Memaki
Pemimpin Negeri
Saifur Rohman ; Pengajar Program Doktor di
Universitas Negeri Jakarta
|
KOMPAS, 28 April 2017
Seorang warga
Kedoya, Jakarta Barat, memaki Gubernur Nusa Tenggara Barat dengan ucapan yang
mengidentifikasi korban sebagai pribumi, kebangsaan Indonesia, dan hewan
kotor saat di Bandara Internasional Changi, Singapura (Minggu, 9/4/2017).
Makian itu
terlontar karena sang gubernur diduga menyerobot antrean dalam jalur lapor
masuk (check in) di lapak Batik Air.
Belum setengah
tahun lalu, seorang warga negara sekaligus penyanyi pop yang cukup dikenal
publik memaki Presiden Joko Widodo dengan nama hewan-hewan yang tidak pantas
di depan Istana Kepresidenan, Jakarta (4/11/2016). Hal itu disebabkan
Presiden diduga tidak menindak tegas pelaku penghinaan pemuka agama.
Konteksnya, penyanyi yang juga pernah menjadi calon wakil kepala daerah itu
berorasi di depan para demonstran.
Dua peristiwa
tersebut memberikan sketsa yang mirip tentang sikap warga negara terhadap
pemimpin. Ketika berbicara adalah salah satu hak asasi tiap individu,
bagaimana seorang pemimpin mengambil sikap dalam konteks komunikasi
kebangsaan? Konkretnya, bagaimana
pemerintah mendekati persoalan itu? Bagaimana kita mengelola kebebasan?
Salah identifikasi
Suka atau
tidak, pemerintah selama ini salah mengidentifikasi tentang kebebasan
berekspresi hanya sebagai persoalan kebencian dalam ujaran. Ucapan yang
diduga ekspresi kebencian sebetulnya hanya implikasi etis dari sebuah nilai
kebebasan. Itulah kenapa pada akhirnya dapat dikatakan pemerintah perlu
pemahaman yang lebih jelas dalam mengelola kebebasan setiap warga negara
sebagai dinamika komunikasi kebangsaan.
Sebagai
ilustrasi, ketika muncul Surat Edaran No 6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran
Kebencian, itu sebetulnya dapat dibaca sebagai respons atas "kebebasan
berbicara" di depan publik melalui teknologi komunikasi yang makin marak. Teknologi komunikasi
dianggap faktor penyebab tingginya ucapan kebencian, tetapi di saat yang sama
teknologi itu pula yang membeberkan bukti yang lebih nyata ketimbang
perkembangan teknologi.
Melalui media
sosial, di Aceh, digambarkan seorang pria mencaci maki petugas kepolisian di
jalanan hanya karena diingatkan pada malam Tahun Baru 2017 agar memindahkan
mobilnya, Minggu (1/1). Sebelumnya, di Jakarta, seorang pegawai Mahkamah Agung
memaki aparat satuan lalu lintas bernama Aiptu Sutisna di Jalan Jatinegara
Barat, Selasa (13/12/2016). Konteksnya pelaku tidak terima karena ditegur
aparat dalam berkendara.
Akan tetapi,
ternyata persoalan dasar bukan itu. Ada fakta-fakta moral dasar warga negara
yang hilang dalam praktik berbangsa. Sekurang-kurangnya ada tiga asumsi
tentang kebebasan dan moral yang disalahpahami.
Pertama, hak
bebas berekspresi. Secara khusus, kebebasan berekspresi dan mengeluarkan
pendapat mendapatkan ruang yang dijamin oleh mekanisme perundang-undangan
dalam konteks kebangsaan di negeri ini. Negara menyadari pentingnya ruang
yang cukup bagi setiap warganya menyampaikan pikiran melalui berbagai media,
baik untuk kepentingan pribadi maupun umum. Rinciannya adalah bebas berusaha, mengeluarkan
pikiran, dan bebas berkelompok. Atas dasar kebebasan itulah setiap orang
punya pijakan untuk memberikan respons sebebas-bebasnya atas tindak tanduk
pemimpin.
Kedua, hak
moral pribadi. Asumsi adanya kebebasan itu didasari temuan-temuan filosofis
Immanuel Kant dalam buku Metafisika Moral. Dia membuktikan bahwa setiap
individu secara intuitif memiliki batasan-batasan alamiah dalam bertindak.
Itulah yang disebut Kant sebagai individu otonom karena mampu menentukan
kebaikan untuk diri dan lingkungannya. Sebaliknya, individu heteronom butuh
perangkat-perangkat etis untuk memandu kebebasan yang dimiliki. Otonomi moral
ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan pemenuhan tuntutan-tuntutan
yang lebih besar.
Ketiga, salah
paham etika dan etiket. Kebebasan
adalah asumsi etis dan sopan, salah satu implikasi etis. Dengan kata lain,
sopan adalah etiket, sedangkan jawaban atas pertanyaan "mengapa harus
sopan" adalah etika. Jadi, frasa "etika komunikasi" sebetulnya
menjawab apa saja instrumen ketika komunikasi itu dilaksanakan sehingga bisa
disebut pantas atau baik. Sementara itu, etiket komunikasi memberikan
petunjuk praktis untuk sikap yang pantas dalam berkomunikasi. Sebab, pada
dasarnya etika mempersoalkan mengapa sebuah perilaku disebut pantas atau
tidak pantas, etiket membahas cara berperilaku yang baik.
Mengelola kebebasan
Jadi, perilaku
yang tidak pantas sebetulnya mencerminkan prinsip-prinsip etika yang tidak
rasional. Dengan kata lain, penertiban kasus-kasus yang terkait dengan etiket
pemimpin tanpa pelurusan prinsip etika sama saja memotong rumput tanpa
mencabut akar.
Etika
komunikasi dalam kepemimpinan menembus tata cara yang sudah dianggap baik
ketika berbicara dengan pemimpin. Sebagai ilustrasi, pada masa gejolak 1966,
Presiden Soekarno menyatakan demonstrasi sudah melewati batas, liar, dan
tidak sopan sehingga perlu dihentikan. Sebagai pengikut, Soeharto pada masa
itu justru membenarkan sikap demonstran. Ketika dipanggil oleh Soekarno untuk
menghentikan demo besar-besaran, Soeharto menolak. Penolakan itu didasari
dengan prinsip "mikul dhuwur mendhem jero" (sebagaimana dikutip
dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, 1982: 165). Artinya
menjunjung tinggi nama baik dan mengubur kekurangan pemimpin kita.
Dengan prinsip
itu, Soeharto justru tidak melaksanakan perintah Presiden Soekarno,
membubarkan partai komunis, dan melakukan suksesi bertahap. Anehnya, ketika
peristiwa serupa menimpa Soeharto sebagai presiden, dia menyatakan akan
"menggebuk" setiap warga negara yang dinilai membangkang.
Fakta tersebut
menunjukkan adanya teknik komunikasi terhadap pemimpin. Pesannya, moralitas menuntut bukan sekadar
basa-basi, melainkan penuh penghargaan dan ketulusan. Itulah kenapa
prinsip-prinsip etis yang sudah baku dalam komunikasi tidak selalu membawa
kebaikan. Di sinilah tepatnya teori kebebasan berhenti. Sebagai contoh dalam
etika organisasi, komunikasi antara pengikut dan pemimpin mencakup keharusan
diri menegakkan sikap yang kondusif antara pemimpin dan pengikut, demikian
pula sebaliknya untuk tujuan organisasional.
Kasus itu menunjukkan Soeharto menolak perintah, tapi tidak
memaki. Memaki pemimpin di depan umum sebetulnya memberikan indikasi fakta
sosial tentang hadirnya kebebasan dalam iklim demokrasi, tetapi pada saat
yang sama fakta itu menunjukkan lemahnya pengembangan nilai-nilai etis
sebagai implikasi kebebasan setiap warga negara. Penangkapan terhadap pelaku
penghinaan martabat orang lain memang penting, tapi mengelola kebebasan dalam
bingkai kebangsaan jauh lebih penting. Jadi kebebasan sudah, mengelola untuk
pertumbuhan bangsa belum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar