilaku yang bersangkutan
jadi cepat, tegas, dan cenderung kurang berpikir panjang, hingga akhirnya
terpaksa melakukan kekerasan.
Kedua contoh
dilema di atas bukanlah satu-satunya permasalahan dan tantangan yang dihadapi
Polri saat menghadapi kelompok radikal dan intoleransi secara langsung. Masih
banyak problematika lain yang selalu mengiringi tugas Polri.
Fenomena ini dalam dimensi berbeda pernah dikemukakan Soekarno.
Presiden pertama RI itu mengingatkan perjuanganku lebih mudah karena mengusir
penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.
Seperti itulah gambaran dilema yang dialami personel Polri ketika berhadapan
dengan kelompok radikal dan intoleransi yang sebagian besar saudara
sebangsanya sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar