Serangan
Fisik Bagi KPK
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa,
Makassar
|
KORAN
SINDO, 18
April 2017
Lagi-lagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat
serangan yang kesekian kalinya. Sebelumnya KPK diserang melalui uji materi
(judicial review) UU Nomor 30/ 2002 tentang KPK untuk melemahkan wewenang,
serangan penetapan tersangka pimpinan dan pegawai KPK (kriminalisasi), dan
serangan legislasi merevisi UU KPK.
Kali ini pola serangan sudah meningkat kualitasnya, sudah
meningkat pada ”serangan fisik”. Novel Baswedan (11/4/ 2017), penyidik senior
KPK, diteror dengan disiram air keras di wajahnya (kedua mata) seusai
melaksanakan salat subuh oleh dua orang lelaki yang belum dikenal. Ini kali
pertama pimpinan atau pegawai KPK diserang secara fisik, tetapi kuat dugaan
terkait dengan kasus korupsi besar yang sedang ditangani. Jika dugaan itu
benar, berarti serangan ke KPK tak bisa disikapi secara biasa oleh negara
(pemerintah) seperti selama ini.
Jika pun pemerintah selalu tampil menyelesaikan dalam tiga
kali konflik KPK dengan kepolisian yang populer disebut ”seteru cicak-buaya”,
sebetulnya tidak benar-benar tuntas. Dua institusi penegak hukum itu belum
betul-betul menyatu dalam memberantas korupsi, terutama kalau KPK mencobacoba
lagi menyentuh oknum anggota Polri yang diduga terlibat kasus korupsi. Boleh
jadi itu yang membuat ”serangan balik” dari aspek lain, yaitu serangan
koruptor atau jejaringnya yang sangat sulit dibaca seperti pada jejaring
teroris yang begitu sigap diungkap.
Ideologi Koruptor
Serangan fisik kepada penyidik senior KPK merupakan aksi
teror yang nyaris sama dengan serangan teroris yang ditujukan kepada aparat
kepolisian. Kalau teroris menyerang aparat kepolisian karena selalu
menghalangi melaksanakan ”ideologinya”, tentu tidak jauh beda dengan serangan
koruptor atau jejaringnya kepada penyidik KPK. Koruptor juga punya ”ideologi”
yaitu ingin menghancurkan negara dengan menghambat pembangunan.
Uang negara yang akan digunakan menyejahterakan rakyat,
membangun infrastruktur jalan, sekolah, dan rumah sakit dikorup. Korupsi
merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang ditetapkan dalam
Konvensi Internasional PBB di Vienna, 7 Oktober 2013. United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC) bahkan mengklasifikasikan korupsi
sebagai kejahatan hak asasi manusia (human rights crime), dan kejahatan
kemanusiaan (crime against humanity).
Itulah ideologi koruptor yang terus menggerus dana
pembangunan sejak pembahasan rancangan UU APBN sampai pada pelaksanaannya.
Ideologi koruptor pada dasarnya ”ingin membangkrutkan negara” agar kelak
menghamba pada negara-negara pemberi utang. Ini tidak boleh dibiarkan terus
terjadi, tanpa ada aksi konkret dan progresif dari pemerintah. Penyidik KPK
yang begitu berani menangani kasus korupsi kelas kakap yang diduga melibatkan
petinggi politik dan kekuasaan harus mendapat jaminan perlindungan dari
negara.
Pimpinan dan penyidik KPK tak boleh dibiarkan secara
sendiri menyabung nyawa menghadapi kelihaian dan kekejian koruptor dan
jejaringnya. Setidaknya ada tiga isu penting yang perlu digelorakan pada
serangan fisik bagi penyidik KPK Novel Baswedan.
Pertama, upaya membungkam KPK dengan melakukan serangan
fisik harus dilawan.
Kita berharap menjadi perhatian serius Presiden Jokowi
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan karena secara konstitusional
bertanggung jawab pada pemberantasan korupsi. Maka itu, reaksi cepat Presiden
Jokowi memerintahkan kapolri untuk menangkap pelaku penyiraman air keras
patut diapresiasi.
Kedua, karena sudah ada perintah Presiden, diharapkan agar
tidak terlalu lama pelaku dan aktor intelektualnya ditemukan dan ditangkap
polisi.
Teror yang dilakukan terhadap Novel Baswedan yang sedang
memimpin penyidikan dugaan korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk
elektronik (e-KTP) tahun anggaran 2011- 2012 senilai Rp5,9 triliun harus
diberi jaminan keamanan. KPK menelisik dan mengejar uang besar, sekitar Rp2,3
triliun yang diduga sebagai kerugian keuangan negara.
Teror serangan fisik dengan menyiram air keras sama dengan
teror yang dihadapi aparat kepolisian minggu lalu. Anggota polisi lalu lintas
ditembaki teroris dan berhasil menembak mati enam pelakunya. Rakyat selalu
berbangga dengan gebrakan Densus-88 dan anggota Polri yang berhasil menangkap
pelaku dan mengungkap jaringannya. Korupsi dan teroris sama-sama kejahatan
luar biasa sehingga siapa pun yang meneror penyidik KPK juga harus ditangkap
dan diproses hukum.
Ketiga, semua komponen masyarakat, para aktivis antikorupsi,
pengamat, dan mahasiswa antikorupsi harus kembali merapatkan barisan
menghadapi kemungkinan serangan balik meningkat eskalasinya.
Pimpinan dan penyidik KPK tak boleh dibiarkan terus
terancam dari beragam serangan bertubitubi. Kalau saat ini sudah masuk pada
serangan fisik, negara melalui aparat kepolisian tidak boleh lambat melangkah
untuk mengendus dan menangkap pelaku teror itu.
Jaga Momentum
Kasus dugaan korupsi e-KTP tidak boleh hanya berhenti pada
empat tersangka yang saat ini sudah ditetapkan KPK. Serangan apa pun yang
mengancam, KPK tak boleh gentar karena rakyat berada di sekeliling KPK. Kasus
dugaan korupsi e-KTP harus dijaga momentumnya oleh KPK jilid keempat sebab
tudingan dari luar juga mengarah pada progres kinerja KPK selama ini yang
hanya mahir melakukan operasi tangkap tangan (OTT) karena menyadap telepon
orang.
KPK harus juga berani mengungkap dan membuktikan di
pengadilan dugaan kerugian keuangan negara dalam penanganan berbagai proyek
APBN dan APBD. Kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras yang disebut
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terjadi kerugian keuangan negara, tetapi
dimentahkan KPK dengan alasan tidak ada niat jahat (mens rea).
Itu yang membuat publik mulai meragukan profesional dan
keberanian KPK jika berhadapan dengan oknum yang dekat dengan puncak
kekuasaan. Apakah kasus e-KTP akan tuntas sampai semua yang diduga ikut
menikmati aliran dana proyek itu bisa dibawa ke pengadilan? Tentu waktu yang
akan menjawabnya sebab beberapa waktu lalu ada pimpinan KPK yang pernah
berkomentar di media bahwa penetapan tersangka bergantung apakah ”berbuat
aktif” dalam bagi-bagi dana proyek.
Seharusnya dipahami bahwa Pasal 5 ayat (2) UU Nomor
20/2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (UU Korupsi) menegaskan bahwa pegawai negeri dan penyelenggara
negara dilarang menerima pemberian atau janji dengan maksud agar berbuat atau
tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, atau bertentangan dengan
kewajibannya. Makna frasa ”menerima pemberian” adalah dalam ”posisi pasif
atau tidak berbuat aktif” dari rangkaian transaksi gelap dalam proses suap.
Publik juga ingin melihat seberapa besar komitmen pimpinan
KPK melindungi penyidiknya, terutama Novel Baswedan, karena baru-baru ini
diberi surat peringatan kedua (SP2) oleh pimpinan KPK. Meskipun, belakangan
dibatalkan lantaran mendapat sorotan berbagai kalangan dan beberapa mantan
pimpinan KPK. Novel Baswedan adalah ketua Wadah Pegawai KPK yang mengkritik
pimpinan KPK perihal rencana pengangkatan Ketua Satuan Tugas (Kasatgas) KPK
dari luar KPK. Bisa jadi juga ketidakrelaan pimpinan KPK dikritik pegawai KPK
yang menimbulkan kesan dari luar bahwa KPK tidak kompak dan satu komitmen.
Terutama dari oknum yang merasa terganggu oleh sikap tegas
Novel Baswedan dalam melakukan penyidikan kasus korupsi. Kemungkinan itu pula
yang membuat koruptor dan jejaringnya kembali menyerang dengan pola baru
melalui ”serangan fisik”. Kita berharap agar pimpinan dan pegawai KPK tetap
kompak dan satu kata melawan korupsi, siapa pun pelakunya. Itulah tujuan
utama institusi antikorupsi ini dibentuk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar