Masa
(Tak) Tenang Pilkada Jakarta
Adi Prayitno ; Dosen Politik FISIP UIN Jakarta;
Peneliti The Political Literacy
Institute
|
KORAN
SINDO, 17
April 2017
Pemungutan suara putaran kedua pilkada khusus wilayah DKI
Jakarta kian dekat. Sesuai regulasi, segala ragam hiruk-pikuk sosialisasi
maupun kampanye terbatas pasangan calon harus dihentikan tiga hari jelang
pencoblosan karena akan memasuki masa tenang, yakni 16 hingga 18 April.
Di masa tenang, pasangan calon Basuki Tjahaja Purnama dan
Djarot Saiful Hidayat maupun Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dilarang
melakukan aktivitas politik apa pun, sekadar meredam tensi persaingan jelang
pencoblosan pada 19 April mendatang. Idealnya, semua kandidat, tim sukses,
serta pendukung kedua pasangan calon menjadikan masa tenang sebagai waktu
refresh tenaga dan pikiran setelah sekian lama berjibaku dengan segala bentuk
agitasi pilkada yang menyesakkan, termasuk juga memberikan kesempatan
bernapas kepada khalayak setelah dijejali dengan rutinitas kampanye yang
menjemukan.
Pada tahap tertentu, khalayak sudah bosan dengan aktivitas
kampanye dan bentuk propaganda lainnya. Pilkada DKI Jakarta memang cukup
menguras energi, emosi, bahkan persahabatan. Ruang publik pengap, nyaris tak
ada celah untuk bicara topik lain selain pilkada di jantung Ibu Kota ini.
Klausul masa tenang tertera dalam Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2015 tentang
Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan
Wali Kota atau Wakil Wali Kota.
Dalam Pasal 49 ayat 1 dijelaskan bahwa masa tenang
berlangsung selama tiga hari dan melarang pasangan calon melakukan aktivitas
kampanye dalam bentuk apa pun. Kategori aktivitas kampanye di masa tenang
berupa pengumpulan massa, menyampaikan visi-misi secara terbuka, program
kerja, dan informasi lain terkait pasangan calon, termasuk juga tak boleh
memobilisasi dukungan untuk memilih ataupun menolak calon tertentu.
Ada ketentuan pidana bagi pihak yang sengaja melanggar
ketentuan, yakni pidana penjara paling singkat 15 hari, maksimal 3 bulan
dengan denda minimal Rp100.000 dan atau maksimal Rp1 juta sesuai Pasal 187
ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pilkada. Tak hanya di dunia
nyata, masa tenang juga diharapkan bisa menjangkit ke dunia maya. Kedua
pasangan calon dan pendukung harus meredam kegaduhan yang viral menyebar
melalui media sosial.
Menahan diri merupakan solusi cerdas demi stabilitas
pilkada. Tak mudah memang mengendalikanruangmaya yangbergerak liar tanpa
jeda. Apalagi, Bawaslu hanya berwenang menindak akun-akun resmi pasangan
calon jika terjadi pelanggaran kampanye. Itu pun harus melalui prosedur yang
pelik dan ngejelimet. Sementara akun pribadi yang kerap bertindak sebagai buzzer,Bawaslu
tak memiliki legitimasi hukum apa pun melakukan tindakan.
Tak ada regulasi maupun mekanisme untuk mengamputasi
aktivitas buzzer yang cukup meresahkanseperti hoax danfitnah. Tentu saja
keterbatasan ini menjadi tantangan tersendiri bagi Bawaslu demi suasana
kondusif Pilkada Jakarta. Tak perlu laporan masyarakat, Bawaslu harus
responsif menjemput bola pelanggaran yang terjadi di lapangan.
Potensi Kecurangan
Masa tenang sejatinya dijadikan momentum meluruhkan suhu
politik yang terus mendidih. Apalagi, Pilkada DKI Jakarta digadang sebagai
pilkada rasa pilpres yang banyak menguras emosi bahkan mengaduk-aduk rasa
kebhinekaan. Di masa tenang pula, biarlah khalayak meneduhkan pilihan hatinya
yang masih kelabu. Berjubel isu, strategi, hingga pencitraan pasangan calon
yang terjadi sepanjang kampanye putaran pertama telah membuat khalayak
terjerembab di persimpangan jalan.
Sebagian besar sudah menentukan pilihan, sebagian lainnya
masih ragu-ragu, belum pasti entah kepada siapa melabuhkan pilihan hatinya.
Namun, di masa tenang justru menjadi fase paling krusial dari semua tahapan
pilkada. Kedua kandidat mulai merasa tak tenang dengan kekuatan mesin
politiknya. Apalagi, dalam praktik politik elektoral dewasa ini, kemenangan
acap kali ditentukan tiga hari jelang pencoblosan.
Meski dilarang, hampir dipastikan setiap calon dan tim
sukses akan terus melakukan gerilya politik demi meraup suara pemilih. Masa
tenang berubah menjadi medan pertarungan terakhir kekuatan antarcalon. Apa
pun akan dilakukan demi memenangkan politik elektoral. Bukan hanya manuver,
kecurangan bisa menjadi opsi strategis yang tak bisa dihindari. Tak peduli
tata krama demokrasi, yang penting menang kontestasi dalam pilkada.
Setidaknya adaduafenomena mencolok yang kerap terjadi
sepanjang masa (tak) tenang yang kerap dilakukan dengan curang.
Pertama,politik uang. Praktik kotor ini menjadi satu gejala politik paling
panas jelang pencoblosan. Jual-beli suara dipastikan terjadi secara vulgar
tanpa tedeng alingaling, terutama dilakukan oleh kandidat yang memiliki akses
modal yang berlimpah.
Praktik politik uang yang lazim dilakukan ialah model vote
buying, yakni membeli suara pemilih dengan sejumlah uang tunai. Nominal fulus
yang diberikan cukup variatif, sesuai harga negosiasi dengan pemilih. Tentu
saja di Pilkada DKI Jakarta angkanya jauh lebih besar ketimbang daerah
lainnya. Distribusi dan pembagian uang tunai model vote buying melalui
sejumlah perantara seperti tim sukses, RT dan RW, tokoh masyarakat, pemimpin
kelompok pemuda, elite lokal, hingga penyelenggara pemilihan seperti petugas
KPPS.
Semua dilakukan hanya untuk membeli suara pemilih.
Kedua,kampanye hitam atau lebih dikenal dengan sebutan black campaign. Secara
sederhana, black campaign didefinisikan sebagai kampanye kotor bertujuan
mendistorsi (downgrade) kandidat lawan dengan isu-isu negatif tak berdasar.
Dahulu, kampanye hitam dilakukan secara oral, face to face melalui mulut ke
mulut setiap individu masyarakat.
Kini, praktik kampanye hitam lebih canggih dengan
menggunakan media elektronik dan jejaring media soal seperti Facebook,
Twitter, video, dan media lainnya. Dalam studi perilaku pemilih, Anthony
Downs dalam An Economic Theory of Democracy (1957) melihat bahwa pilihan
politik khalayak tak melulu ditentukan seberapa banyak informasi yang dimiliki
pemilih tentang kandidat, melainkan juga sangat terkait dengan sejauh mana
kapasitas khalayak dalam mengolah informasi tersebut.
Di tengah masyarakat yang terbelah, semua informasi
diterima begitu saja tanpa filter rasionalitas memadai. Akibatnya, informasi
politik dengan mudah merasuk menjadi amunisi keyakinan pemilih. Penerimaan
khalayak terhadap berita palsu disebabkan minimnya literasi politik. Semua
informasi yang masuk dianggap keniscayaan tak terbantahkan. Mereka taken for
granted terhadap setiap isu yang diterima secara viral memenuhi ruang
keseharian yang hampa.
Termasuk juga adanya chemistry pemberi dan penerima pesan,
yakni semacam kesamaan rasa antara penyebar berita hoax dengan suasa
kebatinan sang penerima. Karenanya, black campaign dijadikan legitimasi untuk
memperkuat keyakinan yang menyimpang. Oleh sebab itu, masa tenang merupakan
situasi di mana agresivitas politik kandidat meningkat. Bukan lagi situasi
yang mencerminkan kehampaan aktivitas politik. Apalagi, banyak rilis lembaga
survei mengungkap selisih suara kedua pasangan calontipis. Sebuah situasi
potensial yang dapat memunculkan ruang terbuka untuk melakukan kecurangan
dengan cara apa pun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar