Investigasi
Allan Nairn :
Ahok
Hanyalah Dalih untuk Makar
Allan Nairn ; Jurnalis investigasi Amerika
|
TIRTO.ID, 19 April 2017
Laporan aslinya dirilis pertama kali di The Intercept berjudul: “Trump's Indonesian Allies in
Bed with ISIS-Backed Militia Seeking to Oust Elected President”
Rekan-rekan
Donald Trump di Indonesia telah bergabung bersama para tentara dan preman
jalanan yang terindikasi berhubungan dengan ISIS dalam sebuah kampanye yang
tujuan akhirnya menjatuhkan Presiden Joko Widodo. Menurut beberapa tokoh
senior dan perwira militer dan intelijen yang terlibat dalam aksi yang mereka
sebut sebagai "makar", gerakan melawan Presiden Jokowi diorkestrasi
dari belakang layar oleh beberapa jenderal aktif dan pensiunan.
Pendukung
utama gerakan makar ini termasuk Fadli Zon, Wakil Ketua DPR-RI dan salah satu
penyokong politik Donald Trump; dan Hary Tanoesoedibjo, rekan bisnis Trump
yang membangun dua Trump Resort, satu di Bali dan satu di dekat Jakarta (di
Lido, Jawa Barat).
Laporan
tentang gerakan menjatuhkan Presiden Jokowi ini disusun berdasarkan sejumlah
wawancara dan dilengkapi dokumen dari internal tentara, kepolisian, dan intelijen
yang saya baca dan peroleh di Indonesia, juga dokumen Badan Keamanan Nasional
AS (NSA) yang dibocorkan Edward Snowden. Banyak sumber dari dua belah pihak
yang berbicara tanpa mau disebutkan namanya. Dua dari mereka mengungkapkan
kekhawatiran atas keselamatan mereka.
Usaha Makar
Protes
besar-besaran muncul menjelang Pilgub DKI Jakarta 2017. Mereka menuntut
petahana Gubernur Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama dipenjara
atas tuduhan penistaan agama. Dengan pendanaan yang baik dan terorganisir,
demonstrasi berhasil mengumpulkan ratusan ribu di jalanan Jakarta.
Dalam
perbincangan dengan tokoh-tokoh kunci gerakan perlawanan terhadap Ahok,
diketahui kasus penistaan agama ini hanya dalih untuk tujuan yang lebih
besar: menyingkirkan Joko Widodo dan mencegah tentara diadili atas peristiwa
pembantaian sipil 1965—pembunuhan massal oleh militer Indonesia dan didukung
pemerintah AS. Aktor utama dalam 'serangan pembuka' yang berperan sebagai
penyuara dan pendesak adalah Front Pembela Islam (FPI), yang diketuai Rizieq
Shihab. Bersama Rizieq, dalam rantai komando, ada juru bicara dan Ketua
Bidang Keorganisasian FPI, Munarman, serta Fadli Zon.
Munarman, yang
sempat terekam hadir dalam pembaiatan massal kepada ISIS dan Abu Bakar
al-Baghdadi, adalah pengacara yang bekerja untuk Freeport McMoran, yang saat
ini dikendalikan oleh Carl Icahn, sahabat Donald Trump. Meski koneksi Trump
tampak penting dalam plot makar ini, belum diketahui apakah Trump atau Icahn
punya hubungan langsung. Sementara Munarman tidak menanggapi permintaan
komentar untuk artikel ini.
Arsip Edward
Snowden menyimpan banyak dokumen terkait FPI. Termasuk di dalamnya dokumen
yang menuliskan bahwa kepolisian Republik Indonesia tak berani menangkap FPI
karena takut serangan balik, dan dokumen lain yang memaparkan FPI adalah
cabang dari Jemaah Islamiyah, jaringan jihad yang terlibat dalam Bom Bali
tahun 2002, dan dokumen pengiriman senjata api dari Kepolisian Republik
Indonesia untuk latihan anggota FPI Aceh. NSA dan Gedung Putih tak merespons
tulisan ini.
Sementara
gerakan protes besar-besaran yang digelar FPI berlangsung selama enam bulan
terakhir, saya mendapatkan informasi yang rinci dari lima laporan internal
intelijen Indonesia. Laporan-laporan itu disusun oleh tiga agen pemerintah
Indonesia. Seluruhnya dikonfirmasi oleh sedikitnya dua tokoh militer,
intelijen, atau staf istana.
Salah satu
laporan menyatakan bahwa gerakan ini sebagian didanai Tommy Soeharto—anak
diktator Soeharto—yang pernah masuk bui gara-gara menembak mati hakim yang
memvonisnya bersalah. Sumbangan finansial Tommy juga diakui oleh Jenderal
(Purn) Kivlan Zen. Kivlan sendiri, yang membantu FPI memimpin protes
besar-besaran di Jakarta pada November 2016, sedang menghadapi ancaman
penjara dengan tuduhan makar. Ia juga bekas pemimpin tim kampanye Prabowo
dalam pemilu 2014.
Laporan lain
menyatakan sebagian dana berasal dari Hary Tanoe, miliuner rekanan bisnis
Donald Trump. Para tokoh penting gerakan protes itu—beberapa di antaranya
saya temui pada Jumat silam (14/4)—berkali-kali menekankan kepada saya bahwa
Hary adalah salah satu pendukung mereka yang terpenting. Mereka berharap Hary
dapat jadi penghubung antara Prabowo dan Trump.
Manimbang
Kahariady, seorang pejabat Partai Gerindra, mengaku ia berjumpa Hary tiga
hari sebelum pertemuan kami. Ia dan tokoh-tokoh gerakan yang lain yakin bahwa
Hary memberitahu Trump mengenai pentingnya mendukung mereka dan menyingkirkan
lawan-lawan mereka, dan itu dimulai dari Ahok.
Tommy Soeharto
tak dapat dihubungi untuk dimintai keterangan. Harry Tanoe menolak
berkomentar.
Laporan ketiga
menyatakan sebagian dana gerakan FPI berasal dari mantan presiden dan
Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)—informasi yang membikin
jengkel Presiden Jokowi ini terbongkar kepada khalayak dan kemudian
ditanggapi SBY dalam mode marah. SBY langsung menyatakan itu dusta belaka dan
pemerintah telah menjahatinya dengan cara menyadap teleponnya.
Tujuh staf
intelijen/militer aktif dan pensiunan menyatakan kepada saya bahwa SBY memang
menyumbang untuk aksi protes FPI, tetapi menyalurkannya secara tidak
langsung. Salah satu informan tersebut adalah Laksamana (Purn) Soleman B.
Ponto—bukan pendukung gerakan makar—mantan Kepala Badan Intelijen Strategis
(BAIS) dan penasihat aktif Badan Intelijen Negara (BIN). "SBY menyalurkan
bantuannya lewat masjid dan sekolah," kata Soleman.
Hampir semua
pensiunan tentara dan sebagian tokoh militer, menurut Soleman, mendukung
tindakan SBY tersebut. Ia mengetahui hal ini karena—selain keterlibatannya di
dunia intelijen—jenderal-jenderal pro makar adalah rekan dan kawan-kawannya,
banyak di antara mereka berhimpun dalam grup WhatsApp "The Old
Soldier".
Menurut
Soleman, para pendukung gerakan makar di kalangan militer menganggap Ahok
cuma pintu masuk, gula-gula rasa agama buat menarik massa.
"Sasaran
mereka yang sebenarnya adalah Jokowi," katanya.
Caranya tentu
bukan serangan langsung militer ke Istana Negara, melainkan "kudeta
lewat hukum", mirip-mirip kebangkitan rakyat yang menggulingkan Soeharto
pada 1998. Hanya, kali ini publik tidak berada di pihak pemberontak—dan
tentara nasional Indonesia, alih-alih melindungi Presiden, lebih senang ikut
menggerogotinya.
"Makar
ini bakal kelihatan seperti pertunjukan People Power," ujar Soleman.
"Tetapi karena semuanya sudah ada yang mengongkosi, militer tinggal
tidur," dan presiden sudah terjengkang saat mereka bangun.
Skenario lain:
Aksi-aksi protes yang dipimpin FPI bakal menggelembung kelewat besar,
membikin Jakarta dan kota-kota lain kacau-balau, lalu militer datang dan
menguasai segalanya atas nama menyelamatkan negara. Kemungkinan penuh
kekerasan ini dibicarakan secara rinci oleh Muhammad Khaththath, Sekjen Forum
Umat Islam, dan Usamah Hisyam saat saya bertemu mereka Februari lalu (Usamah
adalah penulis biografi SBY berjudul SBY: Sang Demokrat).
Lebih dari
urusan keagamaan, menurut mereka, masalah terbesar Indonesia saat ini adalah
komunisme gaya baru, dan militer harus siap turut campur dan menggembalakan
keadaan karena Indonesia belum cukup dewasa untuk demokrasi. Jokowi, kata
mereka, menyediakan lahan bagi komunisme dan satu-satunya organisasi yang
cukup kuat buat menghadapi komunisme ialah tentara nasional.
Mereka mengaku
sudah punya daftar orang-orang komunis di Dewan Perwakilan Rakyat dan
pemerintah yang mereka incar. Di lapangan, mereka mengikuti panduan taktik
dan strategi dari seorang jenderal antikomunis yang bekerja bersama mereka.
Tentara hanya mungkin ikut campur bila ada kekacauan. Dalam keadaan damai,
mereka tak dapat berbuat apa-apa.
Khaththath dan
Usamah berkata kepada saya bahwa mereka tidak menginginkan pertumpahan darah.
Mereka ingin kudeta damai, tetapi juga menekankan, dalam beberapa pekan ke
depan, bakal ada revolusi oleh umat. Istana ketakutan, kata mereka.
Setelah
Khaththath ditangkap polisi dengan tuduhan makar, Usamah mengirimkan pesan
kepada saya bahwa kini ia mengambil kendali perjuangan di
lapangan—sebagaimana peran Khattath
setelah imam besar FPI Rizieq Shihab digembosi skandal seks dan
masalah-masalah lain.
1965, Lagi
Segera setelah
wawancara kami selesai, saya menerima dokumen dari seorang perwira militer,
yang bisa dianggap sebagai template untuk komentar-komentar Khaththath dan
Usamah tentang aksi-aksi jalan. Berjudul “Analisis Ancaman Komunis Gaya Baru
di Indonesia”, dokumen ini ialah rangkaian salindia powerpoint yang digunakan
sebagai materi pelatihan ideologis di tangsi-tangsi militer seantero
Indonesia.
Komunisme Gaya
Baru, disingkat KGB, adalah sebuah konsep yang mengisahkan ancaman komunis
melalui cerita-cerita tentang sosok Stalin, Pol Pot, dan Hitler—dan tampaknya
ancaman ini cukup luas sampai-sampai mencakup siapa pun yang mengkritik TNI.
Mengacu pada
kebijakan yang dituding berwatak komunis seperti “program kesehatan dan
pendidikan gratis,” dokumen itu mencela “pluralisme dan keragaman dalam
sistem sosial” sebagai ancaman khas “KGB” yang sedang pasang di Indonesia.
Dengan menggunakan teknik penilaian ancaman (threat assessment techniques)
yang diambil dari nukilan-nukilan doktrin dan teks intelijen Barat—kadang
ditulis dalam bahasa Inggris—dokumen ini memperingatkan kaum komunis “sedang
memisahkan tentara dari rakyat” dan “memanfaatkan isu-isu hak asasi manusia
dan demokrasi, seraya memosisikan diri sebagai korban demi meraih simpati.”
Pernyataan
tentang korban-korban pelanggaran HAM jelas merujuk pada tokoh-tokoh seperti
Munir Said Thalib, teman saya, seorang pembela keadilan sosial yang brilian,
yang dibunuh pada 2004 dengan dosis besar arsenik yang menyebabkan ia muntah
sampai mati dalam sebuah penerbangan ke Amsterdam; atau korban pembantaian
1965 yang berjumlah sekitar satu juta warga sipil, yang dibunuh oleh tentara
dengan dukungan AS dalam rangka mengonsolidasikan kekuasaan setelah percobaan
kudeta.
Ihwal
pembantaian 1965 muncul ketika saya berbincang dengan Jenderal (Purn) Kivlan
Zen, yang mengatakan jika Jokowi menolak tunduk pada keinginan tentara,
taktik serupa bisa dikerahkan lagi.
Sebagaimana
banyak pejabat yang sempat berbincang dengan saya, Kivlan menyatakan gerakan
jalanan yang didukung tentara dan krisis saat ini buntut dari Simposium 1965,
yang memungkinkan penyintas dan keturunan korban '65 untuk membicarakan
secara terbuka atas apa yang telah menimpa mereka dan menceritakan bagaimana
orang-orang yang mereka cintai meninggal.
Bagi sebagian
besar tentara, simposium itu adalah kekurangajaran yang tak bisa diterima dan
dengan sendirinya menjustifikasi gerakan kudeta. Seorang jenderal mengatakan
kepada saya, yang paling membuat marah rekan-rekannya adalah karena simposium
itu “menyenangkan korban.” Simposium itu, tentu saja, tidak ada hubungannya
dengan Gubernur Ahok atau persoalan agama mana pun, melainkan soal tentara
dan kejahatannya.
“Kalau bukan
karena Simposium itu, gerakan seperti sekarang ini tidak akan ada,” kata
Kivlan. “Sekarang komunis sedang bangkit lagi,” keluh Kivlan. ”Mereka ingin
mendirikan partai komunis baru. Para korban '65, mereka semua menyalahkan
kami.... Mungkin kita akan lawan mereka lagi, seperti tahun '65.”
Saya terkejut
dengan pernyataan itu. Saya ingin memastikan saya tidak keliru mendengarnya.
“Bisa saja
terjadi, '65 bisa terulang lagi,” ulang Kivlan.
Alasannya?
“Mereka
mencari keadilan yang setimpal.”
Dengan kata
lain, Kivlan sedang membangkitkan momok baru pembantaian massal jika korban
tidak berusaha melupakan. Kivlan menjelaskan secara rinci mengapa kudeta '65
dibenarkan. Dia mengatakan presiden yang digulingkan, Sukarno, yang saat itu
‘ditawan’ oleh tentara, telah memberikan perintah kepada angkatan bersenjata
untuk mengambil alih kekuasaan. Dan parlemen telah “menyerahkan kekuasaan”
kepada Angkatan Bersenjata.
Saya bertanya,
mungkinkah itu terjadi lagi sekarang?
“Bisa saja,”
jawabnya. “Tentara bisa bergerak lagi sekarang, seperti Soeharto di era itu.”
Kivlan
mengatakan kepada saya bahwa Juli lalu, setelah Simposium, Jokowi mengunjungi
markas TNI dan menyatakan kepada para jenderal yang berkumpul saat itu bahwa
“ia tidak akan meminta maaf kepada PKI.”
“Jika Jokowi
tetap berada di jalur itu"—sikap tidak meminta maaf—"Dia tidak akan
digulingkan. Dia akan selamat. Tapi jika dia meminta maaf: [dia] Selesai,
tamat,” kata Kivlan.
Saya ingin
memastikan kembali apakah dia benar-benar mengatakan bahwa tentara akan
bertindak seperti di tahun '65 lagi.
“Ya, untuk
mengamankan situasi, termasuk seperti tindakan di tahun '65.”
“No say
surrender,” pungkasnya, dalam bahasa Inggris.
Meskipun
Kivlan dipandang sebagai golongan yang cenderung ideologis di antara para
jenderal, perlu dicatat bahwa banyak rekannya mulai kasak-kusuk menggulingkan
Jokowi sekalipun Jokowi tidak meminta maaf. Dalam hal ini, Kivlan termasuk
dalam sayap moderat. Yang luar biasa, usulan minta maaf kepada korban
ternyata cukup membuat para jenderal kebakaran jenggot untuk menggulingkan
presiden.
Kivlan sering
disebut-sebut sebagai salah satu orang yang berjasa menciptakan FPI setelah
Soeharto jatuh. Dalam percakapan kami, Kivlan membantah ikut bertanggung
jawab merancang FPI, tapi dia terus membahas secara rinci bagaimana kelompok
tersebut hanyalah salah satu contoh yang lebih luas dari strategi tentara dan
polisi untuk menciptakan kelompok-kelompok sipil binaan—yang kadang
bercirikan Islam, kadang tidak—yang dapat digunakan untuk menyerang para
pembangkang seraya mencuci tangan aparat.
Kivlan
menyatakan bahwa beberapa hari sebelum demonstrasi besar-besaran di Jakarta
pada 4 November 2016, ia menerima pesan teks dari Mayjen (Purn) Budi Sugiana
yang memintanya “untuk ikut serta dan mengambil alih gerakan 411.”
Misinya, kata
Kivlan, “untuk menyelamatkan Indonesia,” dengan bergabung bersama pemimpin
FPI Habib Rizieq di atas mobil komando selama demonstrasi, karena “mereka
butuh orang untuk mengambil alih massa [di luar istana], seandainya [Rizieq]
ditembak dan mati.”
Pada Desember
2016, Kivlan ditangkap polisi atas tuduhan menggulingkan Jokowi. Namun,
ketika kami berbincang pada akhir Februari, dia tetap saja bebas dan bahkan
melancong ke luar negeri. Dia malah menyatakan sedang melaksanakan suatu misi
untuk Jenderal Gatot Nurmantyo, Panglima TNI saat ini, yakni berupaya
membebaskan para sandera Indonesia di Filipina.
Soal
pertanyaan siapa yang diam-diam membekingi gerakan tersebut dan siapa yang
betulan “komunis”, Kivlan berbicara secara on-the-record dan off-the-record,
secara persis dan umum. Karakterisasinya atas sikap kawan-kawannya sesama
jenderal sangat berkaitan erat dengan sikap aparat lain yang banyak
diceritakan orang. Namun, tidak seperti kebanyakan dari mereka, Kivlan
mengatakannya secara on-the-record.
“Begitu banyak
pensiunan militer—dan yang masih aktif dalam militer—yang bersama FPI ...
Karena FPI pun bertujuan melawan komunis.”
Setelah apa
yang dia bicarakan tentang penggulingan Jokowi dan mengambil tindakan seperti
pada tahun '65, saya bertanya: Apakah Jenderal Gatot—Panglima TNI saat
ini—setuju?
"Dia
setuju!"
Tapi dia pun
menambahkan, sebagai perwira yang masih aktif, Gatot harus “sangat
berhati-hati” mengambil sikap di depan publik.
Pernyataan
on-the-record Jenderal Kivlan tentang peran Gatot konsisten dengan
jenderal-jenderal lain dan para penggerak kudeta, serta dengan pernyataan
yang diduga bersumber dari Presiden Jokowi sendiri. Saya pun bertanya kepada
seorang pejabat yang memiliki akses rutin ke presiden tentang klaim yang
dilontarkan Jokowi, “Apakah Gatot merupakan faktor utama dalam kudeta
tersebut?” Pejabat itu menjawab, ya, presiden mengatakan itu, dalam pertemuan
tertutup. Gatot tidak merespons permintaan tanggapan untuk artikel ini.
Mengenai bos
lamanya, Prabowo, Kivlan berkata: "Dia tak mau dekat-dekat, tetapi dia
terlibat melalui Fadli Zon." Prabowo akan kesulitan jika terlihat mesra
dengan gerakan itu. Sedangkan mengenai menteri pertahanan Ryamizard Ryacudu,
Kivlan bilang "hatinya setuju dengan tujuan kami, tetapi tidak dapat
bicara."
Kivlan memuji
cara Wiranto menempatkan diri. "Wiranto bagus," katanya,
"karena dia mau bikin harmoni dengan gerakan" dan memperjuangkan
kepentingan mereka dalam kapasitasnya selaku Menteri Koordinator Politik,
Hukum, dan Keamanan.
Kivlan
menambahkan bahwa Wiranto, yang terancam dakwaan kejahatan perang di Timor
Leste, punya rencana bagus untuk perkara genting yang dihadapi tentara. Ia
mendesak Jokowi supaya "tak ada pengadilan HAM."
Elegannya
strategi mendorong kudeta itu adalah militer akan menang sekalipun kudeta
gagal. Meski Jokowi tetap menjabat presiden, para jenderal akan aman—menurut
mereka—dari pengadilan HAM. Sebab, untuk menyingkirkan segerombolan pembunuh,
presiden harus merangkul kumpulan jenderal yang tak kalah bengisnya.
Yang terdepan
di antara mereka adalah A.M. Hendropriyono, mantan Kepala BIN dan aset CIA,
yang terlibat dalam pembunuhan Munir serta serangkaian kejahatan besar lain.
Sepanjang krisis ini, orang-orang Hendro-lah (tentara, intelijen, polisi,
sipil) yang mengepalai benteng pelindung Jokowi. Orang-orang Hendro-lah yang
mengatur penangkapan-penangkapan atas nama kudeta dan memincangkan Rizieq
Shihab dengan skandal bokep, juga menghajar sumber-sumber dana gerakan dengan
tuduhan pencucian uang ISIS.
Gantinya,
Hendro dan konco-konconya memperoleh jaminan kekebalan dari peradilan. Dan
dalam aturan aparat, jika mereka aman, semua orang aman. Ada persetujuan diam-diam
untuk menolak persekusi terhadap rekan, sekalipun jika kedua pihak
bermusuhan.
Pada Februari
2017, di bawah tekanan istana, pengadilan administrasi Jakarta menyatakan
bahwa pemerintahan Jokowi bisa menghindari kewajiban hukum merilis laporan
tim pencari fakta yang secara terbuka membahas tanggung jawab Hendropriyono
dalam perkara pembunuhan Munir. Janda Munir, Suciwati, dan Haris Azhar dari
Kontras, mengecam vonis itu dan menyebutnya sebagai usaha "melegalkan
kriminalitas".
Dengan gaya
yang mirip, gerakan kudeta juga telah membantu Freeport. Sejak tahun lalu,
pemerintah Jokowi berupaya menulis ulang kontrak negara dengan Freeport dan
mengembalikan hak ekspor mereka. Pada saat yang sama, pemerintah diguncang
oleh gerakan yang dipimpin pengacara yang bekerja untuk Freeport.
Pada awal
April, setelah gerakan permulaan yang polisi klaim sebagai empat upaya
merebut DPR dan Istana, pemerintahan Jokowi mengejutkan dunia politik
Indonesia dengan tiba-tiba menyerah kepada Freeport dan memberi lampu hijau
ekspor tembaga baru. Mundur tiba-tiba tidak membuat sengketa selesai—lebih
dalam lagi, isu mengenai kontrak masih tersisa—tetapi, seperti yang dikatakan
pejabat Jokowi kepada saya, pemerintah saat ini merasa posisinya melemah.
Dalam sebuah
cerita yang berjudul lucu, “Freeport mendapat karpet merah, sekali lagi,” The
Jakarta Post menulis: “Pemerintah berusaha membela keputusannya, meskipun
tidak ada dasar hukum yang membelakanginya ... Freeport dinilai telah
menghindari peluru lagi.”
Wakil Presiden
Amerika Serikat Mike Pence akan mengunjungi Indonesia pada 20 April.
Staf-staf pemerintahan Jokowi menduga, berbisik-bisik, bahwa
tuntutan-tuntutan Freeport akan jadi prioritas utamanya. Salah seorang tokoh
gerakan, dalam pertemuan kami Jumat lalu, menatap saya dan berseru:
"Pence bakal mengancam Jokowi soal Freeport!"
Freeport
Indonesia tidak menanggapi permintaan konfirmasi.
Dalih Penistaan Agama
Kivlan Zen
mengejutkan saya ketika menyatakan bahwa Gubernur Ahok telah memberi “sebuah
berkah” kepada gerakan tersebut dengan "keseleo lidahnya" terkait
Al-Maidah ayat 51.
Dalam
penampilan mereka di muka publik, para pemimpin gerakan diharuskan mengklaim
mereka selamanya terluka oleh ucapan Ahok. Tapi salah satu dari mereka,
dengan senyum simpul, mengakui secara strategis pernyataan Ahok itu mereka
terima dengan senang hati, karena ia memungkinkan FPI dan para sponsornya
menggeser perimbangan kekuasaan di Indonesia, melesatkan reputasi mereka dari
preman jalanan menjadi pakar agama.
Lebih dari
itu, saat saya duduk dengan Usamah dan para pimpinan gerakan lain, yang
dengan setengah bercanda ia sebut sebagai "politbiro", mereka
secara santai berdebat tentang boleh tidaknya nonmuslim memimpin umat Islam.
Mereka melakukan itu ketika mendiskusikan Hary Tanoe, yang secara berlebihan
mereka puji sebagai pendukung utama gerakan mereka—melalui bantuan dana
langsung dan stasiun televisinya, yang kena tegur KPI karena bias politik
yang terlalu pro-gerakan secara tak wajar dan ketidakakuratan dalam pemberitaan—dan
garis hidup yang mereka bayangkan terhubung dengan Presiden Donald Trump.
Mereka yang
berada di ruangan itu satu suara menginginkan pemerintahan Prabowo-Hary
Tanoe, Hary sebagai presiden dan Prabowo sebagai wakil, atau sebaliknya,
tergantung poling.
Persoalannya, dan sepertinya tidak terlalu mengusik mereka, Hary
adalah seorang China-Kristen seperti Ahok. Apabila standar yang mereka
tetapkan kepada Ahok dipegang teguh, seharusnya Hary tidak masuk kualifikasi
untuk memimpin Jakarta, apalagi Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar