Intoleransi
dan Kebuntuan Kebudayaan
Acep Iwan Saidi ; Pemikir pada Forum Studi Kebudayaan ITB;
Dosen Desain dan Kebudayaan di
Sekolah Pascasarjana ITB
|
KOMPAS, 18 April 2017
Intoleransi menjadi kata penting yang dalam beberapa bulan
terakhir ini kerap muncul dalam kehidupan berbangsa kita. Sejak kuartal terakhir tahun lalu (2016)
hingga kuartal pertama tahun ini (2017), kata intoleransi nyaris setiap hari
ditemukan, baik dalam tuturan maupun tulisan. Mesin pencari Google menemukan
1.010.000 kata ini dalam 0,36 detik.
Merujuk pada teori isotopi yang dikemukakan Greimas
(1975), frekuensi kemunculan kata intoleransi yang tinggi sedemikian menjadi
petunjuk bahwa masyarakat kita telah bisa disebut sebagai masyarakat yang
intoleran, masyarakat yang tidak lagi menghargai keberagaman (suku, agama,
kelompok, dan lain-lain). Apakah faktanya memang demikian?
Isotopi Greimas adalah sebuah model analisis teks sastra
dalam perspektif semiotika-lebih tepatnya mikrosemiotika-untuk memahami gagasan
dasar atau aspek tematik teks bersangkutan. Kemunculan kata di dalam teks
sastra sudah pasti merupakan seleksi
pengarang. Sementara, dalam konteks ini, kata intoleransi bukanlah
diksi yang muncul di dalam teks demikian, melainkan di dalam masyarakat,
paling banter ia muncul sebagai teks di media. Tetapi, apakah bedanya teks
sastra dan berita di media?
Sudah lama sekali dipahami bahwa terlalu tipis batas
antara fakta dan fiksi. Sudah tidak jelas lagi mana representasi mana
simulasi. Kini segala batas telah terterabas tuntas. Media bahkan bisa jadi
lebih fiktif dari fiksi. Masyarakat sendiri menjadi sebuah teks yang tidak
utuh. Kembali merujuk Greimas, individu kini cenderung menjadi subyek wacana,
bukan subyek yang memiliki kuasa atas dirinya sendiri.
Bukan pasangan toleransi
Fakta empirik tersebut memandu saya untuk mengatakan bahwa
kata intoleransi yang muncul dalam kehidupan berbangsa kita belakangan ini
tidak natural, melainkan sebagai hasil seleksi politis. Kata intoleransi
tidak lagi duduk pada posisinya sebagai lawan biner (binary opposition) dari
toleransi. Artinya, kata itu tidak lagi lahir dari kamus bahasa, sebagai
sebuah langua (sistem) dalam tata bahasa.
Alih-alih dapat mengokohkan dirinya di dalam kamus langua,
kata intoleransi benar-benar telah menjadi parole (ujaran individu) yang
hidup dalam gugus bahasa masyarakat yang serba tidak terkontrol (chaotic).
Walhasil, tuduhan intoleransi yang dituturkan individu atau kelompok tertentu
kepada pihak lain sebagai anti-keberagaman tidak serta-merta berarti bahwa
yang menuduh tadi menjadi pihak yang toleran. Seseorang yang mengatakan
dirinya Pancasilais bisa jadi justru
anti-Pancasila.
Coba kita periksa, sekali lagi, "dua
demonstrasi" massa yang diandaikan bertolak belakang yang terjadi sejak kuartal
akhir 2016. Demonstrasi massa berbasis keagamaan seperti 411, 212, dan
seterusnya dipahami sebagai demonstrasi anti-keberagaman oleh pihak yang
berlawanan dengannya. Oleh karena itu, pihak-pihak ini pun lantas mengadakan
demonstrasi tandingan.
Sekonyong-konyong kemudian
tertangkap-atau, setidaknya, ingin disampaikan kesan-bahwa "dua
demonstrasi" tersebut memiliki ideologi yang berseberangan. Megawati Soekarnoputri, dalam pidato
politik pada ulang tahun ke-44 PDI Perjuangan (10/1/2017), menyindir kelompok
yang menurut dia anti-keberagaman sebagai penganut ideologi tertutup. Pidato
ini jelas kian menegaskan tentang adanya yang berseberangan tadi.
Apakah fakta ini memang
benar-benar terjadi di lapangan?
Apabila kita masuk lebih jauh dan mengidentifikasi lebih
detail persoalannya, perseberangan tersebut sebenarnya bersifat politis
belaka. Dari sisi ideologis, "dua demonstrasi" tersebut tetap berakar pada ideologi yang sama,
yakni Pancasila.
Pada konteks ini, pidato Rizieq Shihab (tokoh sentral
gerakan berbasis keislaman) pada demonstrasi 212 secara ideologis sebenarnya
tidak berbeda dengan pidato Megawati.
Keduanya sama-sama mengatasnamakan Pancasila. Hal yang membedakan adalah tafsirnya
terhadap dasar negara tersebut. Perbedaan tafsir tentu sebuah keniscayaan dan
justru itulah ciri paling dasar keberagaman. Hanya dengan keberbedaan tafsir
pula toleransi dimungkinkan.
Masalah kemudian muncul ketika semua pihak memaksakan
tafsirnya sebagai kebenaran tunggal. Dalam konteks agama, misalnya, pihak
satu mengafirkan yang lain, sebaliknya pihak lain menuduh sang penuduh
sebagai pemeluk radikal. Merujuk kepada Foucault (1991), kehendak untuk benar
sedemikian sebenarnya identik dengan kehendak untuk berkuasa.
Kebudayaan yang terkunci
Kehendak berkuasa itu sendiri memang bersemayam di setiap
individu, sebagai sebuah hasrat (nafsu). Dan, kehendak inilah yang tampak
sangat dominan pada semua pihak sehingga tidak pernah terjadi dialog. Di
situ, hasrat berkuasa menjadi pintu
yang mengunci kita di dalamnya.
Berada di dalam nafsu sedemikian, hemat saya, sama saja
dengan berada di luar kebudayaan jika ranah ini masih kita anggap sebagai
ihwal yang berkaitan dengan kehalusan budi (cultura animi), dengan budi dan
daya, dengan cipta, karya, dan karsa.
Situasi inilah yang ingin saya sebut sebagai kebudayaan
dalam deadlock, kebudayaan terkunci di luar diri manusia, di luar kehidupan.
Dalam situasi inilah kata intoleransi
terlahir. Frekuensinya yang tinggi menunjukkan perdebatan dan
beradunya berbagai kepentingan politik yang tinggi pula, politik yang
mengunci kebudayaan.
Hingga esai ini dibuat, saya tidak menangkap adanya pihak
yang bisa membuka kunci tersebut untuk
membawa kembali "martabat kebudayaan" ke dalam ruang kehidupan
berbangsa.
Sebagaimana diketahui, Presiden Jokowi memang telah
melakukan perjalanan (safari) ke beberapa pihak untuk meredam situasi yang
memuncak akhir tahun lalu. Namun, safari Presiden adalah langkah politik
(safari politik), bukan safari yang netral dari kepentingan demikian. Langkah
ini, ketimbang bisa membawa keluar dari deadlock, kita malah diseretnya ke
ruang lebih dalam dan gelap.
Hal yang dibutuhkan pada situasi deadlock adalah
rekonsilisiasi. Dalam rekonsiliasi, semua pihak yang bersitegang dengan
keyakinan pada kebenarannya masing-masing harus dinyatakan benar. Semua
pendapat benar, kata Pramoedya Ananta Toer, minimal menurut orang yang
mengatakannya. Namun, semua pihak harus membuka diri bahwa di atas
kebenaran sepihak tersebut terdapat
kepentingan bersama yang mesti diselamatkan, yakni kepentingan bangsa.
Di situ, merujuk kepada Caputo (2001), pada akhirnya
"yang benar" adalah
bersatunya semua kebenaran. Ini adalah langkah untuk mencapai terciptanya
damai di dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar