Reforma
Agraria, Jalan Baru Jokowi
Bernhard Limbong ; Doktor Hukum Pertanahan Unpad, Bandung
|
MEDIA
INDONESIA, 27 April 2017
TANAH
tidak boleh menjadi alat penghisapan. Tanah untuk tani! Tanah untuk mereka
yang betul-betul menggarap tanah! (Ir Soekarno, Proklamator dan Presiden pertama
RI) Presiden Joko Widodo (Jokowi) menempatkan reforma agraria atau landreform
sebagai salah satu program unggulannya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Konkretnya, reforma agraria menjadi strategi atau 'jalan baru' Jokowi untuk
mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, mengurangi pengangguran,
mempersempit kesenjangan sosial ekonomi. Hal itu sangat jelas dalam Nawacita
butir kelima dari sembilan agenda prioritas. Ketimpangan penguasaan sumber
daya agraria memang menjadi persoalan krusial sejak Indonesia merdeka,
terutama sejak era investasi di awal Orde Baru. Data Bank Dunia menyebutkan
10% orang terkaya Indonesia menguasai 77% dari total kekayaan di Indonesia.
Laporan data perusahaan manajemen investasi global Credit Suisse 2014
menunjukkan 1% kelompok terkaya Indonesia menguasai 50,3% dari total aset
uang dan properti di Indonesia.
Presiden
akan mewujudkan landreform dengan meredistribusi 12,7 juta hektare (ha) lahan
kepada rakyat melalui masyarakat hukum adat dan koperasi-koperasi di Tanah
Air. Landreform, menurut Jokowo, merupakan salah satu strategi dalam
merealisasikan sistem ekonomi Pancasila yang menghadirkan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat. Untuk itu pemberian konsesi pada koperasi menjadi wujud
pemerataan kesempatan pengelolaan lahan yang selama ini lebih banyak
dinikmati segelintir kalangan. Objek tanah yang diproyeksikan untuk dibagikan
kepada rakyat ialah tanah-tanah telantar milik BUMN dan BUMS. Pertanyaannya,
mampukah Jokowi mewujudkan ambisinya meredistribusi 12,7 juta ha lahan kepada
rakyat yang tidak memiliki lahan atau yang hanya memiliki lahan kurang dari
0,3 ha per orang? Faktanya, landreform yang dijanjikan sejauh ini berjalan
sangat lambat. Realisasinya sampai dengan hari ini, baru mencapai 36 ribu
hektare atau kurang dari 1%. Sementara itu, dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 sebagai produk turunan dari visi Nawacita
Jokowi, redistribusi lahan ditargetkan mencapai 4,5 juta ha selama 2015-2019.
Dalam Nawacita butir kelima disebutkan landreform untuk 9 juta hektare. Jika
tak ada terobosan-terobosan cerdas dan berani, era Jokowi tidak lebih baik
ketimbang era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dalam
10 tahun, redistribusi lahan yang ditargetkan seluas 8,1 juta ha, yang terealisasi
hanya 430 ribu ha atau 5,3%.
Butuh nyali besar
Mewujudkan
reforma agraria di era liberalisasi tanah dewasa ini sungguhlah perkara
besar. Ketimpangan penguasaan lahan yang demikian besar dan regulasi yang
tidak memadai menuntut keberanian luar biasa dari seorang presiden selaku
pemimpin eksekutif sekaligus kepala negara. Paling tidak, keberanian terkait
dua aspek. Pertama, keberanian mengeluarkan kebijakan. Redistribusi lahan
hanyalah salah satu agenda dalam reforma agraria. Pada saat yang sama, pemerintah
juga harus berani mewujudkan keadilan ruang dan keadilan sektor melalui
kebijakan pengendalian monopoli lahan dan perlindungan aset. Perlu keberanian
ekstra juga untuk menyerahkan tanah-tanah yang subur untuk petani. Tidak
sekadar tanah-tanah 'telantar'. Keberanian kedua, penguatan kelembagaan
reforma agraria dan politik anggaran yang dikombinasikan dengan kecerdasan
para pembantu Presiden mencari skema atau pola lain untuk menyukseskan agenda
reforma agraria. Penguatan kelembagaan reforma agraria antara lain dengan
menaikkan status Kementerian Agraria/BPN setingkat kementerian koordinator
yang berada langsung di bawah komando Presiden.
Mengapa?
Sebab, reforma agraria tidak akan berhasil jika tidak diikuti pendanaan yang
memadai untuk modal, ketersediaan infrastruktur dasar dan penunjang,
pemakaian teknologi tepat guna, dan pelatihan bagi mereka yang mendapatkan
program reforma agraria. Tanpa semua itu, reforma agraria akan mengalami
nasib serupa dengan agenda transmigrasi pada era Orde Baru, terutama dengan
program inti plasma yang secara umum gagal. Keberhasilan realisasi reforma
agraria sangat tergantung pada sinergitas dan kesigapan sejumlah kementerian
dan lembaga terkait dengan Kementerian Agraria/BPN sebagai ujung tombak yang
ditopang oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup serta Kementerian
Desa, Transmigrasi, dan Daerah Tertinggal. Dalam realisasinya, Presiden harus
memastikan bahwa program kementerian dan lembaga terkait lainnya harus
sinkron dengan agenda reforma agraria. Beberapa kementerian dan lembaga lain
yang ikut menentukan ialah Kementerian PU dan Perumahan Rakyat, Kementerian
Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Tenaga Kerja,
Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan
UKM, Bulog, Kementerian Keuangan, Kementerian Pendidikan, dan Kementerian
Kesehatan.
Belajar dari Amerika Latin
Keberanian
ketiga, mengeluarkan regulasi yang kuat dan pasti. Hingga kini Peraturan
Presiden tentang Reforma Agraria tak kunjung terbit. Sebaliknya, untuk
kebutuhan ekspansi konglomerasi, pemerintah meluncurkan serial paket
kebijakan ekonomi secara masif. Presiden bahkan perlu mendorong DPR untuk
membuat Undang-Undang Reforma Agraria sebagai undang-undang turunan dari
'undang-undang induk', yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang sampai sekarang masih berlaku. Dalam
UU Reforma Agraria itu harus tercantum jelas kelembagaan yang bertanggung
jawab atas keberhasilan reforma agraria. Sebutlah Kementerian Agraria/BPN
sebagai leading sector. Tak ada salahnya kalau kita belajar dari kisah sukses
reformasi agraria di Venezuela. Sebelum 1998, terjadi kondisi ketimpangan
penguasaan/kepemilikan tanah yang tergambar dari struktur berikut: 5% tuan
tanah dan perusahaan besar mengusai 75% tanah, sedangkan 75% petani kecil
hanya menguasai 6% tanah.
Pada
1998, tokoh reformasi yang progresif Hugo Chavez terpilih menjadi presiden.
Pada 1999, ia menjadikan reformasi agraria sebagai agenda mendesak. Chavez
memulainya dengan mendorong pembuatan konstitusi baru melalui jalur
referendum pada 1999. Lahirlah Konstitusi Bolivarian, yang menjamin hak kaum
tani atas tanah. Negara juga diwajibkan menyerahkan tanah-tanah subur dan
produktif untuk dikelola rakyat demi ketahanan pangan. Dalam Pasal 306
Konstitusi Bolivarian ditulis, "Negara akan mempromosikan kondisi untuk
pembangunan desa secara holistik, dengan maksud menghasilkan lapangan
pekerjaan dan menjamin kesejahteraan kaum tani, dengan menggabungkannya dalam
pembangunan nasional." Sebagai turunan dari Konstitusi Bolivarian, pada
13 November 2001, terbitlah 49 paket UU yang didekritkan Chavez, termasuk UU
Tanah yang baru yang menghapus ketidakadilan kepemilikan tanah sekaligus
menyiapkan produksi pangan demi menjamin ketahanan pangan. Sejumlah kebijakan
seperti pembangunan pabrik pengelolaan hasil pertanian, termasuk
nasionalisasi perusahaan pertambangan, dilakukan Chavez.
Proyek
reformasi agraria kemudian diserahkan kepada sebuah lembaga bernama Institut
Tanah Nasional. Hasilnya, pada periode 1998-2010, pemerintah Bolivarian
berhasil meningkatkan produksi pertanian nasional sebesar 44%, peternakan
nasional dengan 82%, dan jumlah tanah yang digunakan untuk budi daya mencapai
48%. Pada 2011, Venezuela juga mencatat bahwa perikanan dan hasil laut telah
meningkat 300% sejak tahun 1990-an. Di era modern ini, kisah sukses reforma
agraria Venezuela sungguh menarik untuk dipelajari. Chavez tampil pada 1998,
persis tahun itu kita meluncurkan reformasi. Pada 2001, ia mendekritkan 49
paket UU yang proreformasi. Pada tahun itu, Indonesia meluncurkan Ketetapan
MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam. Setelah 10 tahun lalu Chavez meluncurkan reformasi agraria, kini rakyat
(petani) Venezuela menikmati hasil yang mengagumkan. Lalu, kita? Kita masih
berjalan di tempat. Impor bahan kebutuhan pangan tetap tinggi. Harga-harga
produk pertanian melambung fluktuatif. Untuk itu, pihak terkait harus terus
berjuang mewujudkan reformasi agraria sebagai solusi memecahkan dua persoalan
besar sepanjang sejarah NKRI: menekan konflik agraria serendah-rendahnya dan
memperkuat ketahanan pangan nasional secara berkelanjutan. Upaya keras
Presiden Jokowi mewujutkan reformasi agraria hari ini sebenarnya sudah
diingatkan oleh Bung Karno enam dekade lalu ketika mengesahkan UUPA 1960,
"Revolusi Indonesia tanpa landreform sama saja dengan gedung tanpa alas,
pohon tanpa batang, omong besar tanpa isi!" ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar