Daulat
Rakyat di Pilkada DKI
Toto Sugiarto ; Direktur Eksekutif Riset Indonesia;
Pengajar pada Universitas
Paramadina
|
KOMPAS, 19 April 2017
Pilkada DKI Jakarta putaran pertama tahun 2017 menyimpan
masalah tak terselesaikan. Banyak warga negara tidak bisa memilih.
Banyaknya warga Jakarta yang telah datang ke tempat
pemungutan suara (TPS) tetapi tidak bisa memilih sesungguhnya merupakan cacat
bagi demokrasi lokal tersebut. Peristiwa ini merupakan pelanggaran terhadap
kedaulatan rakyat. Memilih merupakan hak dasar warga negara yang seharusnya
dijamin oleh negara. Menjelang putaran kedua yang akan dilaksanakan pekan
ini, cacat ini perlu menjadi catatan agar tak terulang kembali.
Rakyat adalah sumber legitimasi pejabat terpilih. Jika ia
terpilih dari proses pemilihan yang cacat karena banyaknya suara rakyat yang
terjegal, legitimasi pejabat terpilih menjadi cacat. Cacat karena terpilih
dari proses pilkada yang diwarnai ketidakadilan, tak mengikutsertakan seluruh
warga negara yang berhak dan berniat memilih.
Begitu juga demokrasi. Banyaknya warga negara yang tak
bisa memilih membuat demokrasi cacat. Rotasi kekuasaan yang terjadi
mengandung error karena banyaknya warga negara terjegal hak pilihnya. Cacat
ini menjauhkan tercapainya kondisi demokrasi yang terkonsolidasi.
Hambatan struktural
Terhambat dan hilangnya hak pilih rakyat dalam melakukan
pemilihan yang terjadi karena mekanisme tahapan penyelenggaraan yang buruk
menggambarkan bahwa masalah ini bukan hambatan individual pemilih, melainkan
hambatan struktural. Karena itu, tanggung jawab dari struktur terkait juga
tak terhindarkan.
Namun, entah kenapa, peristiwa banyaknya warga negara yang
tidak bisa memilih karena hambatan teknis yang dibuat para pengelola negara
ini seperti angin lalu. Padahal, seharusnya ada yang bertanggung jawab
terhadap pelanggaran ini, bukan seperti sekarang, menyalahkan aturan dan
rakyat itu sendiri.
Memilih adalah hak rakyat. Suara setiap warga negara
merupakan bagian tak terpisahkan dari kedaulatan rakyat yang merupakan sumber
kehidupan bernegara. Di sisi lain, karena adanya hak, ada yang memiliki
kewajiban menjamin tertunaikannya hak tersebut.
Negara adalah pihak yang berkewajiban tersebut, dalam hal
ini struktur penyelenggara pemilu. Satu warga negara saja tak tersalurkan hak
pilihnya-padahal ia berniat melakukan pemilihan-maka penyelenggara dapat
dikatakan melakukan pelanggaran terhadap kedaulatan rakyat, penyelenggara
pemilu telah menghilangkan hak-hak asasi warga negara.
Hambatan struktural dalam pemilihan yang mengakibatkan
hilangnya hak warga negara tak bisa diabaikan begitu saja. Jika pelanggaran
dibiarkan, dampaknya akan sangat besar. Pemilu menjadi hal teknis saja, tak
"berdosa" jika ada banyak pemilih yang hendak memilih terhambat
aturan dan mekanisme.
Penegakan hak memilih
Menghadapi putaran kedua Pilkada DKI, penyelenggara
pilkada harus memaksimalkan kinerja, terutama menunjukkan keseriusan pada
penegakan hak memilih (right to vote)
warga negara. Setelah pemutakhiran daftar pemilih dilakukan, jaminan bisa
memilih terhadap warga yang belum terdaftar perlu dipastikan.
Data pemilih akan selalu tidak akurat. Ketidakakuratan ini
terjadi karena perkembangan kependudukan selalu di depan pencatatan, banyak
yang lambat dalam pemutakhiran (update), selain ada mobilitas, meninggal,
atau memasuki usia sebagai pemilih. Ketidakakuratan ini menyebabkan akan
selalu ada pemilih yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih. Ketidakakuratan
semakin besar jika dalam suatu pilkada terdapat upaya mobilisasi pemilih oleh
kekuatan politik yang sedang bersaing.
Menyikapi hal terakhir ini, penyelenggara pilkada perlu
melakukan deteksi mobilisasi pemilih. Penyelenggara pilkada harus mewaspadai
kemungkinan mobilisasi pemilih. Kemungkinan ini terbuka mengingat begitu mudahnya orang mendapatkan
KTP elektronik instan. Salah satu stasiun televisi, dalam liputan
investigasinya, pernah mengungkap hal ini.
Semua kondisi di atas harus diwaspadai dan diantisipasi
oleh penyelenggara pemilu. Semua warga negara yang memiliki hak pilih dan
berkeinginan memilih harus tersalurkan, tetapi di sisi lain perlu dijamin
agar yang tidak berhak memilih tidak menjadi bagian dari pemilih.
Yang perlu diingat, penyelenggara pemilu bukan semata
melaksanakan teknis pemilu, melainkan juga memastikan terwujudnya substansi
pemilu. Hak pilih rakyat yang merupakan salah satu substansi penting dalam
pemilu mesti dijamin terlaksana dengan baik. Tersalurkannya hak pilih rakyat
menjadi bagian penting tugas penyelenggara pemilu.
Di sisi lain, Bawaslu, yang pada putaran pertama Pilkada
DKI tidak melakukan langkah signifikan dalam merespons ketidakprofesionalan
KPU DKI dalam menjamin tersalurkannya hak pilih warga negara harus
memperbaiki kinerjanya. Bawaslu perlu menunjukkan kerja-kerja pengawasan yang
optimal.
Pengawasan Bawaslu harus bertujuan menciptakan peningkatan
kualitas penyelenggaraan pilkada. Integritas, independensi, dan kemandirian
merupakan hal yang perlu dipertegas para penyelenggara pilkada, selain
kinerja yang perlu dioptimalkan.
Daulat rakyat yang tercabik di Pilkada DKI putaran pertama
hendaknya tidak terulang. Tertunaikannya seluruh suara rakyat merupakan
fondasi bagi kuatnya demokrasi. Demokrasi yang terkonsolidasi mensyaratkan
tidak adanya suara rakyat yang terkhianati.
Ibarat bunga di taman sari, semua bunga harus bisa mekar tanpa
hambatan. Selain disirami dengan pendidikan politik, kesempatan memilih
hendaknya tidak terhalangi oleh hal-hal teknis. Semua hambatan seharusnya
bisa diantisipasi. Dengan demikian, taman sari akan indah bertabur bunga yang
semerbak mewangi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar