Pentingnya
Perubahan Pola Pikir
Saurip Kadi ; Mayor Jenderal TNI (Purn);
Mantan Asisten Teritorial Kepala
Staf Angkatan Darat
|
KOMPAS, 20 April 2017
Kalah menang dalam pemilu bukanlah akhir dari segalanya
seperti dalam perang. Sebab, pemilu tak lebih hanyalah sarana untuk
menghitung jumlah pendukung atau pemilih bagi masing-masing kontestan. Seusai
pemilu, kehidupan akan kembali seperti sebelumnya.
Munculnya sedikit ketegangan sosial dan bahkan
kekhawatiran serta rasa waswas akan terjadi kerusuhan sosial menjelang
Pilkada DKI sama sekali bukan karena rakyat Jakarta belum siap berdemokrasi.
Akan tetapi, lebih karena kepentingan kelompok tertentu yang menunggangi
agenda Pilkada DKI.
Ditilik dari agenda yang mereka gulirkan dan tokoh yang
terlibat dalam upaya memanaskan suhu politik Jakarta tidak lepas dari rekayasa
sosial untuk memunculkan kerusuhan sosial dengan target optimal
jatuhnya pemerintahan Jokowi. Karena hanya cara itulah, mereka bisa
selamat dan lepas dari pertanggungjawaban hukum atas kejahatannya di masa
lalu.
Kelompok lain yang berkepentingan adalah mereka yang
hendak mengembangkan paham "kilafah" untuk pada saatnya kelak
mengganti dasar negara Pancasila. Sinergi dua kepentingan menjadi efektif
karena isu yang dikembangkan menyangkut keyakinan agama dan sentimen etnis
yang terkait dengan kesenjangan yang begitu menganga yang nyata dan benar
adanya.
Berebut menjadi pelayan rakyat
Pilkada DKI telah usai. Sepatutnya kita mengucapkan
selamat kepada penduduk DKI yang telah berhasil memilih pemimpin untuk lima
tahun ke depan. Kepada gubernur dan wakil gubernur DKI terpilih, kita ucapkan
selamat bekerja, semoga saja kelak tidak ingkar terhadap kontrak sosial yang
telah disampaikan dalam kampanye lalu.
Dalam demokrasi, para pejabat pemerintah sudah barang
tentu mendapat upah dengan sebutan gaji atau upah dan juga fasilitas seperti
kendaraan dan perumahan. Kita juga tahu, di mana pun mereka yang menerima
upah disebut pegawai, buruh, karyawan, atau panggilan lainnya yang tugasnya
melayani majikan. Sebaliknya, mereka yang membayar upah disebut sebagai
majikan, juragan, atau bos.
Dan, karena uang yang digunakan untuk membayar upah
tersebut adalah dari pajak rakyat, maka di negara demokrasi rakyat
diposisikan sebagaimana layaknya majikan. Mereka dihargai atau dihormati oleh
para pelayannya, tak peduli sebutan mereka adalah lurah, bupati, gubernur,
menteri, anggota DPR, atau presiden sekalipun.
Kesadaran bahwa dirinya tak lebih adalah pelayan rakyat
bagi segenap pejabat negara, terutama bagi gubernur dan wakil gubernur
terpilih DKI Jakarta, menjadi utama agar ke depan tidak ada lagi perlakuan
kasar apalagi tidak senonoh oleh sang pelayan terhadap majikannya,
yaitu rakyat, siapa pun ia.
Siapa pun tak bisa memilih untuk terlahir dari keluarga
dari etnis mana pun. Pada milenium ke-21, rasanya naif kalau kita masih ribut
soal etnis. Tetapi, kita tidak boleh membohongi diri bahwa di masyarakat luas
ada masalah yang serius terkait etnis Tionghoa. Kita harus jujur mengakui
bahwa di masa lalu ada kebijakan negara yang "keliru" sehingga kini
muncul jurang kesenjangan yang begitu menganga akibat penguasaan alat
produksi dan sumber daya nasional oleh segelintir pengusaha yang kebetulan
didominasi keturunan Tionghoa.
Persoalan menjadi lebih serius karena dalam praktiknya
beberapa pengusaha papan atas dari etnis Tionghoa terlibat dalam kejahatan
penjarahan kekayaan negara seperti yang terjadi dalam kasus Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), korupsi, dan kejahatan ekonomi lainnya,
termasuk juga soal narkoba.
Praktik oligarki kekuasaan, maraknya mafia di banyak aspek
kehidupan, termasuk di lingkungan lembaga pengadilan, kartel,
kriminalisasi, capital violence, dan bahkan terorisme oleh negara
(state terrorism) tidak terlepas dari peran mereka juga. Namun, kita
juga harus jujur mengakui bahwa keterlibatan mereka dalam berbagai kejahatan
tersebut juga karena perlindungan, persekongkolan, kolaborasi, dan bahkan
alat dari oknum penguasa dan juga rezim.
Kita tahu bahwa beberapa ratus pemilik tanah,
tambang , dan atau hutan dengan luas berpuluh ribu, beratus ribu, dan
bahkan ada yang berjuta hektar sebagian besar juga pengusaha keturunan
Tionghoa. Dalam praktiknya mereka justru tega mengusir penduduk setempat yang
telah turun-temurun tinggal di situ, tetapi terkalahkan oleh
"lisensi". Dan, mustahil untuk mendapatkan "lisensi" atas
lahan yang begitu luas dengan gratisan alias cuma-cuma. Praktik titip saham
atau komisi adalah hal lazim di negeri ini.
Hikmah yang bisa dipetik
Kasus dugaan penodaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah menyebabkan sejumlah penyakit jiwa bangsa
kini tampak di permukaan. Kebinekaan kita ternyata masih sebatas pada verbal.
Di antara kita masih banyak yang menempatkan agama justru sebagai sumber
perpecahan dan bahkan malapetaka kemanusiaan.
Niscaya, Presiden Jokowi akan segera melakukan penataan
sistem politik nasional yang mewajibkan negara memperlakukan secara setara
terhadap segenap warga negara sehingga ukuran mayoritas dan minoritas menjadi
tidak relevan lagi dan ke depan isu agama tidak lagi dipakai untuk kepentingan
politik.
Kesenjangan sosial yang tercipta secara struktural akibat
penguasaan alat produksi dan sumber daya nasional oleh konglomerat yang
kebetulan dominan dari etnis Tionghoa juga tidak mungkin dibiarkan begitu
saja tanpa upaya terukur untuk membenahinya, tanpa harus ada
"perang" antara pemerintah dan mereka.
Sebaliknya, mereka juga harus berbesar hati untuk mencari
solusi bersama pemerintah agar lahir kebersamaan segenap warga bangsa dalam
bingkai NKRI.
Dengan demikian, warga negara keturunan Tionghoa lainnya
yang jumlahnya begitu besar dan tidak ikut berdosa tidak kembali menjadi
korban akibat amuk massa. Begitu pula tentang kerusakan mentalitet alat
negara, mustahil tiba-tiba berubah menjadi baik hanya karena presidennya
tidak mau merangkul dan dirangkul penjahat ekonomi.
Dengan bermodal kejujuran dan kesederhanaan saja dalam
separuh perjalanan pemerintahannya telah banyak membawa perubahan. Wajar saja
kalau rakyat banyak menaruh harapan pada Presiden Jokowi ke depan dengan sisa
waktu 2,5 tahun bisa melakukan sejumlah retooling sebagaimana
yang pernah dicanangkan oleh Bung Karno, yaitu Retooling Mentalite,Retooling
Alat Negara, Retooling Alat Produksi, dan juga Retooling Logistik Nasional
yang semuanya sesungguhnya sudah menjadi bagian dari Nawacita.
Karena hanya dengan cara itu, peran NKRI yang dilandasi
oleh nilai-nilai Pancasila dalam mewujudkan keamanan dan kesejahteraan segera
dirasakan segenap rakyat tanpa kecuali sehingga konsep kenegaraan di luar
Pancasila dengan bungkus agama sekalipun niscaya tidak akan laku. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar