Ekonomi
Politik Pilkada Jakarta
Edy Purwo Saputro ; Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Surakarta; Doktor Ekonomi UNS Surakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 22 April 2017
KESUKSESAN
putaran kedua pilkada DKI Jakarta yang akhirnya dimenangi Anies-Sandi
memberikan pengaruh signifikan terhadap geliat ekonomi politik. Paling tidak
hal ini terkait dengan potensi konflik berdalih agama sebagai ancaman pilkada
putaran kedua.
Kekalahan Ahok
sekaligus mengulang hal serupa pada pilkada sebelumnya ketika Ahok
mengalahkan Foke pada 2012. Oleh karena itu, ikrar Anies-Sandi yang lantang
menegaskan untuk bersama membangun Jakarta tanpa mengebiri kekuatan pesaing
mereka di pilkada kemarin menjadi penting sekaligus meredam ancaman gejolak
yang bisa saja muncul, terutama dalam konteks ekonomi-politik.
Kekhawatiran
dari putaran kedua pilkada DKI Jakarta tentu beralasan karena Jakarta adalah
ibu kota sebagai nadi geliat ekonomi politik sehingga warna pilkada di
Jakarta menjadi warna ekonomi politik di Indonesia. Kalkulasi ekonomi politik
dari putaran kedua pilkada DKI Jakarta sekaligus menjadi test case terkait
dengan iklim sospol, terutama ini mengacu keyakinan pasar dan sentimen
investor. Oleh karena itu, kesuksesan putaran kedua pilkada DKI Jakarta
menjadi acuan tentang perilaku wait and
see dan aspek ancaman menjadi wait
and worry.
Sikap legowo
Ahok-Djarot sekaligus menepis ancaman iklim sospol dan secara tidak langsung
memberikan sinyal positif terhadap kepastian tidak terjadinya wait and worry. Artinya, fenomena ini
bisa menjadi peluang memacu ekonomi bisnis untuk lima tahun ke depan di era
Anies-Sandi tentu dengan berbagai formula perubahan untuk mencapai
pembangunan terbaik.
Sentimen
Fakta yang
tidak bisa diabaikan dari putaran kedua pilkada DKI Jakarta ialah sentimen
terhadap bursa, yaitu pada sepekan menjelang pilkada IHSG mencapai level
5.644,30 pada 10 April dan menjadi 5.606,52 pada 18 April sehari menjelang
pilkada meski sehari pascapilkada yaitu 20 April ditutup melemah 0,2% di
level 5.595,31. Realitas di balik geliat bursa juga terlihat dari rekam jejak
pelaksanaan pilkada DKI Jakarta pada 8 Agustus 2007, yaitu perbandingan ISHG
pada 31 juli 2007 di level 2.348,67, sedangkan perubahannya pascapilkada pada
31 Agustus 2007 mencapai level 2.194,33.
Selain itu,
pada putaran pertama pilkada DKI Jakarta 11 Juli 2012, ternyata IHSG pada 2
Juli 2012 mencapai 3.991,54, sedangkan pascapilkada pada 31 Juli 2012 berada
di level 4.142,33 dan di putaran kedua pada 20 September 2012 ternyata
perubahan pada 31 Agustus 2012 mencapai 4.060,33 dan pascapilkada pada 28
September 2012 berada di level 4.262,45. Terkait dengan ini, pergerakan IHSG
pada putaran pertama pilkada DKI Jakarta pada 15 Februari 2017 lalu, yaitu
pada 31 Januari 2017, mencapai 5.294,10 dan pascapilkada pada 28 Februari
2017 berada di level 5.386,89.
Geliat bursa
hanyalah salah satu indikator terkait dengan pilkada, sedangkan interaksi
antara ekonomi politik dan politik ekonomi dari pelaksanaan pilkada tidak
dapat diabaikan. Karena itu, kesuksesan pilkada serentak yang lalu memberi
pengaruh positif terhadap sentimen pasar dan putaran kedua pilkada DKI
Jakarta memberikan dampak signifikan terhadap ekonomi bisnis di semester awal
2017.
Oleh karena
itu, Anies-Sandi tidak bisa mengelak dari tantangan pembangunan ekonomi untuk
lima tahun ke depan yang semakin berat.
Artinya, ada
sejumlah persoalan mendasar yang perlu segera dicermati, misalnya tentang
ancaman bencana banjir tahunan. Bencana biasanya disertai kelumpuhan ekonomi
lokal, infrastruktur ekonomi hancur dan tidak berfungsi, dan pasar dan
berbagai ruang usaha rusak, barang dan jasa tidak tersedia dan harga
melambung, serta penduduk menjadi kehilangan pekerjaannya. Aset bangunan dan
peralatan yang menjadi modal usaha dan agunan pinjaman menjadi barang yang
tidak bernilai. Konsekuensinya utang menumpuk, sedangkan kemampuan berusaha
menjadi tidak ada sehingga kredit macet membengkak. Oleh karena dunia usaha
kolaps, pekerja tidak lagi memiliki pekerjaan dan hal ini mengancam kemiskinan
karena sumber penghasilan rumah tangga hilang, padahal berbagai kebutuhan
mendesak harus terpenuhi.
Fakta ini
perlu dicermati karena implikasinya ialah proses terhadap persoalan sosial
yang kemudian bisa merembet ke kriminal. Artinya, Anies-Sandi harus
mewaspadai persoalan ini sebagai tantangan lima tahun ke depan.
Imbas
persoalan di atas ialah daya saing ekonomi dan pertumbuhan ekonomi domestik. Sementara
itu, di satu sisi, hal ini terkait dengan kondisi makroekonomi dan sejumlah
faktor yang mendasarinya.
Di sisi lain,
daya saing tidak terlepas dari problem pertumbuhan. Oleh karena itu,
perlambatan ekonomi semester awal 2017 sebagai konsekuensi dari pilkada
serentak tampaknya semakin berat di semester kedua. Paling tidak, ini juga
dipicu rendahnya belanja pemerintah. Oleh karena itu, beralasan jika
pemerintah lalu mengeluarkan sejumlah kebijakan yang mengacu pada percepatan
pembangunan infrastruktur strategis serta realisasi penyerapan anggaran.
Pemerintah
juga akan terus memantau serapan anggaran di semester kedua 2017. Upaya ini
menjadi langkah penting karena pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua cenderung
melambat karena ada Ramadan yang mengancam inflasi musiman.
Beragam
Mencermati
perlambatan ekonomi di semester kedua pada dasarnya tidak bisa terlepas dari
faktor makro yang terjadi karena realitas ini merupakan bagian dari kondisi
makro. Oleh karena itu, Anies-Sandi tampaknya perlu hati-hati mencermati
situasi ini.
Selain itu,
faktor ekonomi global ikut andil memengaruhi situasi ini. Apalagi kondisi
demokrasi politik dalam negeri masih berkutat dengan kepentingan parpol,
termasuk misal kekisruhan DPD, sementara kondisi fiskal cenderung lemah. Artinya,
situasi perlambatan ekonomi kali ini harus dikaji dari beberapa aspek yang
kompleks dan ini tantangan bagi Anies-Sandi sebagai pemenang putaran kedua
pilkada DKI Jakarta.
Beberapa aspek
yang perlu dicermati terkait dengan ekonomi politik putaran kedua pilkada DKI
Jakarta, yaitu pertama: beratnya tantangan mencapai target pertumbuhan, maka
perlu dipetakan potensi pertumbuhan ekonomi dan persoalannya. Artinya
stimulus perlu juga dipertimbangkan, termasuk aspek penyerapan anggaran
daerah untuk pembangunan infrastruktur strategis.
Kedua, fakta
lain yang tidak bisa diabaikan ialah pertumbuhan di kuartal kedua yang belum
maksimal. Oleh karena itu, berharap kepada porsi daya beli agar pertumbuhan
terpacu oleh konsumsi masyarakat tampaknya semakin berat juga.
Ketiga, tidak
bisa disangkal bahwa perputaran ekonomi juga rentan terhadap nilai tukar dan ini
mengisyaratkan jika nilai tukar tidak menguat, belanja modal meningkat dan
tentu berpengaruh terhadap biaya produksi terutama jika komponen produksi
masih impor.
Keempat,
sinergi investasi dan pertumbuhan adalah penting dan perlu regulasi memacu
daya tarik investasi, baik padat modal atau padat karya pascapilkada putaran
kedua. Selain itu, jaminan iklim sospol dan kepastian hukum perlu ditegakkan
dan ini menjadi PR bagi Anies-Sandi untuk lima tahun ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar