Nasionalisasi
Tambang Asing
Junaidi Albab Setiawan ; Advokat; Pengamat Hukum Pertambangan;
Kandidat Doktor Ilmu Hukum UGM
|
KOMPAS, 21 April 2017
Freeport terus
menunjukkan kesaktiannya kepada Indonesia. Awalnya dimulai dengan ancaman
arbitrase jika tidak ditemukan titik temu yang menguntungkan baginya.
Kemudian disusul dengan surat Senator Negara Bagian Arizona John McCain
kepada Menteri Koordinator Kemaritiman RI. Dan, sebentar lagi akan hadir
Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence yang kehadirannya telah didahului
dengan pertemuan pendahuluan antara Duta Besar AS untuk Indonesia dan Menteri
Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan RI.
Kunjungan
Pence ke Indonesia sudah barang tentu tak melulu soal Freeport. Namun,
masalah itu diyakini akan menjadi agenda penting. Sudah menjadi ciri pada
setiap permasalahan Freeport yang mengundang polemik dan kegelisahan rakyat,
maka akan disusul dengan kehadiran orang-orang berpengaruh AS yang turun
tangan langsung. Dan, terbukti kini tekanan ini membuat Pemerintah Indonesia
melunak, kontroversi menjadi sepi, dan tidak lagi melihat Freeport sebagai
"Gajah ataupun Sapi". Belakangan negosiasi semakin intens
diselenggarakan, bahkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
mengabarkan telah terjadi kesepakatan.
Tekanan politik
Dari
pemberitaan media, Senator Arizona John McCain mengirim dua lembar surat
berkop USA kepada Menko Kemaritiman. Pada paragraf keempat, McCain
"menuduh" langkah Indonesia yang mewajibkan divestasi saham 51
persen sebagai bentuk nasionalisasi. Menurut dia, hal ini memiliki
konsekuensi pada sulit tercapainya investasi asing di Indonesia dan juga pada
hubungan ekonomi kedua negara pada masa datang. Tuduhan itu sangat tidak
beralasan dan dimungkinkan karena McCain mendapat informasi salah dari
agennya di Indonesia. Namun, surat itu justru mengonfirmasi kebenaran
sinyalemen cara berbisnis "ala USA" yang biasa menggunakan tekanan
kekuasaan.
Divestasi
jelas sangat berbeda dengan nasionalisasi. Divestasi adalah kesepakatan
bisnis melepaskan kepemilikan saham dengan cara dan dalam waktu yang
ditentukan dalam kesepakatan dan perundang-undangan. Pelepasan dilakukan
kepada masyarakat melalui penjualan langsung ataupun penawaran saham perdana
(initial public offering) secara bertahap hingga jumlah tertentu yang
disepakati. Aturan ini lazim bagi negara pemilik sumber daya alam (SDA) yang
dijamin deklarasi permanen PBB atas SDA 1962 (General Assembly Resolution
1803(XVII) of Permanent Sovereignity Over Natural Resources). Saat ini tata
cara divestasi diatur dalam UU Minerba Tahun 2009 dan Peraturan Menteri ESDM
No 9/2017.
Divestasi juga
tidak dilakukan serta-merta, tetapi melalui negosiasi dan bertahap. Tahapan
divestasi dimulai pada tahun keenam sebesar 20 persen, bertahap hingga pada
tahun ke-10 sebesar 51 persen dari seluruh saham. Penawaran saham dilakukan
secara berjenjang dengan mengutamakan kepentingan publik, dimulai kepada
pemerintah pusat, kepada provinsi dan kabupaten/kota setempat dan kepada BUMN
dan BUMD, dan terakhir badan usaha swasta nasional (BUSN).
Adapun
nasionalisasi adalah proses di mana negara secara paksa dan serta-merta
mengambil alih kepemilikan suatu perusahaan milik asing. Indonesia pernah
melakukan itu terhadap perusahaan-perusahaan Belanda. Keputusan itu diambil
lebih karena Belanda masih terus mengganggu kemerdekaan Indonesia, mengkhianati
kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB), dan melakukan agresi militer, serta
bersikeras menguasai Papua.
Saat itu
pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 23/1958 yang memaksa
perusahaan-perusahaan Belanda dinasionalisasi. Dimulai pada 9 Desember 1957,
Perdana Menteri Juanda memutuskan semua perusahaan pertanian Belanda,
termasuk harta benda tak bergerak dan tanah-tanah perkebunan, berada di bawah
pengawasan Pemerintah RI. Berbeda dengan situasi saat itu, saat ini
berdasarkan Pasal 7 (1) UU Penanaman Modal No 25/2007, Indonesia telah
menutup kemungkinan melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan modal asing.
Keganasan kapitalisme
Tuduhan McCain
barangkali dilatarbelakangi trauma atas kejadian yang menimpa
perusahaan-perusahaan AS di Venezuela dan Bolivia. Nasionalisasi Venezuela di
bawah Hugo Chavez seharusnya menjadi pelajaran bagi dunia. Arah kebijakan
suatu negara sangat bergantung kepada siapa pemimpinnya. Pemimpin bisa saja
mengambil posisi "membebek" kepentingan asing dan bisa juga muncul
dari dukungan penuh rakyat yang kecewa terhadap perilaku perusahaan kapitalis
yang menerapkan imperialisme gaya baru atas nama globalisasi dan melalui
agen-agennya menciptakan hegemoni politik dan kebergantungan.
Chavez
memiliki misi menghapus kesenjangan sosial yang dilahirkan oleh kapitalisme
asing yang membabi buta dan merugikan rakyat. Dengan kekuatan modalnya,
mereka berkembang hingga menguasai ekonomi, politik, dan mendikte kekuasaan;
pemerintah diposisikan sekadar "penjaga malam" yang represif. Bagi
Chavez, negaralah yang harus menjadi pengendali pemerataan kesejahteraan,
bukan pasar (rule market) (Achmad Syai Lubis, 2011). Akibatnya, pemerintahan
Chavez mengakuisisi saham mayoritas ExxonMobil dan ConocoPhillips (milik AS)
yang menguasai proyek minyak di Sungai Orinoco yang kaya migas. Dilanjutkan
menasionalisasi perusahaan telekomunikasi terbesar di Venezuela, CANTV,
dengan mengakuisisi saham Verizon Communications yang bermarkas di AS.
Di sektor
energi, pemerintahan Chavez mengambil alih AES Corp milik AS kepada
Electridad de Caracas. Di sektor pangan, Chavez menasionalisasi Cargill,
perusahaan penggilingan beras milik AS terbesar di Venezuela. Perusahaan
lainnya, Owens Illinois Inc, pembuat botol milik AS yang telah beroperasi di
Venezuela selama 52 tahun dan memiliki dua instalasi dan lebih dari 1.000
pegawai (Kompas, 28/10/2010).
Begitu pula di
Bolivia. Bolivia memiliki kekayaan alam yang melimpah berupa migas dan
minerba (mineral dan batubara). Namun, bertahun-tahun terus dikeruk oleh
kapitalisme asing dengan dukungan pemerintahan boneka dan hanya memberikan
sedikit manfaat bagi rakyat. Hingga pada 2002 terjadi protes atas kepemilikan
asing terhadap gas Bolivia. Namun, rezim neoliberal Bolivia menghadapinya
dengan kekerasan yang menewaskan 60-an pemrotes.
Maka, tampilah
Evo Morales yang disanjung sebagai pahlawan rakyat. Hanya tiga bulan setelah
dilantik, Morales mengeluarkan dekrit nasionalisasi sumber energi, air, dan
telekomunikasi di bawah kontrol negara (Kompas, 3/5/2012). Di Bolivia, dekrit
nasionalisasi tak mengarah pada pengambilalihan aset. Sebaliknya, pemerintah
hanya menuntut pajak yang lebih tinggi, renegosiasi kontrak, dan pembangunan
kembali perusahaan minyak dan gas negara. Ketentuan baru mengharuskan
kenaikan royalti 18 persen plus pajak 32 persen. Selain itu, renegosiasi
kontrak juga dilakukan terhadap 44 kontrak pertambangan. Bolivia tak
sepenuhnya mengusir perusahaan asing karena, menurut Morales, "Bolivia
menginginkan Mitra, bukan Tuan." (Kusno, 2012)
Dua contoh
penting yang terjadi tidak jauh dari AS itu seharusnya menjadi pelajaran
untuk lebih melihat permasalahan dengan hati nurani, bukan sekadar hitungan
untung rugi dari angka-angka mati. Nasionalisasi bukan terjadi tanpa sebab
dan terutama disebabkan sifat tamak dan rakus kapitalisme asing yang
mengabaikan keseimbangan dan menutup mata terhadap kondisi dan aspirasi
rakyat sebagai pemilik kekayaan alam itu.
Divestasi di Indonesia
Perusahaan-perusahaan
asing perlu lebih memahami nilai-nilai yang berkembang di Indonesia.
Ditimbang dari sisi mana pun, dalam masalah Freeport, Indonesia berada dalam
posisi dirugikan. Terlebih jika diingat wasiat Bung Karno, "Buat apa
merdeka, bila bangsaku hanya tetap jadi budak bagi asing, Indonesia
seharusnya untuk bangsa Indonesia, kemerdekaan adalah bagaimana menjadikan
manusia di dalamnya hidup terhormat dan terjamin kesejahteraannya".
Sayangnya, dalam mengelola pertambangan, sejak dahulu bangsa Indonesia sering
dihinggapi rasa tak berdaya karena lemah modal, keahlian, dan teknologi.
Menurut Mohammad Hatta, alasan semacam itu adalah ungkapan mental inferiority
complex, perasaan selalu merasa rendah diri dan tak mampu di hadapan bangsa
asing yang menghambat kemajuan.
Di awal
kemerdekaan sikap tegas dalam mengelola tambang dipelopori oleh Teuku
Muhammad Hasan, waktu itu ketua Komisi Perdagangan dan Industri DPRS 1951.
Penelitian Hasan menemukan, untuk menumpuk keuntungan, perusahaan-perusahaan
pertambangan sengaja curang dengan mempertinggi ongkos operasi secara tidak
wajar, membayar pajak dan royalti sekehendak mereka sehingga lahirlah
"Mosi Muhamad Hasan" yang disampaikan pada sidang DPRS 2 Agustus
1951.
Pada 13
September 1951 dibentuk Panitia Negara Urusan Pertambangan (PNUP) yang
berhasil menghapus peraturan pertambangan kolonial Indische Mijn Wet 1899
(IMW 1899) karena tidak sesuai lagi dengan asas-asas pemikiran bangsa
Indonesia dan melahirkan UU Pertambangan No 37/1960. Panitia juga tegas
menghapus kebijakan "Let alone Agreement" yang terlalu memberikan
kebebasan kepada perusahaan asing untuk mengeruk keuntungan, yang membuat
perusahaan "tiga besar" migas, Shell, Stanvac, dan Caltex, kalang
kabut.
Sejak merdeka,
Indonesia berpendirian segala bahan galian yang terdapat dalam wilayah
Indonesia adalah kekayaan nasional yang harus dikuasai negara dan hanya untuk
kemakmuran rakyat. Sikap itu menjadi pendirian konstitusi sekaligus cita-cita
berdirinya negara sehingga tidak mungkin diubah hanya karena tekanan politik
dan ancaman.
Divestasi
pertambangan di Indonesia bertujuan mulia dan dilandasi aturan ideal dan
praktis yang harus dipahami oleh investor asing dengan hati nurani. Dalam
tataran ideal, pertambangan di Indonesia dilandasi oleh sila kelima
Pancasila, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", dan
Pasal 33 (2) UUD 1945, "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat". Serta Pasal 33 (4), "Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional".
Ditambah TAP
MPR RI, Nomor IV/MPR RI/1999-2004, Bab IV H, untuk mendayagunakan SDA untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat yang pengusahaannya wajib diatur dengan UU.
Dalam tataran
praktis, semula pertambangan diatur dalam IMW 1899 peninggalan kolonial.
Selanjutnya diganti UU No 37 Prp 1960 tentang Pertambangan, kemudian UU No
1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, selanjutnya UU No 11/1967 tentang
Pokok-pokok Pertambangan, dan terakhir UU No 4/2009 tentang Minerba yang
ditunjang peraturan pelaksana lainnya.
Divestasi bukan hal baru bagi Indonesia sehingga tak perlu
terlalu dirisaukan sebagai nasionalisasi. Sinyal itu bahkan sudah ada di
Pasal 27 (1) UU PMA No 1/1967 yang mengatur perusahaan yang seluruh modalnya
adalah modal asing wajib memberikan kesempatan partisipasi bagi modal
nasional secara efektif setelah jangka waktu tertentu dan menurut imbangan yang
ditetapkan pemerintah. Agar tak salah menilai, pahami dulu pesan mulia yang
terkandung dalam aturan-aturan itu. Kontrak yang dahulu dibuat karena
keterbatasan dan keterpaksaan adalah episode awal dari proses sejarah menuju
kesempurnaan dan keseimbangan. Kontrak bisnis bukanlah kitab suci, kapan saja
bisa dikoreksi dan diluruskan dengan semangat saling menghargai. Karena
bisnis bukanlah alat penindasan, tetapi untuk saling menyejahterakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar