Menang
dan Bahagia dalam Media
Ashadi Siregar ; Peneliti Media dan Pengajar Jurnalisme
|
KOMPAS, 21 April 2017
Tercatat 147
pahlawan nasional yang terdiri dari 135 laki-laki dan 12 perempuan
(www.kemsos.go.id). Dari sana, hanya seorang pahlawan yang kelahirannya
dijadikan hari nasional, yaitu RA Kartini (21 April 1879-17 September 1904).
Pada hari itu,
perempuan dewasa dan anak-anak mengenakan pakaian tradisional, kaum bapak
lomba bikin nasi goreng. Mengisi 21 April dengan sukacita boleh jadi malah
melupakan sosok Kartini. Ia hanya menjadi ikon yang kehilangan makna.
Padahal, sosok Kartini sempurna dijadikan prototipe dua dunia: realitas
empiris dan media, yang ironis ketika dijajarkan.
Manusia nilai
Dalam realitas
empiris yang keras (hard reality),
manusia harus bertarung dengan hasil yang diharapkan berujung pada menang
atau kalah. Dalam realitas media yang lunak (soft reality) manusia muncul dengan informasi yang diproses oleh
alam pikiran. Kedirian manusia dapat dilihat dalam kehadirannya di kedua
dunia. Apa yang dilakukan dalam realitas empiris dan apa yang dipikirkan
dalam realitas media menjadi alur yang direkam dalam kehidupan.
Secara populer
disebut rekam jejak (track record),
akan menandai seseorang sebagai manusia berbuat (person of action) atau manusia nilai (person of value). Dalam realitas empiris manusia selalu ingin
mencapai keberhasilan walaupun mungkin akan berbuat dengan menghalalkan
segala cara. Namun, sebagai manusia nilai, bukan keberhasilan yang jadi
parameter, melainkan kedirian yang menjadi sumber rujukan kebaikan (virtue)
dari totalitas kediriannya.
Kartini
berbeda dengan pahlawan nasional lain yang rekam jejaknya tercatat dari
realitas empiris. Dengan rekam jejak ini, manakala berkuasa atau didukung
kekuasaan narasi sejarah besar yang dimunculkan. Ada kala menyisakan sejarah
kecil hitam tersembunyi. Figur besar berkuasa semacam Bung Karno dan Pak
Harto akan dinarasikan melalui sejarah besarnya, sementara noktah sejarah
kecilnya akan diungkit setelah tak berkuasa sehingga kontroversial sebagai
rujukan nilai. Bung Karno adalah pahlawan proklamator bersama Bung Hatta.
Realitas empiris yang bersifat einmalig bagi NKRI, tak akan ada yang
memperdebatkan. Sementara Pak Harto perlu sepenuhnya diterima sebagai manusia
nilai bagi bangsa Indonesia kini dan kelak.
Kartini
sepenuhnya manusia nilai. Hidupnya singkat, tak pernah di tampuk kekuasaan,
tak ada sejarah kecil hitam dari realitas empirisnya. Dia dibesarkan dalam
keluarga ningrat, tetapi lahir dari garwo selir, bukan garwo padmi (istri
utama). Ibu kandungnya sebenarnya istri pertama, putri guru agama Islam dari
kalangan biasa. Ayahnya, Sosroningrat, seorang patih yang diangkat sebagai
bupati. Namun, konvensi yang dijalankan gubernemen Hindia Belanda, bupati
harus beristrikan kalangan ningrat. Maka, Sosroningrat menikahi RA Woerjan
(Moerjam). Dengan pernikahan itu, ayah Kartini diangkat menggantikan
kedudukan ayah RA Woerjan, RAA Tjitrowikromo sebagai bupati Jepara.
Ini bukan
sekadar poligami. Dalam realitas empiris yang paling dini, Kartini pada
dasarnya telah bersentuhan dengan pemerintahan Hindia Belanda. Ibu kandungnya
adalah figur yang terinjak feodalisme, yang menyatu dengan kekuasaan
kolonial. Sampai usia 12 tahun, Kartini bersekolah di Europese Lagere School,
sekolah dasar berbahasa Belanda. Kemudian dia juga harus menjalani kehidupan
pingitan, kultur yang menempatkan perempuan dalam posisi kalah.
Namun, Kartini
tak kalah. Dalam pingitan dia mengembara secara intelektual. Koresponden-
sinya dengan pasangan suami-istri intelektual Belanda, Abendanon, menjadi
exercise konseptual sehingga proses intelektualnya berkembang tanpa harus
bersekolah formal yang tinggi. Tulisan otentik Kartini mencerminkan
intelektualitas yang tinggi.
Kekalahan Kartini
Dalam realitas
media, melalui surat-suratnya (saat belum ada surel, medsos, dan semacamnya),
dia bagaikan heroine yang mengembara di padang frontier. Akan tetapi, karena
ia bukan jurnalis, surat-suratnya pada dasarnya bersifat fiksional, hasil
pengembaraan dari buku-buku dan majalah terbitan Belanda atau bersifat
faksional manakala direfleksikannya dari
sintesis dengan dunia empiris yang melingkupinya. Dunia empiris ini
sebatas kehidupan rakyat kecil, sedangkan kondisi yang berasal dari kultur
feodal yang berjumbuh dengan kolonial merupakan realitas yang tak disentuhnya
secara intelektual.
Kartini bukan
Multatuli (Eduard Douwes Dekker) yang merekam perilaku bupati Lebak yang
memeras rakyat sampai ke tahap merampas kerbau petani (lihat: Max Havelaar).
Bagaimana kehidupan bupati (regent) pada masa kolonial Belanda? Seorang
bupati menerima gaji bulanan dari gubernemen Hindia Belanda. Sementara
pengeluarannya besar: menjamu tamu bangsa Belanda dan menyangga ekonomi
keluarga besar dengan sanak keluarga yang ngenger sebenarnya tak dapat
tercukupi semata-mata dari gaji.
Karena itu,
setiap bupati harus punya sumber-sumber tambahan. Bupati yang tak memeras
rakyat akan tertolong dengan kultur poligami. Di sini berperan keandalan
garwo-garwo selir yang biasanya dari kalangan rakyat bawah. Pada dasarnya
ekonomi birokrat feodal dalam struktur pemerintahan kolonial mengalami proses
pemiskinan. Akan tetapi, tak mungkin mengubah gaya hidup yang telanjur
ekstravaganza. Hanya kewirausahaan yang dapat menyelamatkan hidup para
bupati. Namun, siapa yang akan melakukan jika tangan ningrat tidak boleh
dicemari oleh perniagaan?
Perbuatan
berniaga menurunkan derajat seorang ningrat. Maka, mengelola buruh pembatik,
pengukir kayu, atau perajin lainnya (tergantung yang tersedia di lingkungan
setempat), sampai memasarkan dapat dijalankan garwo selir. Sementara garwo
padmi tidak perlu "kotor" tangannya sembari tetap menikmati
kehormatan atas keningratannya.
Apa yang
diperoleh garwo selir yang umumnya berasal dari desa? Mungkin terangkat citra
sosial sanak keluarganya di desa (lihat: Pramudya Ananta Toer, Gadis Pantai,
2003) atau pengabdian pada keluarga ningrat sudah dianggap anugerah.
Bagaimanakah Kartini melihat persoalan ini? Boleh jadi dia dekat dengan ibu
kandungnya, tetapi sebutan "ibu" dalam surat-suratnya dimaksudkan
untuk garwo padmi.
Maka, yang
perlu dihayati adalah kekalahan RA Kartini dan ibu kandungnya dalam realitas
empiris, yaitu tentang kehidupan perempuan desa yang dijadikan batu umpak
bagi kehormatan ekstravaganza keluarga ningrat.
Kekalahan
Kartini dalam realitas empiris disempurnakan dengan kematiannya. Dia
meninggal pada usia 25 tahun, empat hari setelah melahirkan. Namun, Kartini
meraih kemenangan dalam realitas media sekaligus bahagia di dalamnya.
Intelektualitasnya terekam dan abadi untuk menjadi sumber nilai bagi generasi
demi generasi.
Mengenang Kartini seorang cendekia dalam media dapatkah kita
bandingkan dengan hirukpikuk orang
bermedia kini? Dia, yang menulis dengan pena, berpikir sejuk, dengan
pengembaraan dalam perspektif intelektualitas membahas masalah bangsanya. Ia
bermedia tak dipicu impuls kemarahan dan kebencian. Bandingkan dengan
orang bermedsos daring kini yang
mencerminkan kemerosotan intelektualitas dan membuncahnya psikopatologis di
kalangan orang berpendidikan tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar