Ibu
Kita Kartini
Daoed JOESOEF ; Alumnus Universitas Pluridisciplinaires
Pantheon-Sorbonne
|
KOMPAS, 20 April 2017
Hidup bukan bagai pisang berkubak, tidak disajikan serba
jadi oleh "the invisible hand" kepada kita. Setiap kali sesudah
melangkah, kita harus bersiap menentukan langkah selanjutnya.
Maka, setiap orang, pada suatu ketika, di sesuatu tempat,
harus mengambil keputusan-mengenai esensial-di antara banyak perbuatan yang
harus dilakukan manusia di dalam perjalanan hidupnya. Orang tak dapat
mengelakkannya dengan dalih apa pun. Sebab, pada asasnya, tidak mengambil
sesuatu keputusan dalam dirinya sudah merupakan satu keputusan dan yang
terburuk dalam jenisnya.
Keputusan ini dapat menyangkut kepentingan diri sendiri,
bisa pula melibatkan nasib, bahkan hidup-matinya orang lain ataupun
orang-orang lain. Semakin banyak jumlah orang yang secara langsung terkena
oleh keputusan yang diambil seseorang, semakin beratlah sifat keputusan tadi.
Apabila kita perhitungkan pula mekanisme yang tidak langsung, dapat kiranya
dikatakan bahwa tak ada satu pun keputusan yang tidak langsung tidak akan
menyinggung keadaan orang lain.
Peran pendidikan
Harus diakui, sesuatu keputusan acap kali tak hanya
didasarkan pikiran, pertimbangan nalariah. Hati, pertimbangan perasaan, juga
ikut berperan. Filosof-matematikawan Pascal pernah berujar, "le coeur a sa raison que la rasion
ne peut pas expliquer"-the heart has its reason when reason cannot
explain; hati punya penalarannya sendiri jika nalar tidak bisa
menjelaskan.
Berarti hati dengan perasaannya, bahkan naluri dekat juga
ditata dan dibuat rasional, melalui membaca, menulis, belajar berpikir
teratur, dan latihan penalaran secara sadar dan sengaja adalah intisari dari
usaha manusia yang lazimnya disebut "pendidikan". Dari sini
terlihat betapa penting usaha pendidikan yang dapat membantu manusia mampu
mengambil keputusan secara sadar dan berimbang.
Pendidikan merupakan usaha yang dikembangkan oleh Raden
Ajeng (RA) Kartini dengan sekuat tenaganya. Bahwa usaha pendidikan ini secara
eksplisit ditujukan ke arah kaumnya, yaitu kaum perempuan, membuat usahanya
ini punya makna sangat fundamental, lebih-lebih jika ia dilihat dalam rangka
situasi kehidupan perempuan ketika itu.
Usaha pendidikan perempuan yang dipelopori dan
dikembangkan Kartini, secara esensial, membantu kaum perempuan mengambil
keputusannya sendiri, menentukan langsung derajat kebebasannya. Sebab,
ada-tidaknya kebebasan bukanlah fungsi dari ada-tidaknya kesempatan memilih,
tetapi bergantung ada-tidaknya kemampuan orang untuk mengambil sendiri
keputusan yang pada satu ketika harus dilakukannya. Jadi sebenarnya makna
dari usaha pendidikan perempuan yang dikembangkan Kartini tak hanya
berdasarkan pembangkitan kebiasaan membaca, menulis, dan belajar secara
teratur. Makna itu jadi lebih besar dan menentukan bagi jalannya kehidupan
kaum perempuan meningkatkan kemampuannya mengambil keputusan dan melalui
kemampuan itu meningkatkan derajat kebebasannya.
Kebebasan dalam arti mampu mengambil sendiri keputusan
yang harus diambilnya, dan tak diambilkan orang lain di luar dirinya-apakah
itu "orangtua", "paman", "abang",
"suami" atau "siapa saja"-hanya dengan dalih bahwa dia
"perempuan" karenanya tergolong "kaum lemah" yang, per
definisi, "harus dilindungi", dengan sendirinya "perlu
perlindungan" tanpa ditanya atau diminta. Dengan begini menjadi jelas
betapa besar makna dan peranan pendidikan bagi kaum perempuan yang dipelopori
dan dikembangkan Kartini di zamannya. Tidak hanya bagi "kebebasan
perempuan", tetapi bagi "manusia Indonesia" itu sendiri.
Pertama, karena pengertian kebebasan riil hanya
berhubungan dengan makhluk manusia, bukan dengan makhluk binatang berhubung
yang harus mengambil keputusan secara sadar adalah manusia dan bukannya
hewan.
Kedua, karena manusia, termasuk perempuan, dapat
memperbesar kebebasannya hanya melalui kesanggupannya memasukkan
"pertimbangan rasional dan penalaran" ke dalam setiap keputusan
yang akan diambilnya di dalam sesuatu situasi tertentu. Melalui pertumbuhan
kebebasan ini, manusia-termasuk perempuan-bergerak ke arah menyempurnakan
dirinya.
Ketiga, penalaran dan melalui penalaran ini, rangkaian
keputusan yang diambil oleh seorang ibu menentukan sekali bagi pembinaan
karakter dan mentalitas anak-anaknya sendiri. Bukankah kinerja di dalam diri
seseorang bergantung pada rangkaian tantangan dan dorongan, dalam bentuk
tuntutan pencapaian usaha serta kepercayaan pada diri sendiri, yang
diputuskan dan dihadapkan pada dirinya oleh orangtuanya, terutama oleh
ibunya.
Keempat, masyarakat berkepentingan tidak hanya memiliki
warga yang bersedia mengabdi, juga warga yang punya kesanggupan mengabdi,
melalui kemampuan untuk mengambil keputusan, terutama keputusan yang membantu
perkembangan karakter dan penalaran anak- anak yang diharapkan kelak dapat
menjamin kesinambungan hidup masyarakat bersangkutan.
Hidup yang singkat
Perasaan Kartini tentang kesengsaraan hidup dan nasib kaum
perempuan di zamannya dan pikiran serta cita-citanya untuk memperbaiki hal
itu melalui pendidikan diungkapkannya dalam surat kepada teman-temannya di
Belanda. Kepada Stella Zeenhandelaar, misalnya, dia bahkan menyatakan harapan
Indonesia akan merdeka suatu ketika kelak. Dia juga menulis tentang apa yang
seharusnya dilakukan oleh suatu pemerintah kolonial, serta membicarakan
hal-hal yang menyakiti hati bangsa Indonesia.
Hidup Kartini sangat singkat. Lahir 21 April 1879 sebagai
anak bupati Jepara dan kawin- lebih tepat "dikawinkan"-dengan
bupati juga, bupati Rembang. Dapat dibayangkan betapa sakit hatinya ketika
kemudian suaminya mengambil "selir" tiga orang dan hidup bersama di
bawah satu atap meski dia tetap istri "padmi", istri utama. Justru
poligami ini yang selamanya ditentang Kartini. Untung dia masih sempat
mewujudkan cita-citanya, kegiatan mendidik anak-anak rakyat, termasuk anak
perempuan di rumahnya. Dia meninggal di usia sangat muda, 25 tahun, sesudah
melahirkan anak pertama.
Tujuh tahun sesudah Kartini meninggal, pada 1911, seorang
pejabat Belanda yang mengenalnya dan keluarga bupati Jepara dari dekat, Mr JR
Abendanon, berhasil mengumpulkan 106 dari surat-surat Kartini yang ditulis
dalam bahasa Belanda. Surat-surat itu diterbitkan berupa buku berjudul Door
Duisternistot Licht. Buku ini mendapat sambutan positif yang luas di kalangan
para intelektual Barat, bukan hanya Belanda, melainkan juga Inggris, Perancis,
dan Amerika. Berbagai ulasan dengan judul yang berbeda diterbitkan di
Belanda, Inggris, Perancis, dan Amerika.
Di Indonesia sendiri, edisi berbahasa Indonesia, lebih
tepat untuk saat itu bahasa Melayu, terbit tak lebih awal daripada 1922,
dalam seri "Volkslectuur",berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Judul ini tetap dipertahankan pujangga Armijn Pane dalam terjemahan yang
terbit ulang pada 1938. Komponis Wage Rudolf Supratman, pencipta himne
"Indonesia Raya" dan kemudian memperdengarkannya dengan biola yang
digeseknya sendiri, di sidang penutup Kongres Pemuda Indonesia di Batavia
pada tanggal 28 Oktober 1928, telah menggubah pula satu lagu guna
memperingati jasa-jasa RA Kartini, berjudul "Ibu Kita Kartini".
Dengan Keputusan Presiden RI No 108, tanggal 2 Mei 1964,
RA Kartini ditetapkan menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar