Siapapun
yang Terpilih, Dialah Sang Gubernur
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan; Penulis;
Kini menjadi seorang profesional
di perusahaan Jepang di Indonesia
|
DETIKNEWS, 17 April 2017
Pilkada DKI kali ini sungguh melelahkan bagi banyak orang.
Uniknya, tidak hanya orang-orang warga DKI yang terlibat. Pilkada ini
melibatkan orang-orang dari seluruh penjuru tanah air. Tidak hanya secara
emosional, tapi juga secara fisik. Ada orang-orang yang mau datang ke
Jakarta, untuk terlibat dalam mengarahkan hasil pilkada ini. Kepentingannya
ada banyak. Orang-orang mendukung dengan keyakinan, tidak sekadar soal dunia,
tapi banyak dari mereka yang percaya bahwa pilkada ini berurusan dengan
soal-soal ketuhanan, yang menentukan bagaimana hidup mereka di akhirat kelak.
Kini kita sudah memasuki fase paling akhir dari proses
ini, yaitu pemilihan tahap kedua, tahap final yang akan menentukan siapa yang
akan jadi pemenang. Sang pemenang, sesuai konstitusi dan perangkat regulasi
di bawahnya. Harapan kita semua, ini benar-benar menjadi bagian paling akhir.
Apapun hasilnya, siapapun yang terpilih, harus kita terima dengan lapang
dada.
Mari kita kembalikan soal pilkada ini ke soal yang paling
dasar. Ini adalah pemilihan gubernur, dalam negara kesatuan Republik
Indonesia. Tugasnya jelas, sebagaimana dirumuskan melalui undang-undang,
yaitu menjadi kepala daerah. Ia ditugaskan menyelenggarakan pemerintah
daerah, melakukan pembangunan, berbekal anggaran yang diamanahkan melalui
APBD yang disusun bersama DPRD. Ini bukan pemilihan pemimpin agama, juga
bukan gubernur dalam suatu negara agama.
Kedua, ini pertarungan antar politikus. Ini bukan
pertarungan yang benar dan salah, juga bukan pertarungan hitam putih. Ini
boleh dibilang pertarungan abu-abu, karena tidak ada politikus hitam putih,
yang ada hanyalah politikus abu-abu. Ahok punya sejumlah keunggulan, pada
saat yang sama juga punya sejumlah kekurangan. Demikian pula halnya dengan
Anies. Mereka berdua adalah politikus, yang tujuannya adalah merebut
kekuasaan. Jadi, mereka berdua bukan pahlawan suci.
Coba perhatikan rekam jejaknya. Ahok itu mantan bupati. Ia
kemudian jadi anggota DPR. Lalu ia mencalonkan diri sebagai wakil gubernur,
dan menang. Ia berpindah-pindah partai untuk mendapatkan jabatan-jabatan itu.
Sama halnya dengan Anies. Ia pernah menjadi bakal calon presiden melalui
konvensi Partai Demokrat yang dipimpin oleh SBY. Pada pilpres 2014 ia berada
di kubu Jokowi, melawan Prabowo. Waktu itu ia banyak mencela Prabowo. Eh, 2
tahun kemudian ia datang untuk minta dukungan Prabowo. Intinya, mereka berdua
melakukan berbagai manuver dan intrik, untuk memenangkan kursi kekuasaan.
Jadi, fantasi soal pilkada yang terhubung dengan surga,
ketegangan-ketegangan yang terjadi selama ini, semua itu adalah produk hasil
olahan politikus saja. Nanti kalau mereka terpilih, mereka tak menjamin kita
masuk surga. Juga tak membuat kita masuk neraka. Surga atau neraka kita
ditentukan oleh amal sepanjang hidup.
Ada politikus yang menggunakan kekuasaannya untuk
membangun hal-hal bermanfaat untuk rakyat. Ada pula yang sibuk memperkaya
diri, termasuk dengan cara-cara yang korup. Kabar baiknya adalah, baik Ahok
maupun Anies, sejauh ini tidak termasuk dalam golongan korup itu. Jadi,
sebenarnya, siapapun yang menang dalam pilkada kali ini, menguntungkan bagi
rakyat DKI.
Jadi, soal pilkada ini adalah soal selera belaka. Kita
memilih berdasar pertimbangan-pertimbang logis maupun tak logis. Orang lain
memilih berdasar pertimbangan mereka sendiri pula. Mari kita saling
menghormati. Pemenang pilkada adalah orang yang didukung lebih banyak
pemilih, berdasar pertimbangan-pertimbangan tadi. Artinya, dia lebih disukai.
Yang memilih, ternyata pilihannya kalah, harus menerima kekalahan itu.
Setelah ini, suka atau tidak, kita akan mendapatkan
pemimpin. Ia bertugas melaksanakan amanat tadi. Kita, suka atau tidak, harus
mendukungnya. Artinya, semua kebijakan yang ia buat, regulasi yang ia
keluarkan, harus kita patuhi. Bila kita tidak setuju, kita bisa menempuh
jalur hukum, yaitu PTUN. Bila ia melanggar UU, kita bisa mengusahakan agar ia
diberhentikan. Di luar mekanisme itu, kita tidak bisa mengelak dari posisi sebagai
rakyat.
Jadi tidak ada ceritanya seorang rakyat DKI menolak
gubernur, dengan alasan apapun. Toh, penolakannya juga tidak mempengaruhi
keabsahannya sebagai gubernur. Hal lain, kita bisa mengritik kebijakan
gubernur. Tapi mengritik tidak membuat kita lepas dari keterikatan terhadap
kebijakan itu. Ini semua, tentu saja, berlaku bagi semua warga DKI. Adapun
yang bukan warga DKI, maaf saja, kalian cuma penggembira, laksana pemandu
sorak di lapangan olah raga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar