Belajar
dari Spirit Perubahan RA Kartini
Saifullah Yusuf ; Wakil Gubernur Jawa Timur; Ketua
PB NU
|
JAWA
POS, 25
April 2017
JUMAT (21/4)
saya dan beberapa akademisi, wartawan, dan pimpinan OPD Provinsi Jatim
bersama-sama melihat film Kartini karya Hanung Bramantyo. Film tersebut layak
ditonton semua kalangan, semua umur, baik laki-laki maupun perempuan. Berikut
catatan saya setelah melihat film tersebut:
Hari kelahiran
seorang perempuan yang menginspirasi perubahan bagi bangsa Indonesia. Dia
adalah Raden Ajeng Kartini, putri seorang bupati Jepara yang lahir pada 1879,
jauh hari sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Seorang perempuan
terpelajar yang hidup di dalam tradisi kebangsawanan zaman itu.
Kelahiran
Kartini sangat penting karena dia dianggap sebagai tokoh emansipasi di tengah
tradisi yang menempatkan kaum perempuan di bawah subordinasi kaum pria. Ia
dianggap sebagai tokoh yang dengan gigih memperjuangkan perlunya pendidikan
bagi kaum miskin. Perempuan yang dengan berani memperjuangkan kesetaraan
perempuan di tengah tradisi yang sama sekali tidak mendukungnya. Tokoh yang
menjadikan perempuan lebih bermakna di saat perempuan hanya dilihat sebagai
konco wingking alias seseorang yang harus di belakang.
Tapi, apakah
seluruh perjalanan hidup Kartini sekadar memperjuangkan emansipasi perempuan?
Menurut saya tidak. Kartini adalah lebih sebagai tokoh perubahan. Perubahan
dari pola berpikir tentang tradisi, tentang pandangan hidup, tentang
keluarga, dan tentang kehidupan yang lebih luas. Ia adalah sosok perempuan
yang mendorong perubahan dalam keluarganya, kaumnya, dan masyarakat pada
umumnya.
Memanfaatkan Akses Kebangsawanan
Pada abad
ke-19, saat Kartini hidup, perempuan tidak boleh memperoleh pendidikan
tinggi. Bahkan untuk kaum bangsawan sekali pun. Perempuan Jawa, di mana
Kartini tumbuh, perempuan hanya diharapkan menjadi raden ayu dan menikah
dengan pria ningrat untuk menghasilkan keturunan ningrat pula. Dia menjadi
saksi bagaimana ibunya sendiri, Ngasirah, menjadi orang terbuang di rumah
sendiri dan bahkan dianggap sebagai pembantu karena tidak menjadi darah
ningrat.
Kenyataan yang
dihadapi sehari-hari itulah yang membuat dia berontak. Ia tak mau menyerah
dengan tradisi yang membelenggunya. Kartini pun memperkuat diri dengan
membaca buku. Kebetulan, sebagai anak bupati, ia berhak memperoleh pendidikan
dasar dan bisa berbahasa Belanda. Kemampuannya itulah yang kemudian
memperluas wawasan sekaligus mampu membangun komunikasi dengan guru-guru
Belanda.
Kartini tidak
hanya berjuang mendobrak tradisi untuk kepentingan diri sendiri. Ia juga
memperjuangkan perlunya pendidikan bagi kaum perempuan dan orang miskin.
Karena itu, ia bersama dua adiknya mendirikan sekolah yang mengajari mereka
huruf Latin. Huruf yang diajarkan kaum Barat. Huruf yang hanya dimengerti
kaum bangsawan.
Selain itu, ia
memanfaatkan akses kebangsawananya yang bisa berkomunikasi dengan bangsa
Belanda untuk meningkatkan harkat hidup warganya. Yang tidak banyak diketahui
orang selama ini, Kartini melatih para perajin ukiran untuk membuat produk
yang sesuai dengan pasar. Ia bikinkan gambar desain sesuai kesukaan pasar dan
menjualkannya ke pasar global. Langkahnya itulah yang mengangkat ekonomi
warga Jepara yang hidup dari kerajinan tersebut.
Karena itu,
bagi saya, Kartini bukan hanya seorang pahlawan bagi kaum perempuan. Ia
adalah tokoh perubahan yang memikirkan kemajuan bagi kaum dan bangsanya. Dan
semua perjuangan yang dilakukan saat itu adalah sesuatu yang melompat jauh ke
depan. Sesuatu yang ternyata tetap menjadi persoalan umat manusia hingga
sekarang.
Spirit
perubahan yang diperjuangkan Kartini itulah yang seharusnya kita pegang terus
hingga sekarang. Hanya dengan berpegang teguh pada spirit perubahan, kita
akan bisa menjadi masyarakat yang maju. Hanya keberanian untuk berubahlah yang
akan mendorong kita pada kehidupan yang lebih baik dan sejahtera.
Peran Seorang Ayah
Yang juga
selama ini kurang diketahui kita semua, segala perjuangan dan kemajuan
Kartini sebagai perempuan bisa terwujud karena peran ayahnya, Raden Mas Ario Sosroningrat.
Karena rasa sayangnya kepada Kartini, ia memberikan ruang lebih luas kepada
anaknya untuk belajar. Memberikan ruang gerak untuk berbuat lebih banyak,
meski dalam batas-batas tertentu ia tidak bisa mengelak dengan tradisi yang
berkembang saat itu.
Hal tersebut
meyakinkan kepada saya bahwa keluargalah yang menjadi inti dari segala
perubahan. Keluarga harus kita jadikan simpul dari segala tujuan pembangunan.
Keluarga harus menjadi basis bagi pembangunan peradaban bangsa ini. Keluarga
harus menjadi tempat anak-anak kita berkembang menjadi generasi yang punya
mimpi, cita-cita, dan tujuan hidup yang lebih baik di masa depan.
Jika kemarin
saya mengajak para pria, para suami, dan para kepala keluarga untuk menonton
film Kartini bukan tanpa tujuan, saya ingin kawan-kawan dan bapak-bapak ini
bisa mengambil pelajaran bagaimana ayah Raden Ajeng Kartini memberikan ruang
kepada anaknya untuk menjadi orang berpendidikan, punya semangat perubahan,
dan perhatian pada persoalan di lingkungannya.
Mengapa demikian?
Bagi saya, perjuangan emansipasi Kartini kini sudah menjadi kenyataan.
Kesetaraan antara perempuan dan pria sudah bisa dinikmati bersama. Akses
perempuan terhadap pendidikan, dunia kerja, ekonomi, dan politik sudah sama.
Dalam hal prestasi juga sudah tidak kalah oleh kaum pria. Perempuan
berprestasi telah tersebar di berbagai sektor kehidupan.
Namun, yang
masih sering kita dengar dan saksikan adalah masih banyaknya kekerasan dalam
rumah tangga. Masih tingginya angka perceraian yang diakibatkan kegagalan
dalam membangun kebersamaan dalam rumah tangga. Kegagalan banyak orang dalam
membangun keluarga yang bahagia. Dalam hal inilah, kaum pria menjadi sangat
penting untuk belajar dari spirit perjuangan Kartini.
Kita semua
harus mulai melihat kaum perempuan bukan hanya dalam kacamata emansipatoris.
Tapi, juga melihat perempuan sebagai bagian penting dari upaya membentuk
keluarga bahagia dan sejahtera untuk menciptakan generasi baru yang lebih
baik. Keluarga yang mampu menginternalisasi nilai-nilai kamajuan bagi
anak-anak kita. Keluarga yang memberikan ruang kepada anak kita agar lebih
maju dari diri kita sekarang.
Belajar Perubahan
Pada akhirnya,
marilah kita jadikan Hari Kartini ini sebagai upaya kita belajar tentang
spirit perubahan. Perubahan tidak hanya untuk kaum perempuan. Tapi, juga
untuk keluarga kita, untuk masyarakat kita, dan bangsa kita. Perubahan menuju
kehidupan yang lebih baik. Perubahan yang berbasis pada nilai-nilai tradisi
yang baik dan menempatkan keluarga sabagai unit terkecil dalam komunitas
kita.
Perjuangan emansipasi Kartini rasanya sudah cukup kita nikmati
saat ini. Kini saatnya kita (kaum perempuan dan kaum pria) bergandengan
tangan untuk membangun keluarga yang baik dalam menciptakan generasi unggul.
Pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan akses pendidikan, mengurangi
angka kemiskinan, dan membantu keluarga kurang mampu dalam menggapai
kehidupan yang lebih sejahtera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar