Jumenengan
dan Kekancingan
Heri Priyatmoko ; Dosen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas
Sanata Dharma
|
SUARA
MERDEKA, 18 April 2017
PUBLIK
terkejut mendapati ratusan tentara dan polisi mengepung Istana Kasunanan
Solo. Rupanya, anak tertua Dinasti Mataram Islam itu kembali dilanda konflik
keluarga. Perseteruan putraputri mendiang Paku Buwana XII menyembul menjelang
pelaksanaan peringatan naik takhta raja (tinggalan jumenengan) yang akan
dihelat Sabtu (22/4).
Yang disoal
oleh kelompok Paku Buwana XIII adalah Lembaga Dewan Adat selama ini
mengadakan tinggalan jumenengan dan memberi kekancingan berupa gelar ke
masyarakat luar keraton tanpa melibatkan raja.
Memang terasa
ganjil menggelar tinggalan jumenengan tanpa kehadiran sosok raja yang sah.
Agar lebih terang, kita perlu memahami arti serta riwayat jumenengan. Istilah
tersebut asal katanya dari jumeneng, yang mengandung arti berdiri.
Lembaran
sejarah Jawa merekam, semula upacara yang ada sejak periode Sultan Agung itu
dilaksanakan sebagai tanda diangkatnya seorang putra mahkota duduk sebagai
pimpinan istana. Hanya saja, waktu itu tidak digarap seheboh dan seterbuka
era Paku Buwana X yang bergelimang harta.
Pasalnya,
kekuatan politik Sultan Agung waktu itu masih bakoh, selain tidak di bawah bayangbayang
pemerintah kolonial. Ahli sejarah Mataram Islam, Soemarsaid Moertono (1985)
memaparkan bahwa selepas Panembahan Senapati wafat, putra mahkota dibimbing
menuju sitinggil.
Lantas,
pejabat kerajaan mengumumkan kepada seluruh rakyat: ”… semua rakyat Mataram,
siapapun kiranya mereka, saksikanlah pada hari ini juga, putra mahkota
memegang kekuasaan Sultan, menggantikan ayahandanya yang mulia…” Acara
tersebut berjalan singkat dan tak diikuti bagi-bagi gelar.
Beberapa abad
selanjutnya, raja dalam perayaan Jumenengan menyisipkan acara kekancingan
berupa gelar untuk sentana dan abdi dalem yang dinilai berjasa dan setia
mengabdi kepada kraton.
Tepatnya
periode Paku Buwana X (1893-1939) praktik pemberian gelar makin marak, tak
ayal terjadi inflasi priayi kategori tradisional.
Identitas
kepriayian seseorang dapat dibaca dari berbagai macam simbol yang dikenakan.
Kenyataan historis bahwa priayi merupakan suatu kelompok lapisan sosial di
masa lalu yang menempati posisi tengah-tengah, yaitu di bawah bangsawan dan
di atas wong cilik.
Setelah
memasuki periode kemerdekaan kemudian model lapisan sosial tersebut dihapus
dan semua diakui sama sebagai WNI, tidak secepatnya menghapus simbol yang
dikenakan oleh kelompok sosial.
Gelar adalah
salah satu atribut kepriayian di masa lalu yang disematkan di depan nama
seseorang. Gelar yang dilekatkan dalam diri priayi bukan gelar keturunan,
melainkan gelar jabatan.
Sewaktu-waktu
gelar ini dapat berubah jika kedudukan orang yang menyandangnya berubah pula,
misalnya naik pangkat. Dalam tesis saya di pascasarjana UGM mencoba mengamati
realitas gelar yang dikantongi oleh priayi seniman berikut maknanya.
Fakta umum
bahwa hegemoni Keraton Solo ambruk usai berdiri negara Indonesia. Kemudian,
banyak abdi dalem yang membangkang sebab istana dianggap kurang berwibawa.
Mereka keluar
dari tembok keraton yang sudah tak bisa lagi diandalkan secara ekonomi.
Menarik bahwa selepas melamar menjadi tenaga pengajar di KOKAR dan ASKI,
ternyata seniman tidak menanggalkan gelar pemberian institusi tradisional
kraton.
Fakta tersebut
dapat dilihat dalam surat resmi yang dikeluarkan pemerintah pusat yang
membubuhkan nama seniman berikut gelarnya, antara lain RNg Goenopangrawit, RL
Djojomlaya, dan RLMlayawidada. Dalam surat keputusan itu, mereka ditunjuk
menjadi penguji para murid ASKI tahun ajaran 1974.
Para seniman
disandingkan dengan tenaga pengajar yang mempunyai gelar Doktorandus (Drs),
misalnya Drs SD Humardani, Drs HB Sutopo (kelak menjadi profesor di bidang
penelitian kualitatif), dan Drs Daliman. Semua paham bahwa Drs merupakan
gelar yang diperoleh lewat pendidikan di perguruan tinggi.
Masih Diminati
Sejarah
keterlibatan seniman di dalam lembaga seni yang dikelola pemerintah itu,
bukan didasarkan ijazah, melainkan berdasarkan keahlian mereka sebagai
seniman yang penuh dedikasi memelihara kesenian tradisional.
Status mereka
mustahil diukur dan ditimbang menurut lembaran ijazah sebab mereka tidak
bersekolah, kecuali S Ngaliman di KOKAR.
Bagi
pemerintah RI, gelar yang disematkan kepada seniman itu tidak menimbulkan
masalah selagi tidak mengganggu proses interaksi sosial dan proses
belajarmengajar di kelas.
Dengan
mencantumkan gelar dalam surat resmi itu, pemerintah dinilai begitu
menghormati keberadaan seniman karena bagaimanapun juga kepandaian mereka
dibutuhkan untuk membantu pemerintah melestarikan dan mengembangkan kesenian
tradisional Jawa.
Di satu pihak,
para seniman menginginkan gelar itu tidak ditanggalkan, menunjukkan bahwa
dirinya masih cukup bangga terhadap simbol kepriayian masa silam.
Kosmologi kehidupan kraton rupanya sulit sepenuhnya hilang dalam
alam pikiran mereka. Ternyata, embel-embel gelar kraton sekarang juga masih
diminati. Wajar jika Jumenengan berubah menjadi medan konflik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar