Pesan
Damai dari Gelora Delta
Romanus Ndau Lendong ; Program Doktor Ilmu Komunikasi
Universitas Sahid, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 18 April 2017
PADA 1992 Francis Fukuyama, ilmuwan AS turunan Jepang,
menerbitkan buku yang menghentak publik: The End of History and the Last Man.
Dengan yakin Fukuyama menjabarkan tesisnya bahwa demokrasi liberal merupakan
'titik akhir evolusi ideologis umat manusia dan bentuk final pemerintahan'
sehingga bisa disebut 'akhir sejarah'. Demokrasi liberal menggusur habis
musuh-musuhnya: fasisme, otoriterisme dan komunisme. Karena terobsesi oleh
tesis tersebut, kaum modernis memaklumkan bahwa agama dan etnik tak lagi
relevan dalam politik. Selanjutnya, sistem politik berada dalam bingkai
rasional dan profan.
Referensi politik lebih diharapkan tumbuh dari
rasionalitas publik dan semata-mata urusan manusia sehingga terbuka untuk
dikritik dan dikoreksi terus-menerus. Demokrasi melampaui sekat suku, agama,
ras, budaya dan kelas sosial. Mencermati fenomena politik terkini, keyakinan
kaum modernis tampak amat prematur. Betul demokrasi telah berada pada track
yang benar, tetapi belum sepenuhnya mampu membebaskan diri dari cengkeraman
primordialisme, terutama suku dan agama. Ironisnya, fenomena itu terjadi di
DKI Jakarta dengan melibatkan aktor-aktor politik berpendidikan tinggi dan modern.
Secara sistematis dan masif, sentimen etnik dan agama dieksploitasi
semata-mata untuk kepentingan politik sempit berjangka pendek.
Keteladanan NU
Saat pentas politik pekat oleh konflik bermuatan etnik dan
agama, ratusan ribu warga Nahdlatul Ulama (NU) berkumpul di Stadion Gelora
Delta, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Dalam merayakan harlah ke-94, NU
melakukan istigasah kubra dengan tema Mengetuk pintu langit, menggapai
nurullah. NU mengingatkan bahwa Indonesia ialah negara bangsa, bukan negara
agama. Nation state yang melindungi kebebasan seluruh warga, apa pun
agamanya, untuk melaksanakan ajarannya. Terkait dengan adanya persaingan
politik, NU mengingatkan agar tak ada lagi pihak yang berbicara agama,
apalagi mengeksploitasi sentimen keagamaan semata-mata untuk kepentingan
politik. Keluhuran agama tidak boleh disalahgunakan sebab berpotensi
memecah-belah bangsa. Itulah pesan damai dari Glora Delta, Sidoarjo, Jawa
Timur. Pesan tersebut merupakan penegasan kembali komitmen NU terhadap masa
depan bangsa.
Pada 20 Maret 2017, dalam Silaturahim Ulama Nusantara di
Sarang, Rembang, Jawa Tengah, 99 kiai karismatik menyeru agar segenap elemen
bangsa mengedepankan sikap keagamaan yang moderat, toleran, dan demokratis.
Bagi mereka, pembangunan dan kemajuan bangsa merupakan tanggung jawab semua.
Untuk itu, segala potensi konflik apalagi yang berpotensi memecah-belah dan
mengoyak keutuhan NKRI harus dicegah secara dini. Keteladanan dan konsistensi
NU merupakan oase yang memberikan harapan bahwa Indonesia akan terus kuat dan
perkasa berhadapan dengan berbagai gerakan yang melawan Pancasila dan NKRI.
Sejak muktamar di Cirebon 1984, NU memang telah bulat bertekad untuk menerima
Pancasila sebagai satu-satunya ideologi bangsa. Sebagai ormas terbesar dengan
anggota mencapai lebih dari 60 juta jiwa, NU merupakan kekuatan besar yang
harus selalu berada di garda terdepan dalam mencegah berbagai gerakan yang
melawan kemanusiaan, keadilan, dan kebersamaan kita sebagai bangsa.
Sikap tersebut menunjukkan bahwa NU memiliki pandangan
visioner tentang pluralisme. Merujuk sejarah, pluralisme terutama suku dan
agama merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak. Lebih dari itu, pluralisme
merupakan kekuatan dan berkah bagi bangsa Indonesia. Karen Amstrong, penulis
besar tentang agama-agama, mengingatkan bahwa inti semua ajaran agama ialah
belas kasih. Agama hadir untuk membela dan membebaskan manusia dari bahaya
kemiskinan, ketidakadilan, dan kekerasan. Kebesaran agama ditakar dari
kesungguhan berpihak pada manusia, bukan mengorbankannya.
Pendidikan kewarganegaraan
Komponen penting dari sebuah nation state ialah
kewarganegaraan. David Held melalui bukunya, Political Theory and the Modern
State (1984), menandaskan bahwa kewarganegaraan merupakan keanggotaan penuh
dalam sebuah komunitas yang memerlukan partisipasi dalam menentukan
hubungan-hubungan di antara individu-individu. Kewarganegaraan merupakan
sebuah status yang memberi individu hak dan kewajiban yang setara, kebebasan
dan hambatan, dan kekuasaan serta tanggung jawab yang sama. Tegasnya,
kewarganegaraan memberi seseorang hak yang sama dan setara, terlepas dari
berbagai perbedaan atribut sosial yang dimiliki. Menjadi bangsa Indonesia
berarti menjalani hidup berdampingan dengan sesama yang berbeda keyakinan
keagamaan, suku, budaya, politik, dan kelas sosial. Meski terkadang muncul
gesekan sosial di antara sesama warga negara, sejauh ini pluralisme tidak
menjadi halangan bagi bangsa Indonesia untuk membangun kerja sama yang saling
mendukung dan menguatkan.
Itu sebabnya berbagai gesekan sosial dengan mudah diatasi
karena memang telah tumbuh semangat saling percaya yang kuat di antara sesama
warga negara. Meski demikian, munculnya politisasi agama dan gerakan-gerakan
radikal akhir-akhir ini perlu terus mendapatkan perhatian serius dari berbagai
pihak. Jalan pintasnya ialah penegakan hukum berupa pemberian sanksi yang
tegas dan berefek jera kepada pelaku. Tentu itu porsi polisi dan segenap
aparatus penegak hukum. Langkah strategis lain dan berjangka panjang ialah
pendidikan kewarganegaraan.
Secara konsepsional, pendidikan kewarganegaraan
adalah proses pengenalan warga negara akan keberadaan dirinya dalam sebuah
negara-bangsa. Pertama, pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membantu
warga negara memahami kondisi sosial bangsa yang dilandasi latar belakang
yang berbeda-beda. Pendidikan kewarganegaraan membuat kita mampu menerima
'sang lain' sebagai pribadi yang utuh dan bermartabat, yang memiliki hak dan
prakarsanya sendiri. (Heffner, 2001:8).
Kedua, pendidikan kewarganegaraan diarahkan untuk membantu
setiap warga negara bahwa setiap elemen bangsa dari berbagai latar belakang
telah menjadi energi yang berkontribusi bagi tercapainya kemerdekaan
Indonesia. Kemerdekaan ialah hasil kerja sama semua elemen bangsa dan itu
berarti menyoal kembali keragaman bangsa merupakan langkah mundur yang bisa
merugikan di masa depan. Ketiga, pendidikan kewarganegaraan membantu setiap
orang untuk mengenal hak-hak dan kewajibannya. Hak-hak adalah semua hal yang
wajib negara lakukan bagi setiap orang dan kewajiban adalah segala hal yang
wajib warga negara korbankan untuk kemajuan dan kebesaran negara. Hak dan
kewajiban tersebut harus dijalankan secara simultan dan berimbang demi
memenuhi prinsip keadilan. Akhirnya, pesan damai dari Gelora Delta kiranya
menginspirasi kita semua untuk terus menjunjung tinggi keragaman bangsa.
Khusus terkait dengan pilkada DKI, pesan damai tersebut kiranya menjadi
referensi bagi warga untuk memilih pemimpin lebih pada konsep
kewarganegaraan, bukan atribut sosial yang berbeda-beda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar