Saatnya
Akal Sehat Memilih
Radhar Panca Dahana; Budayawan
|
MEDIA
INDONESIA, 19 April 2017
PADA akhirnya kita selaiknya mafhum, demokrasi adalah
salah satu produk kebudayaan yang kita manusia menciptakannya. Kebetulan
saja, produk yang satu ini memang mengundang kegaduhan, memancing emosi
dengan cara luar biasa, membutuhkan ongkos yang sangat-sangat besar, dan pada
akhirnya juga merangsang manusia bukan hanya mengerahkan kemampuan
terbaiknya, melainkan juga mengerahkan nafsu buruk hingga syahwat terkotornya.
Hasilnya? Banyak pihak sangat optimistis akan kebaikan-kebaikan yang didapat
darinya. Tapi sejarah juga membuktikan, bagaimana kedegilan dan kebusukan
juga merajalela di dalamnya, termasuk pemimpin yang dilahirkannya, mulai
Adolf Hitler di masa lalu Jerman, hingga Donald Trump di negeri yang konon
terbesar dalam praktik demokrasinya, Amerika Serikat.
Apakah demokrasi yang sudah--telanjur--kita sepakati
penerapannya itu memberi dampak penuh kebaikan di negeri ini? Atau boleh jadi
justru implikasi negatif-destruktif bukan hanya di tingkat suprastruktur,
melainkan juga hingga relasi sosial dan kualitas kultural yang terjadi?
Biarlah sejarah atau setidaknya Anda masing-masing menilainya. Apa yang jelas
harus kita pahami, pilkada, sebagai praksis demokrasi, sebagaimana produk
kebudayaan lainnya adalah hasil kerja terintegrasi antara tiga dimensi
ilahiah manusia: akal, jiwa (mental), dan badan (jasmani). Jika tiga dimensi
itu dapat bekerja (sama) dengan sehat dan teringtegrasi, produk
(kebudayaan)-nya pun akan baik dan luhur. Sebaliknya, jika salah satu saja
dari tiga dimensi ilahiah itu tidak sehat operasionalnya sehingga menciptakan
ketidakseimbangan dalam kerja samanya dengan dimensi-dimensi yang lain, dapat
dipastikan produknya pun akan menyimpang, negatif, bahkan destruktif.
Karena itu, kini kita bisa melihat, merasakan, dan menilai
sendiri. Apakah proses yang berlangsung atau terjadi selama ini khususnya
dalam masa pra- dan pascakampanye, di pilkada DKI khususnya, produk
kebudayaan bernama demokrasi itu sudah menciptakan keluhuran (budi manusia)
sebagaimana tujuannya? Atau justru ia menjadi sarana yang terlegitimasi (oleh
negara) dan dibiayai juga oleh rakyat banyak, untuk kita mengeksploitasi
mental atau jiwa yang teruk, penuh iri, dengki, fitnah, dan khianat demi
memuaskan libido kekuasaan atau kemenangan sepihak (bukan bangsa/warga) kita
seluruhnya?
Bila konstatasi terakhir yang justru Anda rasakan,
sebagaimana banyak pihak mengutarakan, bahkan hingga kalangan penguasa tak
kuasa menahan rasa khawatir dan cemasnya, tentu ada yang salah dalam proses
itu. Dalam cara berpikir kebudayaan kita di atas, mestinya ada salah satu
dimensi kemanusiaan kita (yang ilahiah) itu yang tidak bekerja dengan baik
atau sehat. Barangkali ia alpa, tergelapkan, atau sakit alias tidak sehat,
sehingga mengakibatkan kerja dimensi lainnya terganggu, juga kesehatannya.
Bisa Anda bayangkan, bila akal misalnya, yang kita gunakan saat ini dalam
turut campur di keriuhan pilkada tidak sehat, tidak peduli dengan logika
kebenaran atau mempersetankan nalar yang menjunjung kemuliaan bersama,
tidakkah jiwa atau mentalitas kita pun terpengaruh, menjadi sakit? Bukankah
tubuh kita lalu merespons dengan sikap dan tindakan
yang--katakanlah--negatif, provokatif, alias penginnya berantem aja?
Atau dalam kasus lain, ketika (sebagian dari) kita misal
saja, memiliki mental atau emosi yang kacau, tergelapkan, termanipulasi, atau
terinduksi oleh paham-paham yang sempit (seperti menganggap hanya diri dan
kelompoknya yang memegang kebenaran) lalu menciptakan keyakinan yang buta.
Apakah tidak akal kita pun tersesatkan dengan memproduksi argumen-argumen
yang seolah canggih? Tapi sesungguhnya hanya apologetik, retorik, atau silat
lidah belaka hanya untuk membenarkan diri sendiri? Apa kemudian produk
kebudayaan, demokrasi dalam hal ini, yang kita hasilkan?
Saya tahu, Anda juga tahu apa jawabannya. Mengapa seyakin
itu? Karena, berbasis latar pendidikan atau pengalaman apa pun, kontinental
maupun bahari, sesungguhnya kita menyimpan 'akal sehat' itu; akal yang memang
ditujukan untuk meluhurkan kebudayaan, memuliakan manusia. Katakanlah itu
semacam common sense. Dengan senjata sederhana dan umum ini, common sense,
kita mafhum apa sesungguhnya kebaikan dan kebenaran bagi sesama... sekali
lagi, bagi bersama (seluruh warga/bangsa) itu. Karena itu, di hari istimewa
ini, khususnya bagi warga Jakarta juga rakyat Indonesia keseluruhannya yang
terimbas oleh ingar-bingarnya, di saat kita harus (dipaksa undang-undang)
melaksanakan hajat memilih pemimpin Ibu Kota, yakinkanlah diri kita sendiri
bahwa hajat tersebut mesti dilandasi kesehatan paripurna dari jiwa, badan,
dan akal kita. Hanya dengan cara itu, keluhuran dan kemuliaan akan kita
hasilkan. Bukan saja pemimpin yang akhirnya kita menangkan, melainkan juga
kepentingan warga, bangsa, hingga anak cucu kita di masa depan.
Periksalah dengan baik, jiwa dan akal kita dengan khusyuk,
penuh ikhlas, apakah sudah baik dan benarkah cara berpikir serta keyakinan
hati kita melulu untuk menciptakan kemaslahatan bersama, bukan kepentingan
sempit diri atau golongan sendiri. Karena itu, tegaklah tubuhmu, yang
diluruskan oleh akal sehat dan jiwa bersihmu menuju tempat pemungutan suara
maka semua akan berlangsung baik, penuh rasa persaudaraan, padat dengan
kebaikan dan tujuan mulia. Sementara itu, keangkaraan, kecurigaan, fitnah
keji, dan prasangka negatif--yang mungkin selama ini sempat menghuni dimensi
kemanusiaan kita--akan jauh tersingkir, bahkan binasa. Lalu kita pun tahu,
bukan hanya anak cucu menunggu dengan senyum bahagia serta bahagia, melainkan
juga Dia yang di atas akan, insya Allah, memberi rida dan berkah-Nya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar