Berkaca
pada Pilkada Jakarta
M Qodari ; Direktur Eksekutif Indo Barometer
|
KOMPAS, 22 April 2017
Riuh-rendah
Pilkada DKI akhirnya mencapai puncak 19 April 2017. Hasilnya sudah kita
maklumi bersama. Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahudin Uno terpilih
mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat di putaran kedua.
Pasangan
Anies-Sandi berhasil membalik fenomena yang banyak terjadi, termasuk dalam
Pilkada DKI 2012, di mana pasangan yang unggul di putaran pertama kembali
unggul di putaran kedua. Apakah kemenangan Anies-Sandi sebuah kejutan? Tidak.
Itu jawaban yang saya sampaikan di televisi swasta jelang dimulainya hitung
cepat (quick count) pukul 13.00. Justru kalau Basuki-Djarot menang itu
kejutan mengingat 90 persen survei yang dilakukan jelang akhir masa kampanye
menunjukkan keunggulan Anies-Sandi. Rentang keunggulannya saja yang
berbeda-beda antarlembaga. Antara 1 dan 10 persen. Jadi, ini hasil yang
sangat terduga.
Dari survei
tampak pula variabel-variabel yang memengaruhi pilihan masyarakat. Apa saja
variabel-variabel itu? Dalam setiap pilkada selalu ada tiga variabel besar
yang bekerja memengaruhi pilihan masyarakat. Pertama, variabel rasional
seperti persepsi mengenai kemampuan calon dan kinerja petahana. Kedua,
variabel kepribadian seperti kesukaan/ ketidaksukaan kepada kandidat. Dan,
ketiga, variabel sosiologis/ primordial seperti kesamaan latar belakang suku
dan agama.
Dalam aspek
rasional, sebenarnya Basuki-Djarot unggul dibanding Anies-Sandi. Dalam debat
di acara Mata Najwa, misalnya, publik menilai penampilan Basuki lebih baik
dibanding Anies. Hal ini konsisten dengan survei-survei terhadap debat-debat
putaran pertama. Dari segi kepuasan publik, angka penilaian terhadap Basuki
lebih dari 70 persen. Lazimnya, calon dengan tingkat kepuasan setinggi ini
cenderung didukung mayoritas pemilih.
Kelemahan
Basuki bukan pada kinerja, melainkan pada variabel kedua dan ketiga. Untuk
variabel kepribadian, kesukaan terhadap kandidat, skor Basuki paling rendah,
bahkan lebih rendah daripada Djarot dan Sandi. Skor kesukaan pada Basuki 60
persen. Pada Djarot dan Sandi di kisaran 70 persen. Sementara Anies 80
persen.
Variabel suku
dan khususnya agama juga menjadi kelemahan Basuki. Pemilih beragama Kristen
dominan kepada Basuki-Djarot, sementara mayoritas pemilih Islam mendukung
Anies-Sandi. Hal ini penting dan menarik karena terjadi pergeseran komposisi
dukungan pemilih Islam pada Basuki-Djarot. Sebelum peristiwa Al Maidah 51 di
Kepulauan Seribu, pemilih Muslim mayoritas ke Basuki-Djarot. Namun, setelah
peristiwa itu, mayoritas pemilih Muslim pindah ke Anies-Sandi.
Di satu sisi
kita bisa menyatakan: ini kesalahan seorang Basuki. Mulutmu, harimaumu. Kata
pepatah lama. Tujuan dan kegiatan Basuki di Kepulauan Seribu adalah untuk
bicara tentang program perikanan. Untuk apa dia: (1) berbicara soal Pilkada
DKI, (2) jikapun bicara pilkada, untuk apa dikaitkan dengan soal memilih atau
tak memilih siapa, (3) jikapun bicara soal dukungan politik dan alasannya,
tidak perlu mengutip kitab suci agama lain.
Di sisi lain
tidak dapat dimungkiri bahwa terjadi upaya framing (pembingkaian) dan
mobilisasi isu agama dan rasial terhadap Basuki. Upaya framing dan mobilisasi
isu itu mendapatkan pintu masuk yang terbuka lebar dengan adanya peristiwa Al
Maidah 51. Framing dan mobilisasi isu penodaan agama kemudian dikait-kaitkan
dengan latar belakang agama dan rasial Basuki. Yang terjadi kemudian adalah
sebuah "big bang" (dentuman besar) opini dan mobilisasi massa
seperti yang terlihat pada peristiwa 411 dan 212.
"Kudeta merayap"
Ada yang mengatakan,
dentuman besar opini dan mobilisasi massa tidak lepas dari bertemunya
berbagai kepentingan kelompok dan tokoh politik. Ada yang berkepentingan
dengan Pilkada DKI 2017. Ada pula yang bermain catur politik kekuasaan
nasional baik untuk tujuan sekarang maupun 2019. Pendapat ini tentu tak dapat
dinafikan. Itu sebabnya isu "kudeta merayap" dan sejenisnya turut
berkembang dalam dinamika Pilkada DKI. Tak semua elite politik mau dan sabar
menunggu momentum pemilu berikutnya untuk kesempatan pergantian kekuasaan.
Terlepas dari alasan dan perbedaan konteks, peristiwa pergantian kekuasaan
nasional di 2001 dan 1965 telah dijadikan referensi dan preseden sejarah
bahwa pergantian kekuasaan di tengah jalan adalah suatu "celah"
dalam dinamika kekuasaan nasional.
Namun, di luar
faktor manuver elite, rasanya memang ada yang ditata
kembali dalam masyarakat kita. Sebab, politik
identitas tak berada di ruang hampa. Upaya framing dan mobilisasi punya batas
kemampuan. Tanpa harus berdebat tentang berapa jumlah persis massa yang hadir
dalam peristiwa 411 atau 212, kita dapat akui itulah momen pengumpulan massa
di satu titik yang terbesar dalam sejarah Indonesia. Pastinya, ada perasaan
kolektif yang sama yang mampu menggerakkan massa dalam jumlah sebesar itu.
Indikator lain
soal perasaan kolektif adalah masifnya penyebaran informasi atau isu berbasis
SARA pada satu sisi dan benturan-benturan keras antarpribadi dan kelompok
sebagai akibat penyebaran isu-isu yang membelah. Adapun perbenturan paling
keras tak (dapat) kita saksikan di media massa konvensional seperti televisi
atau koran karena figur-figur yang tampil di sana elite politik yang terlatih
berakrobat kata-kata atau telah melalui proses editing kuat dari redaktur
media massa. Perbenturan paling keras justru terjadi di ruang-ruang bersifat
personal seperti grup Whatsapp atau Facebook dan ranah media sosial seperti
Instagram dan Twitter. Pertukaran kata-kata kasar yang berujung pada
ketersinggungan dan permusuhan banyak terjadi dalam kurun enam bulan selama
pilkada.
Isu SARA
Tanpa
bermaksud untuk menimbulkan pesimisme, isu SARA dan politik identitas
diperkirakan kembali muncul dalam kontestasi politik ke depan seperti Pilkada
2018 dan Pemilu 2019. Apa dasar pemikiran ini? Pertama, fenomena politik
identitas dan isu SARA di Pilkada DKI sesungguhnya mirip Pemilu 2014.
Tema-tema yang
muncul saat itu seperti soal ras, agama, siapa penguasa aset ekonomi terbesar
di Indonesia, serta dukungan politik yang diberikan penguasa ekonomi pada
calon tertentu kembali muncul pada 2017 ini. Ingat tabloid Obor Rakyat?
Pilkada DKI 2017 adalah Pilpres 2014 minus Obor Rakyat. Jika politik
identitas telah muncul dua kali dalam Pilpres 2014 dan Pilkada 2017, kiranya
tak salah menduga hal itu akan muncul lagi di Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Kedua, politik
identitas dan framing isu tak akan berhasil apabila latar makro dari
masyarakat Indonesia tak kondusif untuk tumbuh dan berkembangnya isu dan
framing demikian. Politik identitas dan framing isu tak berada dalam ruang
hampa. Ia memiliki akar kuat dan dalam pada realitas politik (sebagian)
masyarakat. Pasti ada sebagian kelompok masyarakat yang merasa tak puas,
terancam, atau minimal tak suka dengan realitas ekonomi dan politik tertentu
yang membuat mereka mudah masuk dalam politik identitas dan isu SARA sebagai
sarana penyaluran frustrasi sosial dan politik mereka.
Mengapa mereka
tak suka realitas politik tertentu? Kajian-kajian konflik dan psikologi
sosial mengenal konsep deprivasi relatif (relative deprivation), suatu konsep
yang sering dipakai untuk menjelaskan munculnya suatu gerakan atau konflik
sosial dan politik. Deprivasi relatif adalah suatu kondisi subyektif di mana
seseorang atau kelompok merasa tak puas dengan kondisi yang dialami atau
dimilikinya dibandingkan kondisi yang dimiliki orang atau kelompok lain.
Perasaan tak puas ini bisa berkaitan dengan soal ekonomi (materi), hak
politik, pengakuan, atau hal lain yang dianggap penting dan berharga.
Siapakah
mereka ini? Identifikasi tentang siapa mereka dapat dilakukan dengan melihat
kelompok-kelompok dan individu-individu yang muncul di permukaan serta retorika-retorika
yang dipakai. Tentu pemerintah memiliki perangkat dan instrumen untuk
mengidentifikasi. Tapi yang tak kalah penting, mengidentifikasi persoalan
mendasar yang menyebabkan timbul dan kuatnya isu politik identitas dan SARA dalam
politik kita belakangan ini.
Persoalan itu tak lain persoalan kesenjangan ekonomi penduduk seperti
tecermin pada koefisien Gini. Juga tecermin
kesenjangan penguasaan aset antarkelompok masyarakat dalam peringkat orang
terkaya Indonesia seperti dirilis majalah bisnis Forbes dan LSM internasional
Oxfam. Pengalaman Pilkada DKI menunjukkan, pemerintah pusat harus segera
mengambil suatu seri kebijakan yang mampu menyelesaikan, minimal mengurangi
kesenjangan ekonomi ini, sehingga deprivasi relatif yang selalu muncul dalam
bentuk politik identitas dan isu SARA tak muncul kembali dalam pilkada dan
pemilu. Prioritas kebijakan yang harus diambil pemerintahan hari ini mungkin
bukan pertumbuhan, melainkan pemerataan ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar