Terlambat
Memberikan Kompensasi
Dani Rodrik ; Profesor Politik Ekonomi
Internasional
di Sekolah Pemerintahan John F
Kennedy, Universitas Harvard;
Penulis ”Economics Rules: The
Rights and Wrongs of the Dismal Science”
|
KOMPAS, 28 April 2017
Tampaknya
sebuah konsensus baru telah muncul di antara para pemimpin dan elite
pengambil kebijakan dunia mengenai bagaimana mengatasi serangan balik kubu
anti globalisasi, sebuah isu yang dieksploitasi dengan baik oleh kalangan
populis seperti Donald Trump.
Hilang sudah
keyakinan bahwa globalisasi akan mendatangkan manfaat bagi semua orang. Saat
ini kalangan elite mengakui kita harus menerima kenyataan bahwa globalisasi
tidak hanya menghasilkan ”pemenang” (mereka yang diuntungkan globalisasi),
tetapi juga ”pecundang” (mereka yang dirugikan oleh globalisasi).
Respons yang benar
adalah tidak dengan membalikkan arah globalisasi, tetapi memastikan bahwa
orang yang dirugikan mendapat kompensasi.
Konsensus baru
ini diutarakan oleh Nouriel Roubini: penolakan terhadap globalisasi ”dapat
diredam dan dikelola melalui kebijakan yang memberikan kompensasi terhadap
kerugian dan biaya yang harus ditanggung para pekerja”. ”Hanya dengan
menerapkan kebijakan seperti itulah kelompok yang dirugikan dalam globalisasi
akan merasa bahwa mereka juga pada akhirnya akan diuntungkan.”
Argumen ini terdengar
sangat masuk akal, baik secara ekonomi maupun politis. Ekonom tahu betul
bahwa liberalisasi perdagangan akan menyebabkan redistribusi pendapatan dan
kerugian absolut bagi kelompok masyarakat tertentu meski secara keseluruhan
kue ekonomi negara tersebut membesar.
Oleh karena
itu, perjanjian perdagangan hanya dapat meningkatkan kesejahteraan suatu
bangsa jika orang yang diuntungkan globalisasi bisa mengompensasi mereka yang
dirugikan. Pemberian kompensasi juga menjamin adanya dukungan terhadap keterbukaan
perdagangan dari konstituen yang lebih luas dan ini merupakan hal yang baik
dalam sudut pandang politik.
Negara kesejahteraan
Sebelum
munculnya konsep negara kesejahteraan (welfare state), ketegangan antara
keterbukaan dan redistribusi diselesaikan melalui emigrasi pekerja dalam
skala besar atau dengan menerapkan kembali kebijakan proteksi dalam
perdagangan, khususnya di bidang pertanian.
Munculnya
negara kesejahteraan, hambatan ini kian mengecil sehingga liberalisasi
perdagangan dapat dilakukan dengan skala lebih besar.
Dewasa ini,
negara maju yang paling terpapar perekonomian global adalah juga negara yang
paling ekstensif menerapkan program jaring pengaman dan asuransi sosial atau
disebut negara kesejahteraan. Penelitian di Eropa menunjukkan, negara yang
mengalami kekalahan dalam globalisasi cenderung menerapkan program sosial
yang aktif dan intervensi di pasar tenaga kerja.
Jika penolakan
terhadap perdagangan bebas di Eropa belum begitu terlihat, hal ini lebih
karena perlindungan sosial masih sangat kuat meski kian melonggar dalam
beberapa tahun terakhir. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa negara
kesejahteraan dan perekonomian terbuka adalah dua sisi dari koin yang sama di
hampir sepanjang abad ke-20.
Dibandingkan
dengan kebanyakan negara Eropa, Amerika Serikat (AS) adalah pemain baru
globalisasi. Hingga baru-baru ini pasar domestik AS yang besar dan wilayah
geografisnya yang cukup terisolasi menerapkan kebijakan proteksi yang relatif
ketat dari impor, khususnya impor dari negara berupah buruh murah. Secara
tradisional, AS termasuk dalam negara kesejahteraan yang lemah.
Ketika AS
mulai membuka diri terhadap impor dari Meksiko, China, dan negara berkembang
lainnya pada 1980-an, banyak yang mengira bahwa mereka akan menjadi seperti
Eropa. Namun, karena pengaruh paham Reaganite dan ide fundamentalisme pasar,
AS justru berkembang ke arah yang berlawanan dengan Eropa.
Seperti
dikatakan Larry Mishel, Presiden Economic Policy Institute, ”Mengabaikan
kelompok yang dirugikan oleh globalisasi adalah sebuah tindakan yang
disengaja.” Pada 1981, bantuan penyesuaian perdagangan (TAA) adalah salah
satu program yang diserang oleh Reagan dengan cara memotong pembayaran
kompensasi mingguan program tersebut.
Hal itu
berlanjut pada pemerintahan berikutnya di bawah Partai Demokrat. Mengutip
Mishel, ”Jika para pendukung perdagangan bebas betul peduli kepada pekerja,
mereka akan mendukung serangkaian kebijakan yang mendukung pertumbuhan gaji
yang kuat seperti menumbuhkan lapangan kerja, perundingan bersama, standar
kerja yang tinggi, pertumbuhan upah minimum, dan lainnya.” Dan hal ini bisa
dilakukan ”sebelum memperluas kerja sama perdagangan dengan negara-negara
dengan buruh murah”.
Membalik haluan?
Dapatkah AS
mengubah arah dan mengikuti pemahaman umum yang belakangan ini muncul? Tahun
2007, ilmuwan politik Ken Scheve dan ekonom Matt Slaughter menyerukan
perlunya ”sebuah Kesepakatan Baru (New Deal) untuk globalisasi” di AS, orang
mungkin akan mengaitkan ”kerja sama dengan negara lain dengan redistribusi
pendapatan yang substansial”. Di AS, menurut mereka, hal itu berarti
memberlakukan sistem pajak federal yang jauh lebih progresif.
Slaughter
adalah mantan pejabat di masa pemerintahan Presiden George W Bush dari Partai
Republik. Ini adalah sebuah indikasi betapa terpolarisasinya iklim politik di
AS. Terasa sulit untuk membayangkan proposal semacam itu bisa muncul dari
seorang anggota Partai Republik pada saat ini.
Upaya Trump
dan sekutunya di Kongres untuk menghapuskan program asuransi kesehatan yang
merupakan program andalan Presiden Barack Obama adalah refleksi komitmen dari
Partai Republik untuk mengurangi, bukan memperluas, perlindungan sosial.
Konsensus,
terkait perlunya pemberian kompensasi kepada kelompok yang dirugikan oleh
globalisasi, yang ada dewasa ini menganggap bahwa kelompok yang diuntungkan
dalam globalisasi digerakkan oleh kepentingan pribadi. Bahwa membeli dari
orang yang dirugikan oleh globalisasi adalah hal yang penting untuk
mempertahankan keterbukaan ekonomi.
Pemerintahan
Trump mengungkapkan sebuah persepsi alternatif di mana globalisasi,
setidaknya dalam bentuk yang ada sekarang, cenderung mendukung kelompok yang
memiliki keterampilan dan aset yang bisa mengambil manfaat dari keterbukaan
perdagangan dan kian merongrong apa pun pengaruh yang dimiliki oleh kelompok
yang dirugikan oleh globalisasi.
Trump telah
menunjukkan bagaimana ketidakpuasan terhadap globalisasi dapat dengan mudah
dimanfaatkan untuk mencapai agenda yang menjadi kepentingan kaum elite yang
tak ada hubungannya sama sekali dengan perdagangan.
Politik
kompensasi ini selalu menjadi subyek permasalahan yang oleh para ekonom
disebut dengan ”inkonsistensi waktu”. Sebelum sebuah kebijakan baru
diberlakukan, misalnya saja perjanjian dagang, maka penerima manfaat
perjanjian cenderung menjanjikan kompensasi. Namun, setelah kebijakan ini
berjalan, mereka tak lagi merasa berkepentingan untuk menindaklanjuti. Hal
ini bisa saja mengingat ongkos mahal yang harus dibayar untuk membalikkan
keadaan atau karena kini perimbangan kekuasaan berpihak kepada mereka.
Waktu yang tepat untuk memberikan kompensasi sudah terbuka dan
kita sia-siakan. Kalaupun kompensasi adalah sebuah pilihan yang mungkin
diambil dua dekade lalu, hal ini tidak lagi menjadi respons praktis terhadap
dampak buruk globalisasi. Untuk bisa merangkul mereka yang dirugikan oleh
globalisasi, kita perlu mempertimbangkan mengubah aturan globalisasi yang
ada.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar