Rukun
Putu Setia ; Pengarang ; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 22 April 2017
Menjelang
pemilihan kepala daerah Jakarta, situasi menegangkan. Kapolri Tito Karnavian
menjelaskan langkah antisipasi untuk mengamankan Jakarta. Ada gerakan orang daerah
yang akan datang ke Jakarta dengan dalih mengamankan tempat pemungutan suara.
Kapolri menyatakan hal itu harus dicegah. Polisi mengeluarkan maklumat dan
meminta kepolisian di daerah membendung gerakan itu. Polisi dan tentara
siaga.
Ternyata tak terjadi
apa-apa. Ketika warga Jakarta datang ke tempat pemungutan suara, suasana
sangat tenang. Tak ada gerakan massa. Mungkin takut dengan kesiagaan polisi
dan tentara atau memang gerakan itu cuma gertak. Cukup mengagetkan bagi
mereka yang sempat bulu kuduknya merinding sebelum pilkada. Dan puncak
kekagetan adalah hasil hitung cepat pilkada yang riuh ini. Pasangan inkumben
Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat tumbang, dikalahkan Anies
Baswedan dan Sandiaga Uno.
Kenapa Basuki
alias Ahok yang banyak dipuji hasil kerjanya membangun Jakarta bisa kalah?
Sudah banyak dibicarakan. Termasuk kemungkinan--namanya saja mungkin, jadi
belum tentu benar--kekalahan Ahok disebabkan para pendukungnya di media
sosial begitu ganas menyerang dan merendahkan Anies. Misalnya, mereka
menyebut Anies sebagai menteri yang dipecat presiden, Anies yang tidak suka
kebinekaan, Anies yang tidak toleran, bahkan sampai mempelesetkan ungkapan
"merajut tenun kebangsaan"--yang dipopulerkan Anies--menjadi
"merajut tenun kebangsatan". Kata-kata jorok yang menyerang pribadi
Anies itu memukul balik.
Kini, bisakah
kita melupakan perang caci-maki di media sosial? Pilkada Jakarta ini memang
pilkada paling gila yang sumpah-serapahnya disalurkan lewat media sosial.
Mereka yang mengumbar caci itu bukan orang sembarangan. Mereka orang-orang
cerdas dengan profesi bagus. Kalau saja mereka hanya memuji calon yang
didukungnya, tentu wajar, meski cara memujinya juga keterlaluan. Namun, kalau
pujian itu disertai dengan menghina calon lawannya, ini lebih keterlaluan.
Mereka akhirnya menelanjangi dan menghina dirinya sendiri.
Harus bisa hal
ini dilupakan untuk kembali merajut tenun kekerabatan. Kalau Anies dan Ahok
saja sudah berpelukan dan bersama-sama menyusun anggaran untuk pembangunan
Jakarta pada tahun depan, kenapa para pendukung keduanya masih tetap
bersitegang? Cuitan di media sosial seharusnya bisa lebih adem setelah
pilkada berlalu dengan cara saling melupakan cuitan sebelumnya. Mungkin tidak
bisa serta-merta, perlu pendinginan, misalnya mencuit soal bola, baik liga di
Eropa maupun liga nasional yang sedang berlangsung. Kita membutuhkan cuitan
yang adem untuk menunjukkan bahwa kita punya budaya komunikasi yang baik.
Leluhur kita mengajarkan untuk berbicara sopan jika pembicaraan di tempat ramai.
Media sosial adalah balai keramaian di mana kita diuji apakah bisa
menempatkan diri secara terhormat atau tidak.
Gubernur baru
Jakarta sudah terpilih. Ahok menyatakan kekalahannya karena "campur
tangan Tuhan" dan dia minta pendukungnya untuk tidak bersedih. Anies
menyebut Ahok bukanlah lawan, tapi teman yang akan diajak bekerja sama
membangun Jakarta, kota yang menjunjung tinggi kebinekaan. Yang memenangi
pilkada Jakarta ini bukan kelompok radikal, dan itu sudah dikatakan Direktur
The Wahid Foundation Yenny Wahid kepada Wakil Presiden Amerika Serikat
Michael Richard Pence saat berdialog dengan tokoh lintas agama di Masjid
Istiqlal.
Masih banyak hal yang perlu kita kerjakan untuk bangsa ini. Mari
rukun di dunia maya dan dunia nyata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar