Prancis
di Persimpangan Jalan
Rudi Natamiharja ; Program Doktor Universitas Aix
Marseille-Prancis;
Dosen Hukum Internasional Unila,
dan Jean Baptiste BING Program Doktor
Universitas Jenewa-Swiss
|
MEDIA
INDONESIA, 26 April 2017
SETELAH
pesta akbar pemilihan Presiden di Amerika Serikat mencuri perhatian dunia
internasional pada akhir 2016, awal 2017 ini masyarakat internasional
dihidangi peristiwa menarik yaitu, pemilihan umum presiden di Prancis. Negara
Napoleon ini dikenal sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai
demokratis serta menjunjung hak asasi manusia. Pesta demokrasi di negeri
Napoleon baru saja mengakhiri putaran pertama, yaitu pada 23 April 2017. Dua
pekan ke depan, tepatnya pada 7 Mei 2017, dua kandidat yang mendapat
perolehan suara terbanyak akan kembali berlaga memperebutkan kursi orang
nomor satu di Prancis. Putaran pertama ini diramaikan 11 calon presiden,
dengan hasil perolehan suara: Emmanuel Macron (24%), Marine Le Pen (21,3%),
Francois Fillon (20%), Jean-Luc Melenchon (19,6%), Benoit Hamon (6,4%),
Nicolas Dupont-Aignan (4,7%), Jean Lassalle (1,2%), Philippe Poutou (1,1%),
Francois Asselineau (0,9%), serta Nathalie Arthaud (0,6%), dan Jacques
Cheminade (0,2%). Untuk diketahui, bahwa dalam sistem pemilihan umum di
Prancis, setiap orang dapat maju menjadi kandidat presiden dengan syarat
mendapatkan dukungan dari sekurang-kurangnya 500 suara wali kota.
Berdasarkan
hasil pemilihan suara secara langsung oleh warga negara Prancis, Emmanuel
Macron dan Marine Le Pen berhak untuk maju pada putaran kedua (putaran akhir)
yang akan digelar pada 7 Mei 2017 mendatang. Dua hal yang menarik dalam
pemilihan umum Presiden Prancis kali ini, pertama, dengan hasil tersebut,
perpolitikan Prancis yang telah berjalan sejak 1958 di bawah Republik ke-5
telah berubah, yaitu dari tarik-menarik antara sayap kanan dan sayap kiri
menjadi adu kekuatan konsep keterbukaan dan ketertutupan sehingga pada tahun
ini merupakan pertama kalinya dalam sejarah pemilu, sayap kanan dan kiri
tumbang pada putaran pertama. Kedua, gagasan dari dua kandidat yang masuk
pada putaran kedua saling bertentangan. Macron dikenal dengan keterbukaannya
sedangkan Le Pen dengan ketertutupan atau dengan istilah lain, yaitu
nasionalis.
Emmanuel
Macron, mantan menteri ekonomi dan industri di era kepemimpinan presiden saat
ini (Francois Hollande), dikenal dengan gerakan keterbukaannya. Politik
keterbukaan ini mencakup bidang sosial, politik, dan ekonomi. Ia berhasil
memenangi pertarungan di kota-kota besar, tempat notabene wilayah yang telah
memiliki perekonomian stabil dan baik. Menurutnya, Prancis harus tetap
menjadi negara yang terbuka secara internasional, menjalankan perdagangan
internasional dengan semua pihak, menerima pendatang untuk mendorong
perekonomian, dan tetap mengukuhkan diri sebagai salah satu negara anggota Uni
Eropa. Ia berhasil maju dengan memikat golongan partai sayap kanan dan sayap
kiri. Ia menempatkan dirinya masuk ke semua kalangan dan golongan. Yang
menarik bagi dunia internasional ialah majunya Marine Le Pen ke putaran kedua
dengan peroleh suara, yaitu 21,3% mengalahkan para pemain lama. Ia merupakan
pemain baru dalam kancah perpolitikan Prancis, yaitu sejak 2011. Ia berhasil
menarik simpati pemilih dengan konsep barunya, yaitu nasionalisme. Ia
mengusung idenya agar Prancis menjadi negara yang lebih menutup diri dan
menentang segala jenis hubungan internasional yang akan memperlemah posisi
Prancis.
Idenya
ini memang unik, tetapi hal ini bukan tanpa dukungan. Terbukti ia telah
berhasil membawa partai politiknya (Front National) menempati urutan kedua
dan maju pada putaran akhir. Menurutnya, Prancis harus meninjau kembali
kebijakan negara menjadi anggota Uni Eropa. Ia ingin membawa Prancis keluar
dari Uni Eropa melalui jalur referendum. Bergabung dengan Uni Eropa justru
telah menjadikan para penguasa Uni Eropa mendikte kebijakan-kebijakan mereka
terhadap anggotanya. Penguasaan perekonomian oleh golongan tersebut sangat
tidak menguntungkan Prancis. Oleh karena itu, ia pun menggagas untuk kembali
kepada mata uang franc dan meninggalkan mata uang euro. Ia memandang juga
keterbukaan terhadap para pendatang asing merupakan hal yang memperlemah
posisi warga negara Prancis dan menghilangkan jati diri yang sebenarnya.
Dukungan
terhadap Le Pen pun semakin kuat terutama ia menang di daerah atau kota-kota
kecil. Kota-kota tersebut sangat khawatir terhadap ekspansi dan penguasaan
wilayah mereka oleh kota besar serta Uni Eropa yang akan mengambil alih
kontrol perekonomian. Selain itu, isu terorisme yang saat ini sedang hangat
di Prancis telah menjadi alat penguat suara Le Pen. Serangan teroris secara
bertubi-tubi yang tiada henti dari tahun ke tahun selama kurun waktu lima
tahun terakhir berhasil mengangkat suara Le Pen. Kehawatiran dari gelombang
imigran yang datang dan mengganggu stabilitas negara telah menjadi salah satu
faktor mengapa ia dapat memikat para pemilih. Bagi Le Pen, menutup diri dari
luar merupakan salah satu jalan mengurangi teror yang menghantui penduduk
Prancis.
Nasib
Prancis menjadi negara terbuka atau tertutup akan diputuskan dalam dua pekan
ke depan, pada 7 Mei 2017 pada jam 20.00 waktu setempat. Tentunya hal ini
akan berdampak terhadap hubungan Indonesia dan Prancis serta hubungan Prancis
dengan negara-negara lainnya, apakah akan menjadi kukuh atau malah
sebaliknya. Namun, perlu diingat bahwa pada 11 dan 18 Juni 2017 akan ada
pemilihan legislatif (assemblee nationale) atau setara dengan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) di Indonesia. Jika Macron atau Le Pen terpilih
menjadi Presiden Prancis tetap salah satu yang terpilih dari mereka harus
mempertimbangkan kekuatan yang akan menguasai legislatif. Saat ini Macron
dari Partai En Marche tanpa wakil di legislatif dan Le Pen dari Partai Front
National hanya memiliki 2 wakil dari 577 anggota legislatif. Oleh karena itu,
sangat kecil mereka dapat menguasai legislatif pada saat pemilihan nanti yang
notabene dikuasai Socialiste, partai Presiden Francois Hollande. Le Penpun
cukup sulit mendapatkan peluang menjadi Presiden Prancis karena mayoritas
sayap kiri dan kanan berpihak kepada Macron dan akan memberikan suaranya. Apakah
hasil pemilihan umum di Prancis akan bernasib seperti di Amerika, yakni
kekhawatiran terpilihnya Trump menjadi kenyataan? Semua kemungkinan dalam
politik dapat terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar