Menyelamatkan
Demokrasi Kita
Franz Magnis-Suseno ; Guru Besar Purnabakti
Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara
|
KOMPAS, 18 April 2017
Apa demokrasi kita perlu diselamatkan? Pertanyaan ini
dapat muncul sesudah membaca refleksi Kwik Kian Gie (Kompas 3/4/2017). Namun,
sebelum mencoba menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita mengingat sejenak
sejarah demokrasi di Indonesia.
Bahwa Indonesia merdeka harus bukan hanya demi rakyat,
melainkan harus dijalankan oleh rakyat dan atas penugasan rakyat, tak pernah
ada yang menyangkal. Tetapi, tentang bagaimana tujuan luhur itu dapat
tercapai belum pernah ada kesepakatan. Misalnya, apakah kita dapat belajar
dari "demokrasi desa" tradisional?
UUD 1945 sama sekali tidak memuat jaminan demokratis dan
karena itu mudah dimanipulasi. Hanya dua setengah bulan kemudian maklumat
wakil presiden menciptakan sistem multipartai. UUD Sementara 1950 ekstrem
liberal, mirip dengan pola demokrasi di Italia dan Perancis sehingga gagal
mewujudkan suatu pemerintahan yang stabil (orang bisa bertanya: bagaimana
nasib bangsa andai kata yang dipilih tahun 1950 adalah sistem seperti di
Republik Federasi Jerman atau di Skandinavia?).
Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mendekritkan
"kembali ke UUD 1945". Namun, sistem "demokrasi
terpimpin" itu sedemikian mengosongkan mekanisme-mekanisme demokratis
masyarakat sehingga enam tahun kemudian tinggal dua kubu berhadapan tak
terdamaikan: PKI dengan sekutu-sekutunya, dan kubu anti-komunis yang terutama
terdiri atas agama-agama dan Angkatan Darat. Akhirnya Presiden Soekarno
tinggal seorang diri dan tergeser oleh militer. Orde Baru itu sendiri
akhirnya membeku dalam otoritarianisme. Revolusi demokratis para mahasiswa
meyakinkan Soeharto bahwa ia harus mundur.
Yang terjadi kemudian tak kurang daripada menakjubkan,
apalagi kalau dibandingkan dengan apa yang terjadi di Mesir sesudah revolusi
demokratis 2011 yang menyingkirkan Hosni Mubarak.
Meski potensi konflik besar sekali-banyak konflik di bawah
Soeharto hanya ditutup-tutupi, tidak ditangani-dan memang terjadi beberapa
konflik amat serius, tokoh-tokoh nasional yang segera berperan sesudah Pak
Harto mundur berhasil mengantar Indonesia menjadi negara yang demokratis,
tetap Pancasilais, non-sektarian, teratur, dan damai. Secara khusus perlu
disebutkan peran Amien Rais yang memimpin MPR pilihan rakyat dalam melakukan
amandemen-amandemen yang memastikan demokratisasi dan penjaminan hak-hak
asasi manusia Indonesia.
Ancaman
Namun, sekarang demokrasi kita memang terancam. Terancam
oleh kelemahan internal partai-partai politik dan merajalelanya korupsi di kelas
politik. Terancam oleh nostalgia Orde Baru yang mau mencabut kembali
amandemen-amandemen yang menyerahkan kekuasaan ke tangan rakyat. Barangkali
paling berbahaya adalah gelombang penegasan identitas keagamaan di mana
perspektif "kita semua adalah orang Indonesia" tergeser oleh
"kami berhadapan dengan mereka". Gawat bagi suatu negara Pancasila!
Dalam kaitan ini, Kwik Kian Gie membedakan antara
"negarawan" dan "political animal". Tetapi, bukankah
biasanya baru jauh belakangan menjadi jelas siapa yang betul-betul seorang
negarawan? Dan, apakah orang bisa menjadi negarawan kalau dia bukan political
animal? Kwik Kian Gie menyesalkan prinsip kemenangan demokratis dengan
mayoritas "50%+1".
Tetapi, apa di Indonesia pernah diambil keputusan seperti
itu? Apa di negara demokratis sindiran ini punya relevansi? Bukankah
alternatifnya adalah oligarki di mana golongan tertentu merasa berhak
menetapkan ke mana seluruh rakyat harus bergerak? Dalam demokrasi
kediktatoran mayoritas justru dicegah dengan jaminan terhadap hak-hak asasi
manusia dalam undang-undang dasar. Jaminan itu memastikan bahwa kepentingan
vital-asasi minoritas-minoritas aman terhadap mayoritas. Bahwa keputusan
politik praktis diambil menurut kehendak yang banyak dan bukan yang sedikit,
memang itulah yang namanya demokrasi.
Jangan mundur lagi
Logika itu dibantah oleh argumentasi klasik feodalisme
bahwa rakyat terlalu bodoh untuk dibiarkan memutuskan nasibnya sendiri.
Namun, di Indonesia masalah demokrasi justru bukan rakyat, melainkan elite.
Ternyata sekian pemilihan sejak 1999 (begitu pula dua pemilu tahun 1955)
berjalan lancar. Siapa yang berani menyangkal bahwa para pemilih, ya rakyat,
tahu orang dan partai mana mereka pilih? Saya kira, lama-kelamaan kesabaran
kita dengan pola pemikiran feodalistik perlu diakhiri.
Kwik Kian Gie mengusulkan supaya kita kembali ke MPR
pra-amandemen yang terdiri atas tiga bagian: Sepertiga dipilih langsung oleh
rakyat (sekarang 100 persen), sepertiga merupakan Utusan Golongan, dan
sepertiga Utusan Daerah. Tetapi, usul ini tidak memperhatikan dua hal. Yang
pertama: MPR seperti itu belum pernah berfungsi di Indonesia. MPRS pasca-1959
terdiri 100 persen atas orang yang diangkat oleh presiden (maka 1966 gampang
disesuaikan dengan kepentingan penguasa baru). Dan, selama 32 tahun
pemerintahan Soeharto, MPR tak pernah lebih dari lembaga rubber stamp saja.
Yang kedua: siapa yang akan menetapkan para wakil
"utusan golongan" dan "utusan daerah" itu? Kisruh
kepemimpinan DPD baru-baru ini menunjukkan masalahnya. Elite mana yang
"lebih pintar dari rakyat" yang akan dapat menentukan siapa yang
menjadi "wakil golongan" dan "wakil daerah"? Pengembalian
MPR ke sistem oligarki membuka pintu lebar-lebar terhadap politik transaksi
kepentingan, korupsi, dan sektarianisme. Menurut saya, jelaslah bahwa lebih
baik MPR dipilih langsung oleh rakyat Indonesia.
Kiranya ancaman serius terhadap demokrasi sekarang tidak
dapat diatasi dengan memutar roda sejarah kembali ke sistem kekuasaan
oligarki, melainkan dengan melakukan perbaikan-perbaikan terhadap sekian
kekurangan struktural yang memang masih menjadi kelemahannya.
Kemajuan-kemajuan demokratis yang tercapai sesudah jatuhnya rezim Orde Baru
(dan sudah memungkinkan berkembangnya Indonesia sebagai negara
"normal" dan "mantap") jangan kita izinkan dicuri kembali
oleh mereka yang belum bisa menerima bahwa sekarang seluruh rakyat ikut
menentukan nasibnya sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar