Arah
Pemulihan Ekonomi
Tri Winarno ; Peneliti Senior Bank Indonesia
|
KOMPAS, 20 April 2017
Setelah referendum di Inggris yang memutuskan keluarnya
Inggris dari Uni Eropa (Brexit) dan dilantiknya Donald Trump sebagai presiden
ke-45 Amerika Serikat (Usxit), perekonomian global menghadapi tantangan yang
sangat signifikan. Berbagai pemangku kepentingan, seperti pelaku pasar ,
merasa sangat cemas terhadap prospek perekonomian global ke depan, yang imbasnya dipastikan menjalar
ke kinerja perekonomian nasional.
Akan tetapi, setelah melewati triwulan I-2017, siklus
ekonomi mengindikasikan arah pemulihan ekonomi global terlihat kian nyata dan
membangkitkan optimisme yang membuncah, terutama bagi perumus dan pembuat
kebijakan publik.
Indikator utama
Setidaknya terdapat beberapa indikator utama yang
mendukung optimisme perkembangan perekonomian global ke depan. Indikator
pertama adalah pemulihan kinerja perekonomian AS. Setelah pemulihan yang lama
dan lambat akibat resesi yang berawal pada 2008, ekonomi AS mengalami masa
booming. Pasar tenaga kerja berada pada batas pemakaian tenaga kerja penuh
(full employment), laju inflasi mulai meningkat, dan optimisme rumah tangga
kian menggeliat.
Tingkat pengangguran total menyentuh batas terendah, yaitu
4,7 persen, dan tingkat pengangguran lulusan perguruan tinggi hanya 2,4
persen. Rata-rata pendapatan pekerja per jam lebih tinggi 2,8 persen
dibandingkan dengan pendapatan tahun lalu. Pasar tenaga kerja yang ketat dan
peningkatan upah mendorong tenaga kerja yang telah berhenti mencari kerja
masuk pasar tenaga kerja lagi sehingga terjadi kenaikan tingkat partisipasi
pekerja.
Sebagai indikasi nyata bahwa perekonomian AS berada pada
batas pemakaian tenaga kerja penuh adalah adanya peningkatan laju inflasi
yang signifikan. Inflasi inti telah mencapai 2,2 persen, secara substansial
lebih tinggi dari rata-rata inflasi tiga tahun sebelumnya yang berada pada
1,8 persen. Selama tiga bulan terkini bahkan inflasi inti meningkat 2,8
persen per tahun, jauh melebihi target inflasi Bank Sentral AS (Federal
Reserve/The Fed) yang hanya 2 persen.
Kekayaan rumah tangga masyarakat juga sedang mengalami
peningkatan. Harga rumah sebagai aset penting warga AS meningkat 5 persen
selama 12 bulan terakhir. Peningkatan
harga saham bahkan telah kian memperkuat dan memperbesar peningkatan kekayaan
warga AS.
Survei kepercayaan konsumen AS pada kondisi
perekonomiannya sangat positif. The University of Michigan Consumer Sentiment
Index baru-baru ini mencapai angka
tertinggi sejak 17 tahun terakhir. Begitu pula pada Februari 2017, the
Conference Board Consumer Confidence Index menyentuh angka tertinggi 15 tahun
terakhir.
Industri pengolahan telah meningkatkan produksinya setiap
bulan selama enam bulan terakhir. Produksi perumahan berpacu dengan naiknya
permintaan, yang terefleksikan oleh peningkatan sebesar 6 persen pembuatan
rumah baru untuk tipe keluarga tunggal sejak 12 bulan terakhir.
Ini semua menunjukkan pertumbuhan produk domestik bruto
(PDB) AS pada 2017 dipastikan akan meningkat lebih cepat dibandingkan dengan
empat tahun sebelumnya. Tatkala data perdagangan dan angka inventori
berubah-ubah sehingga tidak bisa digunakan sebagai indikator awal kinerja
PDB, maka data penjualan akhir pada
swasta yang secara riil meningkat 2,5 persen per tahun dapat dijadikan penanda awal kekuatan
pertumbuhan ekonomi AS. Dengan demikian, dapat diperkirakan, secara
keseluruhan PDB AS pada 2017 akan tumbuh sekitar 2,5 persen.
Indikator kedua adalah perkembangan perekonomian China. Di
antaranya ditunjukkan oleh rasio belanja eceren terhadap produksi industri di
China. Angka ini dapat digunakan sebagai penanda siklus kecenderungan
perekonomian dan indikator perubahan struktural perekonomian China dari
ekspor ke konsumsi domestik, dari outward looking ke inward looking economy.
Ini salah satu indikator penting bagi perekonomian China maupun bagi
perekonomian global ke depan. Walaupun data rasio belanja eceran terhadap
produksi industri terlihat naik turun, kecenderungannya semakin meningkat sejak krisis keuangan global tahun 2008.
Ini menunjukkan bahwa belanja konsumsi masyarakat China semakin menguat.
Fakta itu menunjukkan struktur perekonomian China sedang
mengalami transformasi struktural yang dramatis. Di antaranya diperkuat oleh
data pangsa sektor sekunder (pengolahan dan konstruksi) terhadap total PDB
yang anjlok dari 47 persen pada 2007 menjadi 40 persen pada 2016.
Padahal, sektor tersier (jasa) mengalami peningkatan yang signifikan dari 43
persen menjadi hampir 52 persen.
Pergeseran struktural sebesar itu adalah suatu tanda keseriusan Pemerintah
China dalam melakukan reformasi ekonomi menuju proses rebalancing yang
memadai.
Selain itu, dari data resmi yang dirilis oleh Biro
Statistik Nasional China, pada dua bulan pertama tahun 2017 terjadi
peningkatan yang meyakinkan terhadap penjualan eceran, output industri,
konsumsi listrik, produksi besi baja, investasi fisik, dan aktivitas sektor
jasa.
Sementara cadangan devisa China mengalami pemulihan
(rebounded) pada Februari 2017 untuk pertama kalinya sejak delapan bulan
berturut-turut, yang berarti tekanan aliran modal asing keluar dari China
telah mereda. Dan, pada saat yang sama, untuk meminimalkan dampak kenaikan
tingkat suku bunga Fed Fund Rate AS
terhadap arus dana asing, maka Bank Sentral China (People's Bank of
China/PBOC) menaikkan tingkat suku bunga kebijakan sebesar 10 basis poin.
Di samping itu, ketahanan perekonomian China diperlihatkan
oleh data perdagangan internasionalnya. Pada Januari dan Februari 2017,
ekspor mengalami pertumbuhan 4 persen secara tahunan. Padahal, pada kuartal
IV-2016 ekspor mengalami kontraksi sebesar 5,2 persen.
Indikator ketiga adalah tanda-tanda kuat pemulihan ekonomi
di UE. Sejak musim panas 2016, sebagian besar anggota UE telah menikmati
pemulihan ekonomi yang meyakinkan di tengah-tengah kekhawatiran bayang-bayang
disintegrasi UE yang dipicu oleh Brexit dan Usxit. Padahal, Brexit dan Trump
telah menciptakan ekspektasi bahwa bubarnya UE hanya masalah waktu, yaitu
menunggu kemenangan kelompok populis pada pemilu di Belanda, Perancis,
Jerman, dan Italia.
Penanda kuat pemulihan ekonomi UE di antaranya
diperlihatkan oleh indikator Ifo Business Climate Index bulanan untuk
perekonomian Jerman. Data ini dapat digunakan sebagai penanda siklus
perekonomian Eropa secara keseluruhan, mengingat Jerman adalah pusat dari
perekonomian Eropa. Kalau indeks ini meningkat, maka dapat dimaknai
perekonomian Eropa secara keseluruhan
menunjukkan perbaikan. Survei Ifo mencatat, sejak semester II-2016, angka ini telah menunjukkan kecenderungan
yang semakin meningkat, bahkan pada Februari 2017 menyentuh angka tertinggi
setelah bangkit dari krisis sejak 2008.
Sebenarnya UE telah mengalami resesi ekonomi yang panjang
dan mengkhawatirkan sejak krisis keuangan global 2008, terutama karena sikap
Jerman yang menentang stimulus fiskal dan moneter untuk UE dalam upaya
membantu AS keluar dari resesi 2010. Veto Jerman terhadap ekspansi kebijakan
moneter UE dengan menggunakan instrumen semacam quantitative easing juga
menjadi penyebab utama hampir bubarnya UE pada 2012.
Namun, perubahan dramatis terhadap kebijakan UE dan
kondisi ekonominya terjadi pada Maret 2015 ketika Bank Sentral Eropa
(European Central Bank/ECB) meluncurkan program pembelian obligasi seperti
yang dilakukan AS dengan skala yang jauh lebih masif. Sejak saat itu ECB
melakukan kebijakan moneter yang ultra-longgar dengan membeli surat berharga
di pasar keuangan Eropa sekitar ?2,3 triliun euro.
Dengan pembelian hampir tiga kali dari total obligasi yang diterbitkan UE, ECB secara
efektif mematahkan aturan UE dan menyediakan pembiayaan untuk menutup defisit
fiskal negara-negara anggota. Dengan demikian, terbangun kembali sistem yang
saling memperkuat pemulihan ekonomi antara negara kuat seperti Jerman dan
negara lemah seperti Italia dan Spanyol. Langkah ECB ini secara cepat mampu
membalikkan fragmentasi sistem perbankan Eropa dan mengeliminasi bubarnya UE
sehingga terjadi peningkatan signifikan kepercayaan dan optimisme investor,
pelaku bisnis, dan konsumen di belahan Eropa.
Beberapa risiko
Mencermati indikator-indikator di atas, secara keseluruhan
sebenarnya perekonomian global telah mengarah pada fase pemulihan walaupun di
tengah-tengah proses tersebut dibayang-bayangi oleh menguatnya politik
populis di belahan Eropa dan AS.
Berdasarkan pengalaman masa lampau, ketiga indikator tersebut telah
mengirim sinyal bahwa perekonomian global ke depan akan mengalami peningkatan
kinerja yang signifikan.
Arah pemulihan ekonomi global tersebut semakin menguat
jika dalam pertemuan pemimpin G-7 yang akan diselenggarakan di Sisilia,
Italia, pada Mei 2017 dan pertemuan pemimpin G-20 di Hamburg, Jerman, pada
Juli 2017, berhasil merumuskan kesepakatan bersama untuk memacu pertumbuhan
ekonomi global keluar dari stagnasi. Meski demikian, optimisme tersebut masih
menghadapi beberapa risiko yang membahayakan. Risiko tersebut bisa menjadi
batu sandungan laju ekonomi global yang sudah menguat. Risiko tersebut di
antaranya adalah kondisi perbankan di Eropa yang masih lemah, over-leveraged
pemerintah lokal di China dan regulasi
keuangan yang ruwet dan kompleks di AS.
Selain itu, agenda penting yang mengkhawatirkan adalah
pemilihan presiden Perancis pada 7 Mei 2017. Kalau Marine Le Pen yang menang,
maka arah pemulihan ekonomi akan terasa semakin berat. Namun, apabila yang
menang Emmanuel Macron, yang merupakan kelompok garis tengah, dapat
dipastikan perekonomian global akan semakin menguat menuju ke arah pemulihan.
Semoga arah pemulihan ekonomi global semakin pasti
sehingga optimisme akan dunia yang semakin sejahtera dapat terwujud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar