Problema
yang Mencerdaskan
Mohammad Nuh ; Guru Besar ITS Surabaya
|
KORAN
SINDO, 24
April 2017
Dikisahkan,
suatu hari rombongan peneliti berjalan dalam hutan dan melihat sebuah lubang.
Didasarlubangituternyataada batu-batuan yang sangat mengkilap, memantulkan
cahaya yang luar biasa indahnya.
Sebagai
peneliti, naluri keingintahuannya sebagaibagiandari kepenasaranan
intelektual, muncul seketika. Salah seorang di antara mereka bergegas
mencondongkan badannya dan berusaha mengambil batu-batuan tersebut, tapi
lubangnya terlalu dalam. Ia mencondongkan badannya lagi dan menjulurkan
tangannya, tapi masih saja tak mampu menjangkaunya. Lalu, ia mengeluh,
“Lubangnya terlalu dalam, lubangnya terlalu dalam....” Lalu kawannya berkata,
“Minggir, saya akan tunjukkan kepadamu apa masalahnya.” Ia mengambil sebatang
galah yang dilengkapi penjepit.
“Masalahnya
bukan lubangnya yang terlalu dalam, tapi tanganmu yang terlalu pendek!” Ia
menjulurkan galah di tangannya dan berhasil mengambil batu-batuan tersebut.
Itulah karakteristik seseorang dalam menghadapi persoalan. Ada yang hobinya
mempersalahkan persoalan. Menyalahkan orang lain atau lingkungan,
bukankarenaketerbatasandirinya. Dengan mengatakan lubangnya yang terlalu
dalam, misalnya. Padahal, persoalan tidak butuh dipersoalkan, yang dibutuhkan
adalah jawaban.
Dan ada yang
memahami bahwa persoalannya ada pada keterbatasan diri dan segera mencari
solusinya tanpa harus mempersalahkan persoalan. Dalam kaidah persoalan dan
jawaban (problem-solving priciples), apabila kita dihadapkan pada suatu
persoalan, kita pilah mana yang tetap (fixed)—sebagai konstante yang tidak berubah
dan mana yang bisa berubah— sebagai variabel. Dalam kasus ini yang tetap
adalah posisi batu-batuan yang akan diambil. Adapun yang bisa berubah adalah
pengambil, yaitu tangan kita yang harus aktif dalam berperan. Kita yang harus
“menyesuaikan” dengan persoalan, bukan persoalan yang harus menyesuaikan
dengan kita.
Dalam
kehidupan kita tidak akan bisa lari dari persoalan. Begitu kita melarikan
diri dari persoalan, kita akan masuk pada persoalan baru. Hal yang harus kita
siapkan adalah kemampuan untuk menjawab persoalan disertai kemampuan memilah
dan memilih persoalan yang harus diselesaikan terlebih dulu.
Kompleksitas Persoalan
Pada Juli 2016
Price Waterhouse Coopers (PwC) merilis hasil survei yang telah dilakukan
terhadap 2.106 eksekutif senior di dunia. Survei tersebut menunjukkan bahwa
sofistikasi (kompleksitas) persoalan akan semakin meningkat sejalan dengan
waktu dan waktu untuk menyelesaikannya harus semakin cepat. Bisa dibayangkan,
kalau kita sedang ujian: dengan tingkat kesulitan lebih tinggi, tapi waktu
yang diberikan lebih pendek! Hasil survei tersebut sejalan dengan studi yang
telah dilakukan oleh Yves Morieux (Six Simple Rules, How to Manage Complexity
without Getting Complicated, 2014).
Kompleksitas
persoalan tersebut diakibatkan oleh jumlah manusia yang semakin bertambah,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peradaban. Studi yang
dilakukan oleh Ian Goldin (Age of Discovery, 2016) menunjukkan bahwa laju
kompleksitas persoalan sosial (socio complexity) lebih cepat dibanding kemampuan
pemahaman (cognitive capacity) sehingga semakin banyak misteri atau wilayah
kehidupan yang masih gelap (blind zone).
Dalam
perspektif kehidupan, fenomena ini sungguh sangat wajar karena kalau semakin
lama persoalan kehidupan semakin mudah, berarti kita mengalami proses
“pembodohan” atau siklus negatif. Sebaliknya, kalau derajat kompleksitas
semakin tinggi, menjadi tantangan bagi kita untuk melakukan proses
pencerdasan atau membangun peradaban bersiklus positif. Melihat kecenderungan
masa depan yang semakin kompleks, maka tidak ada pilihan kecuali kita harus
meningkatkan kapasitas berpikir orde tinggi (higher order thinking), lebih
kreatif dan intuisi yang semakin tajam (intuition sharpness).
Tentu hal ini
berbeda dalam tradisi profetik. Pada diri seorang nabi atau rasul,
pengetahuan yang dimilikinya melampaui batas waktu kehidupan. Karena
mendapatkan wahyu dari Sang Mahapencipta. Bagi orang yang beriman, keyakinan
akan kehidupan setelah kematian bukanlah sebuah khayalan tentang masa depan
(self fulfilling prophecy), tetapi sebuah kepastian dan kebenaran. Keyakinan
tersebut tidak harus dibuktikan karena pernah mengalaminya. Analoginya tidak
terlalu sulit. Bagi kita yang pernah membeli mobil baru, pasti orang dealer
berpesan, nanti jangan lupa ya, kalau sudah mencapai sekian kilometer diganti
oli dan seterusnya. Mengapa kita percaya dan kita ikuti, karena informasinya
bersumber dari yang membuat mobil.
Orang yang Cerdas
Kehidupan itu
tidak bisa dilepaskan dari persoalan. Maka, Allah Mahapencipta, dengan sifat
kasih sayang-Nya, melengkapi dan menyediakan setiap masalah (kesulitan)
tersedia banyak jawaban (kemudahan). Setiap penyakit ada obatnya (likulli
daa-in dawaa-in). Dan kualitas seseorang salah satu ukurannya adalah berapa
banyak masalah yang telah diselesaikan. Kehidupan itu seperti orang kuliah,
setiap masalah itu punya bobot SKS (satuan kredit semester).
Semakin banyak
SKS yang diselesaikan dan semakin baik nilai per SKS, semakin banyak credit
point kita kumpulkan, maka kinerja kita pun semakin baik. Karena itu, bagi
orang yang cerdas, masalah yang dihadapi justru dijadikan sebagai tantangan
dan kesempatan. Falsafah syukur dan sabar dijadikan sebagai instrumen dalam
menghadapi segala macam persoalan. Manfaatkan seluruh sumber daya, potensi
dan kesempatan (syukur).
Ubah potensi
jadi kekuatan, dengan kekuatan itulah digunakan untuk menyelesaikan berbagai
masalah. Tidak ada jaminan semua masalah langsung bisa diselesaikan. Ada
kemungkinan berhasil dan ada kemungkinan gagal. Di antara dua ekstremitas
(berhasil dan gagal) itulah wilayah ikhtiar kita, termasuk di dalamnya
memohon pertolongan Allah dalam penyelesaian masalah tersebut. Tidakkah
melalui persoalan yang kita hadapi hakikatnya Allah menguji, apakah kita
sudah bersungguh-sungguh dalam berikhtiar dan tetap berada dalam dimensi
kesabaran? Memang, dari sisi epistemologi, kata “problem” (masalah) berasal dari
bahasa Yunani, proballein, mengandung makna yang sangat positif. Pro berarti
forward atau maju.
Ballein berarti to drive atau to throw. Problem berarti bergerak
maju, kesempatan untuk maju dan berkembang. Karena itu, problem dan kemajuan
ibarat dua sisi mata uang. Kemajuan akan diperoleh setelah melalui
serangkaian penyelesaian masalah. Kemajuan tidak akan diperoleh tanpa
menghadapi dan menyelesaikan masalah— persoalan. Masalahnya, bagaimana kita
bisa menghadapi berbagai masalah tersebut secara cerdas, dengan efisien dan
cost effectiveness yang rendah baik secara sosial, politik, maupun ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar