Menagih
Janji Presiden soal KNKS
Imron Mawardi ; Dosen dan ketua Lembaga Pengembangan Ekonomi
Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unair
|
JAWA
POS, 17
April 2017
KEUANGAN syariah kembali menggeliat. Di industri
perbankan, market share bank syariah tahun lalu untuk kali pertama berhasil
menembus 5 persen, yaitu 5,3 persen. Selama 2016, aset tumbuh 20,33 persen
dari Rp 296,26 triliun per Desember 2015 menjadi Rp 356,50 triliun pada tutup
tahun 2016. Pembiayaan dan laba rata-rata naik mengikuti pertumbuhan aset,
yaitu 20,83 persen dan 17,36 persen.
Perkembangan bank syariah tersebut juga diikuti industri
keuangan syariah lain. Industri asuransi syariah, reksa dana syariah,
obligasi syariah, koperasi syariah, dan sebagainya, tumbuh 17 hingga 24
persen.
Menggeliatnya industri keuangan syariah tersebut, tentu
saja, memberikan suntikan semangat pengembangan keuangan syariah. Sebab,
sistem keuangan syariah diakui menjadi sistem alternatif pasar keuangan
global yang terus-menerus dilanda krisis. Pasalnya, keuangan syariah relatif
lebih aman di mana seluruh transaksi didasarkan atas underlying assets dan
underlying transaction yang tidak menimbulkan bubble.
Bagi Indonesia, perkembangan itu harus menjadi momentum.
Sebab, sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, kontribusi
keuangan syariah Indonesia secara global masih sangat kecil. ICD Thomson
Reuters mencatat (2016), aset keuangan syariah Indonesia hanya berada di
urutan ke-9 dari 20 negara dengan aset keuangan syariah terbesar di dunia.
Indonesia jauh berada di bawah Malaysia yang berada di peringkat pertama (USD
423 miliar), Arab Saudi (USD 388 miliar), dan Iran (USD 323 miliar). Aset
keuangan syariah Indonesia yang USD 35 miliar tak lebih dari 8 persen
Malaysia.
Secara global, akselerasi keuangan syariah memang luar
biasa. Dari sisi institusi, misalnya. Diawali hanya dari bank Islam
komersial, kini institusi keuangan syariah global sudah merambah ke takaful,
investment companies, asset management companies, broker-dealer Islamic
investment bank, dan e-commerce. Begitu juga dari sisi jenis dan macam produk
keuangan Islam. Jika dulu hanya produk-produk dasar bank komersial yang
tersedia, kini produk keuangan syariah sudah beraneka ragam seperti asuransi
syariah (takaful), keuangan mikro syariah, kartu kredit syariah, gadai
syariah, reksa dana syariah, sukuk, multifinance, dan berbagai produk syariah
di pasar modal.
Pertumbuhan produk keuangan dan perbankan syariah di pasar
global dipastikan akan semakin pesat. Ada permintaan pasar luar biasa yang
terus merangsang tumbuhnya institusi-institusi keuangan dan produk-produk
keuangan baru yang berbasis pada syariah Islam. Hal tersebut tentu tak akan
bisa dihindari sebagai konsekuensi atas perkembangan pasar keuangan global.
Di Indonesia, sejak dikenalkan kepada masyarakat muslim
pada awal 1990-an, industri keuangan syariah hingga saat ini masih sangat
kecil. Market share industri keuangan syariah seperti perbankan syariah,
asuransi, sukuk, reksadana, microfinance, pegadaian, dan multifinance, rata-rata
masih sekitar 5 persen. Fakta tersebut tentu merupakan ironi. Aset kurang
dari 5 persen merepresentasikan bahwa baru sedikit umat Islam yang menyadari
pentingnya berekonomi sesuai syariah.
Komitmen Rendah
Banyak penyebab mengapa ekonomi syariah belum memasyarakat.
Salah satunya adalah belum adanya komitmen umat Islam untuk menjalankan
seluruh kehidupan ini sesuai syariat. Syariat banyak dipahami sebatas pada
hal-hal yang berkaitan dengan ibadah seperti salat, puasa, zakat, atau ibadah
haji. Sementara itu, urusan nonibadah (muamalat) yang berkaitan dengan
hubungan antarmanusia seperti politik, ekonomi, dan bisnis seakan-akan tidak
berkaitan dengan syariah.
Penyebab lain adalah belum adanya komitmen yang kuat dari
pemerintah untuk membesarkan industri keuangan syariah. Memang, regulasi dan
perangkat bagi industri keuangan syariah ini sudah dibuat. Sosialisasi,
edukasi, dan pengawasan juga sudah dilakukan. Bahkan, pemerintah sudah
membentuk Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang langsung dipimpin Presiden
Joko Widodo. Namun, belum tampak ada komitmen yang sungguh-sungguh dari
pemerintah untuk memajukan industri keuangan syariah ini.
Presiden menyampaikan rencana pembentukan KNKS sejak 2015.
Secara resmi, KNKS dibentuk dengan dikeluarkannya Perpres 91/2016 pada 3
November 2016. Meski begitu, hingga sekarang belum terlihat kerja nyatanya.
Setelah 1,5 tahun diwacanakan untuk mengejar ketertinggalan, saat ini baru
disusun organisasinya.
Kita sangat berharap KNKS bisa bekerja maksimal dalam
mengembangkan keuangan syariah. Bukan saja membuat konsep dan sosialisasi,
KNKS perlu kerja nyata yang secara langsung berdampak besar terhadap
pengembangan keuangan syariah.
Salah satu yang bisa dilakukan adalah mengajak Kementerian
Agama untuk ikut mempercepat pengembangan keuangan syariah. Kemenag yang
seharusnya menjadi garda depan bagi pengembangan keuangan syariah di
Indonesia justru terlihat enggan melibatkan diri. Belum ada keberpihakan dari
Kemenag terhadap industri keuangan syariah dengan menempatkan dananya hanya
di perbankan syariah, kecuali penempatan dana haji.
Jika Kemenag memiliki komitmen itu, bukan saja aset
industri keuangan syariah akan membesar, tapi juga membawa dampak berantai
kepada seluruh pegawai dan guru di bawah Kemenag dan masyarakat umum untuk
menggunakan pelayanan keuangan syariah. Ini bukan saja baik bagi industri
keuangan syariah, tapi juga bagi masyarakat muslim sendiri, karena dengan
demikian bisa menjalankan syariah dalam bidang ekonomi dengan baik.
Selain mengajak Kemenag, banyak hal bisa dilakukan KNKS.
Pembentukan BPJS Syariah, mendorong sukuk korporasi, pengembangan lembaga
keuangan mikro syariah, asuransi, pasar modal, dan mendorong pengembangan
lembaga zakat dan wakaf akan membuat industri keuangan syariah akan
berkembang pesat dan kokoh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar