Menghormati
Pilihan Warga Jakarta
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy
Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 18 April 2017
JAKARTA ialah barometer politik nasional. Wajar jika
perhatian publik
tertuju pada perhelatan kontestasi elektoral putaran kedua
pada 19 April. Kualitas penyelenggaraan dan hiruk pikuk penyelenggaraannya akan
menjadi liputan media dan perbincangan luas tak hanya di Jakarta, tetapi juga
warga di daerah-daerah lain. Tentu saja, ini menjadi pertaruhan sangat
penting bagi demokrasi Indonesia. Oleh karenanya, penting untuk
memastikan para pihak yang terlibat dalam persaingan untuk
menghormati pilihan warga Jakarta. Para paslon, tim sukses, tim relawan wajib
menciptakan situasi kondusif dan membiasakan kedewasaan berpolitik dengan cara
menyiapkan mental siap kalah dan siap menang.
Situasi kondusif
Putaran kedua pilkada DKI, selain kompetitif, menjadi pertarungan
yang sangat keras. Rangkaian pesan kampanye, publisitas politik, propaganda,
dan perang urat saraf di ragam kanal komunikasi warga tak saja membuat
pilkada DKI gegap gempita, tetapi juga mencapai titik kulminasinya. Masa
pencoblosan ialah momentum yang membutuhkan ketenangan pikiran dan perasaan
tanpa intimidasi dari salah satu pihak.
Pernyataan dan gerak tindakan yang mengintimidasi atau
menimbulkan teror pada pemilih harus ditangani secara serius oleh KPU,
Bawaslu dan juga kepolisian. Alam demokrasi menuntut kebebasan sebagai
landasan fundamentalnya. Oleh karenanya, tak ada satu orang dan institusi mana
pun yang bisa merampas hak politik warga dalam memilih dengan cara-cara intimidatif.
Secara faktual, dalam beragam kasus banyak pihak tergoda
membawa isu SARA dan kebencian ke tengah gelanggang pertarungan. Isu ini
memang mudah ‘membakar’ massa, terutama di level persepsi pemilih
sosiologis yang biasanya menentukan pilihannya karena pertimbangan
kesamaan agama, suku, ras dan golongan. Biasanya untuk menghidupkan
isu ini, banyak fitnah, hoax, ujaran kebencian yang diproduksi dan
didistribusikan melalui kanal-kanal warga seperti media sosial.
Berhentilah memolitisasi isu agama karena sesungguhnya ajaran
agama itu luhur, semua pihak harus
menghormati dan menempatkan agama jauh di atas kepentingan sesaat pilkada.
Agama diperlukan untuk mendamaikan, bukan untuk membakar.
Konflik yang disulut dengan bahan bakar isu SARA itu cenderung sulit
menemukan solusinya terutama untuk merajut ulang consensus dan perdamaian.
Ibarat luka mendalam, konflik yang disulut isu agama, etnik, dan kepercayaan teramat
sulit disembuhkan. Memilihlah dengan kejernihan pikiran, bukan dengan kemarahan.
Paling tidak, ada tiga pihak yang harus diingatkan secara khusus
agar masa tenang tidak berubah menjadi masa tak tenang! Pertama, para
elite yang berada di lingkaran utama kandidat maupun di
atmosfernya.
Terutama, mereka yang kerap menjadi bahan berita media.
Selama masa
tenang, hari pencoblosan dan pascapencoblosan seyogianya mereka
mengembangkan respek dan saling menghormati dengan tidak menyengajakan diri
terlibat dalam agresivitas verbal dan tindakan berlebihan.
Kelompok elite ini biasanya menjadi role model sekaligus stimulan baik positif maupun negatif bagi
khalayak akar rumput. Jangan karena
syahwat politik atau kepanikan dalam membaca peta dukungan,
terus-menerus mengembangkan komunikasi kebencian.
Kedua, posisi media massa, terutama media arus utama, lebih-lebih
televisi yang kerap menghadirkan terpaan luar biasa di masyarakat. Asumsi seperti
ini relevan dengan pendapat Tuchman, yang mengatakan seluruh isi media sebagai
realitas yang dikonstruksikan (constructed
reality). Media pada dasarnya menyusun realitas hingga membentuk sebuah
‘cerita’ (Tuchman, 1980). Jhon Sinclair dkk dalam bukunya, New Patterns in
Global Television: Peripheral Vision (1996) pernah mengingatkan bahwa televisi
merupakan medium cangkokan yang megah.
Oleh karena wataknya sebagai media cangkokan, televisi, termasuk
juga media arus utama lainnya, harus hati-hati membawakan diri. Jangan
sampai tampilan vulgar media menjadi instrumental conditioning
sejumlah
perilaku tak patut yang ditiru masyarakat.
Ketiga, masyarakat yang menjadi pendukung, relawan, atau
pun simpatisan. Hingga hari ini, upaya black campaign masih berlangsung, selebaran-selebaran
gelap yang mendiskreditkan salah satu paslon seperti di Jakarta, terjadi dan
melibatkan jejaring warga. Oleh karenanya, warga harus lebih melek politik, bahwa
pembunuhan karakter, money politik dengan beragam caranya, intimidasi, dan
menyebar kebencian ialah bagian dari pelanggaran yang harus ditinggalkan.
Partisipasi warga
Kita tentu berharap partisipasi warga datang ke bilik suara
meningkat pesat seiring dengan perbaikan kualitas penyelenggaraan sehingga
proses demokrasi elektoral di DKI yang makin baik dan
konsolidatif.
Di putaran pertama, partisipasi warga memilih cukup bagus,
yakni 75,75%
atau 5.564.313 suara dari 7,2 juta pemilih. Itu lebih baik
daripada partisipasi warga di Pilkada DKI 2012. Saat itu, di putaran pertama
angka
partisipasinya 64,66% dan di putaran kedua 66%.
Pertarungan belum usai bagi kedua pasangan calon karena
tersedia ceruk pemilih yang bisa mengubah peta dukungan dan kemenangan.
Warga akan berpartisipasi dalam memilih bukan semata karena
dirinya berada dalam jaringan sosial, terlibat dalam kegiatan civic, tetapi juga karena ia ingin
berpartisipasi. Informasi politik membuat warga DKI memiliki informasi memadai
tentang para paslon dengan ia terlibat untuk memutuskan siapa yang akan dipilih
di putaran kedua.
Proses political efficacy
merupakan perasaan seseorang bahwa dirinya mampu memahami dan menentukan keadaan
yang berkaitan dengan
kepentingan publik. Harus ada optimisme bahwa pilkada
bukan kesia-siaan belaka! Faktor psikologis itu membangun persepsi dan sikap
partisan seseorang karena proses sosialisasi politik yang dialaminya. Yang terpenting
lagi ialah asupan program yang sudah disampaikan
kandidat bisa menjadi bahan pertimbangan pemilih untuk
menentukan pilihan karena pertimbangan rasionalitas. Selamat memilih, dan hormatilah
siapa pun yang menjadi pilihan warga Jakarta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar